Jumat, 03 Januari 2014

Tanggung Jawab Ulil Amri dalam Pelayanan Publik




Oleh Prof. Dr. H. Asep Usman Ismail MA

Penegasan Al-Qur`an tentang kewajiban kaum Muslimin untuk mentaati ûlî al-amr atau pejabat pemerintah sebanding lurus dengan penegasan Al-Qur`an tentang kewajiban pejabat pemerintah untuk menunaikan amanat yang dibebankan kepada pundak mereka. Kaum Muslimin tidak wajib mentaati ûlî al-amr yang tidak mentaati Allah dan tidak menunaikan amanat yang dibebankan kepadanya untuk melayani rakyat. Pejabat publik yang tidak amanah kehilangan legitimasi moral, kehormatan dan martabatnya sebagai ûlî al-amr. Sebab ûlî al-amr diangkat untuk melayani masyarakat luas pada bidang yang menjadi kompetensinya sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing institusi yang diatur di dalam administrasi publik. Perhatikanlah dua ayat Al-Qur`an yang berikut:
”Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi peringatan kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. al-Nisa`/4: 58-59).
Beberapa persoalan pokok yang terkandung dalam kedua ayat di atas adalah: (1) perintah menunaikan amanat, (2) perintah berlaku adil dalam menetapkan hukum, (3) perintah taat  kepada Allah, Rasulullah, dan ûlî al-amr dan (4) perintah menyelesaikan perselisihan dengan mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan materi seperti ini, para ulama memandang bahwa kedua ayat Al-Qur`an di atas sebagai pokok hukum yang menghimpun segala ajaran agama.
Nilai essensial yang menjadi pesan utama Surah an-Nisâ` ayat 58 di atas adalah keharusan setiap orang untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.
Makna amanat yang paling luas ditemukan dalam rumusan yang diberikan oleh Thanthawi Jauhari (1287-1358 H), yaitu segala yang dipercayakan orang berupa perkataan, perbuatan, harta dan pengetahuan, atau segala nikmat yang ada pada manusia yang berguna bagi dirinya dan orang lain.
Thanthawi merumuskan amanat secara umum, yakni menjadikan konsep tersebut lebih abstrak karena rumusan yang dikemukakannya tidak saja berdasarkan pertanggungjawaban tetapi juga kegunaan yang terkandung di dalamnya.
Seperti telah dikemukakan, kata amânât berasal dari kata kerja amina, ya’manu ”merasa aman, memberikan kepercayaan.” Kata ini dipergunakan dalam Surah Yusuf ayat 11 dan 64. Dalam ayat pertama dikemukakan riwayat dari saudara-saudara Yusuf mempertanyakan sikap ayah mereka, mengapa ia tidak mempercayai mereka membawa Yusuf bermain-main ke tempat penggembalaan. Dalam ayat kedua, dikemukakan penegasan Yakub yang tidak mempercayakan adik Yusuf kepada mereka karena mereka menyia-nyiakan kepercayaan yang pernah diberikan untuk menjaga Yusuf. Dalam ayat yang lain kata amanat dipergunakan dengan konotasi material. Ini terlihat dalam Surah Al-Baqarah ayat 283 yang mengatur masalah titipan dan pesanan.
Pola lain yang bersumber dari kata amanat adalah kata amin. Pola ini mengandung konotasi sifat sebagai subyek atau obyek. Dalam hal pertama, kata tersebut bermakna “yang memberikan rasa aman” dan dalam hal kedua, kata tersebut bermakna “yang diberi amanat”. Dalam konteks dengan amanat, maka pola inilah yang pertama kali dipergunakan dalam Al-Qur’an, yakni dalam surah Al-A’raf, ayat 68 sebagai berikut:
Aku menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku dan aku pemberi nasihat yang terpercaya kepada kamu (Q.S. Al-A’raf/7: 68).
Ibnu Kasir mengemukakan bahwa ayat ini menyatakan sifat-sifat utusan Tuhan, yaitu: menyampaikan seruan Tuhan, memberi nasihat, dan kepercayaan. Sifat kepercayaan dari para rasul ditemukan pula dalam Q.S. Al-Syu’ara’, 26/47:107, 125,143,162 dan 178. Ayat-ayat ini mengisyaratkan bahwa para rasul diberi kepercayaan, dan kepercayaan yang dimaksud adalah risalah atau agama Tuhan untuk mengatur kehidupan manusia.
Pada Surah Al-Anfal ayat 27 ditemukan penggunaan kata amanat yang disandarkan kepada manusia. Ayat ini melarang orang-orang beriman mengkhianati Allah dan Rasul-Nya dan mengkhianati amanat sesama mereka. Hal ini berarti adanya dua jenis amanat, yaitu: (1) amanat Tuhan dan Rasul-Nya berupa aturan-aturan dan ajaran-ajaran agama yang harus dilaksanakan, dan (2) amanat manusia berupa sesuatu, material atau immaterial tertentu yang harus disampaikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan ajaran agama.
Bertolak dari konsep amanat di atas, maka perintah yang terkandung di dalam Surah Al-Nisa ayat 58 di atas mengandung makna kewajiban menyampaikan amanat, bahwa setiap orang beriman agar menunaikan amanat yang menjadi tanggung jawabnya, baik amanat dari Allah maupun amanat dari sesama manusia. Pada sisi lain, sesuai dengan sebab turunnya ayat, penggalan ayat tersebut mengandung makna khusus, yaitu kewajjiban para pejabat pemerintah sebagai pejabat publik untuk menunaikan amanat yang diberikan kepada mereka. Dari sini dapat dikatakan bahwa ayat di atas memperkenalkan prinsip pertanggung jawaban kekuasaan politik. Prinsip ini bermakna bahwa setiap pribadi yang mempunyai kedudukan fungsional dalam kehidupan politik dituntut agar melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya dan bahwa kelalaian terhadap kewajiban tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi dirinya sendiri dan juga bagi kepentingan orang banyak.
Tanggung jawab Ûlîl Amri dalam layanan publik, menurut Al-Qur`an, merupakan kelanjutan dari tanggung jawab Rasulullah SAW dalam membimbing umat. Rasulullah SAW selama sepuluh tahun di Madinah adalah pemimpin agama sekaligus kepala negara. Para ulama mewarisi Nabi dalam kepemimpinan agama, sedangkan Ûlîl Amri, pejabat pemerintah yang beragama Islam mewarisi Rasulullah dalam kepemimpinan negara. Keduanya menyatu secara integral pada diri Rasulullah, tetapi terpisah pada diri umat beliau di akhir zaman. Kepemimpinan politik dan kepemimpinan agama idelanya tetap menyatu pada diri seorang Muslim di akhir zaman, namun faktanya kedua kepemimpinan tersebut berada pada dua pribadi Muslim yang berbeda, bahkan pada dua lembaga yang berbeda, yakni pada lembaga ulama dan lembaga umarâ` atau Ûlîl Amri, namun secara simbiotik keduanya saling melengkapi, saling membutuhkan dan saling bekerja sama. Umara membutuhkan legitimasi ulama, sementara ulama membutuhkan dukungan umara untuk menjalankan amar ma’rûf dan nahyi munkar, memerintahkan manusia untuk melakukan kebaikan dan mencegah mereka dari perbuatan keji yang ditolak oleh akal budi dan hati nurani.
Menurut riwayat Hisyam bin ‘Urwah dari Abu Saleh dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah shallâllâh ‘alayhi wasallam) bersabda: “Akan datang kepada kamu setelahku para pemimpin. Mereka yang baik akan memimpin kamu dengan kebaikannya, sedangkan para pemimpin yang jahat akan memimpin kamu dengan kejahatannya. Dengarkan dan taatilah mereka dalam segala hal yang sejalan dengan kebenaran. Jika para pemimpin itu berbuat kebajikan, maka kebajikan itu untuk kamu dan untuk mereka. Demikian juga, jika para pemimpin itu berbuat kejahatan, maka kejahatan mereka kembali kepada kamu dan menjadi tanggung jawab mereka (di hadapan Allah).
* Penulis adalah Dewan Pakar Pusat Kajian al-Quran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar