Pada 17 Juli 2009, publik dikejutkan oleh
ledakan bom di Hotel JW Marriott, Kuningan, Jakarta. Dua menit
kemudian, bom kedua meledak di Hotel Ritz Carlton, Jakarta. Bom bunuh
diri ini memakan korban 9 orang tewas dan 53 lainnya luka berat.
Ledakan ini membawa trauma yang mendalam,
karena 2004 di tempat yang sama terjadi ladakan serupa. Mirisnya lagi,
ternyata pelaku bom bunuh diri di dua tempat itu adalah seorang remaja
berusia sekitar 17 tahun. Nama remaja tersebut Nana Maulana dan Dani Dwi
Permana.
Saat itu, Dani baru saja lulus dari SMA
Yadika Kemang Bogor, Juni 2009. Bapaknya dipenjara, dan kedua
orangtuanya bercerai. Ia dikenal warga sebagai remaja yang aktif di
berbagai kegiatan sosial dan keagamaan di tempat tinggalnya, di
Perumahan Telaga Kahuripan. Setelah lulus, tiba-tiba Dani menghilang
dari kediamannya itu.
Saat masih berstatus sebagai siswa SMA,
ia sempat menjadi petugas adzan dan kebersihan masjid di Masjid As-Surur
yang berada di lingkungan Candraloka Perumahan Telaga Kahuripan. Ia
juga aktif di remaja Masjid As Surur dan Masjid Raya Telaga Kahuripan.
Namun, secara mengejutkan ia bergabung dengan Saefudin Zuhri, anggota
kelompok Noordin M Top dan menjadi pelaku bom bunuh diri di Hotel JW
Marriott (Kutemukan Makna Jihad, 2011).
Fenomena remaja sebagai pelaku terorisme
tidak hanya Nana dan Dani. April 2011, Pengadilan Negeri (PN) Klaten
menjatuhkan vonis dua tahun penjara kepada pelaku kasus terorisme, Arga
Wiratama. Arga didakwa memasang bom di beberapa tempat, yaitu; 1. Di Pos
Polisi Delanggu, Alun-Alun Utara Surakarta (depan Polsek Pasar Kliwon),
2. Di lokasi acara sebar apem di Kecamatan Jatinom, Klaten, 3.
Melemparkan bom molotov ke Masjid As Syifa di dekat RSI Klaten.
Remaja kelahiran Desa Buntalan, Klaten
Tengah dan masih berstatus sebagai siswa SMK di Klaten tersebut dijerat
pasal terorisme. Majelis hakim menyatakan remaja berusia 17 tahun itu
terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15 jo 9 UU No 15/2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Sindo, 08/04/2011).
Lalu, fenomena apa sebenarnya yang
terjadi pada remaja kita? Bagaimana kaitannya dengan ideologisasi dan
kaderisasi yang dicanangkan kelompok teroris? Berikut petikan wawancara
Lazuardi Birru dengan Psikolog Pendidikan, Dr Tjut Rifameutia, MA, di
Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.
Akhir-akhir ini, banyak
peristiwa pengeboman yang terjadi di Indonesia, dan pelakunya rata-rata
para remaja. Fenomena apa yang terjadi pada remaja kita?
Kalau kita lihat perkembangan remaja,
biasanya para remaja mengalami apa yang disebut sebagai kebingungan
dalam mencari identitas. Sebetulnya dia sedang mencari identitas dirinya
apakah akan menjadi seperti A atau menjadi seperti B, C atau D. Dengan
adanya model-model yang jelas, walaupun dia mengambil sebagian-sebagian
dari model A, B, C, atau D kemudian dijadikan identitas dirinya. Tentu
harapannya yang diekspose adalah hal-hal yang cukup baik.
Selain mencari identitas diri atau jati
diri, masa remaja sebenarnya masa yang penuh energi dan gejolak.
Pelepasan energi dalam hal yang salah atau tidak baik dan tidak pada
tempatnya itu akan mendorong remaja melakukan hal yang tidak positif.
Jadi, kita perlu memperhatikan para remaja yang energinya begitu besar
ini, sebagian besar waktu mereka digunakan untuk apa?
Karena itu, kita harus memfasilitasinya,
misalnya dengan kegiatan ekstrakurikuler. Hal tersebut sangat penting
untuk menampung energi para remaja agar tersalurkan dengan baik. Di
tempat itulah kemudian para remaja berbaur dan menemukan kelompoknya.
Tapi ada juga yang tidak mudah berbaur dengan kelompoknya tersebut.
Orang-orang yang seperti ini (tidak mudah berbaur dengan kelompoknya, red)
tentu saja mudah dipengaruhi oleh orang lain yang dia pikir lebih
menerima dirinya, ketimbang kelompoknya itu. Kalau semua itu terjadi,
maka dia akan mudah untuk menerima apa saja dan mungkin melakukan apa
saja yang dia pikir benar, karena dia sedang mencari identitas dirinya.
Lalu apa yang bisa kita lakukan agar potensi remaja itu bisa diarahkan pada hal-hal yang positif?
Pertama, kita perlu menghargai
pendapat-pendapat remaja waktu diskusi. Selain itu, dialog antara guru
dengan siswa, antara orangtua dengan anak itu sangat penting, sehingga
kalau ada masalah pada remaja tersebut, dia tahu kepada siapa dia harus
datang. Jadi tidak ada yang kosong.
Orang yang kosong ini yang susah, dan
akan mudah dipengaruhi. Jadi, pendidikan agama harus kuat dan benar,
pendidikan keluarga harus baik, pendidikan di sekolah juga harus baik,
sehingga diharapkan dapat membentuk suatu karakter yang positif.
Karakter seperti apa? Itu yang harus dirumuskan secara jelas dari
tingkat atas sampai ke bawah, sehingga dapat mendidik remaja ini ke arah
karakter yang positif.
Kedua, kita juga memerlukan tanggung
jawab masyarakat. Sering sekali kita melihat orang berbuat salah, tetapi
kita ini belum terbiasa untuk menegur yang salah, kalau menghakimi yang
dianggap salah itu sering.
Misalnya ada orang yang membuang sampah
sembarangan, lalu kita menegur “Aduh, jangan buang sampah di situ dong,
sebaiknya buang di tempat sampah”. Nah, menegur yang seperti ini, kita
belum terbiasa karena kita merasa menggurui, tapi dalam menghukum orang
yang dianggap salah kecenderungannya lebih mudah. Padahal kita perlu
memberitahu, dan menegur karena kita semua anggota masyarakat.
Juli 2011, para pendukung Alqaeda
–jaringan internasional– yang disinyalir kelompok militan membuat film
animasi untuk anak-anak. Foto-foto yang dipenggal dari film animasi yang
sedang digarap oleh pendukung Alqaeda telah diterbitkan di situs
internet jihad berbahasa Arab, al-Shamouk, lembaga kontra-ektrimisme
yang berbasis di London.
Lembaga tersebut mengatakan film animasi
itu memperlihatkan tindakan-tindakan heroik, termasuk kontak senjata.
Posting informasi tentang film animasi itu ditulis seseorang yang
menyebut diri Abu al-Laith al-Yemen. Penulis posting tersebut
mengatakan, film kartun Alqaeda di Jazirah Arabia adalah kisah yang
sangat menarik yang menuturkan fakta-fakta tentang siapa yang
merendahkan agama Islam dan Nabi.
Tujuan film tersebut sebagai proses
ideologisasi dan doktrinasi untuk menggerakkan pemuda dan anak-anak agar
mengikuti jejak langka tokoh mujahiddin Islam, (BBC Indonesia,
21/06/2011). Media propaganda seperti ini tentu sangat efektif dalam
menyampaikan pesan, sebab anak-anak dengan mudah menangkap pesan yang
tersirat dalam film kartun tersebut.
Komentar Anda seperti apa?
Jadi begini, kita juga perlu untuk
mencari alternatif dalam menyampaikan pesan ke publik, khususnya pada
anak-anak, karena mereka itu belajar dari apa yang dia lihat. Kalau kita
buat pesan di media, tentu kita harus buat media yang cocok untuk
anak-anak, dan remaja.
Misalnya kita ingin perlihatkan nilai
kebaikan dan mencintai umat manusia, tentu kita harus
memvisualisasikannya sesuai dengan level mereka. Dengan visualisasi
gambar, anak-anak mudah menerima pesan itu.
Nah, kita juga bisa menggunakan media kartun tersebut sebagai counter
atas film kartun yang dirilis Alqaeda itu. Misalnya dengan membuat film
kartun atau apapun bentuknya yang mempunyai nilai-nilai baik, dan
nilai-nilai kebajikan. Nilai kebajikan itu apa? Yaitu sesuatu yang kita
tuju untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain dan
supaya tidak menimbulkan mudarat bagi orang lain.
Peristiwa Bom Bali I 2002, Bom Bali
II 2005 dan ledakan bom lain di beberapa tempat, seperti JW Marriott,
Bom Kuningan, bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Cirebon, seharusnya
menjadi bahan reflekasi betapa pentingnya kehidupan, dan pentingnya
kedamaian bagi semua orang. Namun sayangnya peristiwa tersebut tidak
diambil sebagai pelajaran. Bahkan, peristiwa serupa masih berlanjut
sampai saat ini.
Di tengah peliknya persoalan radikalisme
dan terorisme ini, Tjut berharap, sebaiknya memusatkan perhatian pada
substansi persoalan, agar kejahatan yang tidak berkeprimanusiaan ini
tidak terulang kembali. Kerena, lanjut Tjut, kalau hanya bicara sebab
penyebab terus-menerus, maka fokus yang dilakukan cenderung stagnan,
hanya mencari siapa yang salah dan memprosesnya secara hukum, namun
tidak menyentuh substansi persoalan yang sebenarnya.
Menurut Tjut, seharusnya persoalan
radikalisme dan terorisme tidak hanya dilihat dari satu persepsi saja,
melainkan dilihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda agar hasil
yang dicapai maksimal.
“Melihat satu persoalan dengan persepsi
yang berbeda bukan berarti menjadi orang lain, tetapi sebagai upaya
memahami mengapa orang lain tersebut mempunyai pandangan yang berbeda”
demikian Psikolog Pendidikan ini menjelaskan.
Mengenai perbedaan persepsi tadi, bisa dijelaskan lebih jauh?
Saya melihat ada kekakuan pola pikir di
sini, di mana semua hal itu dipandang melalui kacamata sendiri-sendiri.
Bisa dikatakan juga tidak mampu melihat suatu persoalan dari persepsi
yang berbeda. Artinya bukan harus kita menjadi orang lain, tetapi kita
juga mengerti mengapa orang lain itu punya pandangan yang berbeda.
Mengapa pandangannya A bukan B, seperti itu.
Karena itu, pendidikan –termasuk
pendidikan di dalam keluarga—tidak hanya bisa menjamin tetapi juga bisa
memulai, mengusahakan komunikasi yang baik dalam keluarga itu. Sehingga
kalau ada masalah atau persoalan, semua itu bisa didiskusikan. Artinya
dalam menyelesaikan suatu masalah tidak harus dengan kekerasan.
Bagaimana caranya supaya kita bisa
mengerti, bisa membuka kesempatan buat orang lain untuk berbicara dan
bisa menerima perbedaan? Saya lihat miss-nya itu adalah rasa menghargai
perbedaan pendapat perlu dibina lebih mendalam.
Artinya pendidikan itu sangat berperan memberikan pemahaman agar bisa menerima perbedaan?
Iya, kita sering bicara mengenai
pendidikan karakter, tetapi karakter seperti apa belum tuntas di bahas,
sehingga usaha yang dilakukan berjalan sendiri-sendiri, yang satu lari
ke A, satu lari ke B, satu lari ke C. Seharusnya dilakukan secara
bersama-sama, menyeluruh dan kompak sebagai suatu sistem yang utuh.
Misalnya di tingkat negara. Apa
sebenarnya yang diharapkan dari pendidikan karakter ini? Kemudian di
lingkup masyarakat, apa yang harus dilakukan supaya kita bisa memperoleh
generasi yang mempunyai wawasan terbuka, bisa menerima perbedaan, bisa
menyesuaikan tanpa merubah dirinya jadi orang lain. Kita bisa menjadi
orang yang kuat, tidak mudah tergoda dan menyelesaikan persoalan tidak
dengan cara brutal.
Sering kita lihat orang tidak puas dengan
layanan telepon umum, kemudian dia menghancurkannya. Contoh lain, ada
orang mencelakai orang lain tanpa sengaja, lalu orang tersebut dihakimi
sendiri tanpa melalui proses hukum yang jelas. Hal-hal seperti itu perlu
kita perhatikan dan kita lakukan usaha konkrit supaya kita tidak
memiliki generasi yang suka main hakim sendiri dan dia pikir apa yang
dia lakukan itu benar.
Dan ketika kita mempunyai suatu
pandangan, bukan berarti kita harus takluk pada pandangan itu, dan kita
tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Jadi, kemampuan analisa harus
ditingkatkan, bisa mengambil keputusan yang baik, bisa bertanggung jawab
dengan apa yang dilakukannya. Tetapi saya rasa, lebih dari itu semua
adalah mencintai umat manusia.
Bagaimana supaya kita yakin bahwa umat
manusia harus mencintai antarsesama? Tentu lingkungan keluarga,
lingkungan pendidikan di sekolah bisa menunjukkan adanya atmosfir yang
seperti itu. Saya yakin orang belajar dari apa yang dia lihat dan dia
rasakan.
Lalu peran pendidikan agama di mana?
Nah, kita perlu melihat pendidikan agama
seperti apa yang diperolehnya. Apakah pendidikan agama yang hanya
mengatakan yang benar ini dan itu salah? Kita perlu ingat dalam
kehidupan manusia, di samping hubungan vertikal (hubungan antara manusia
dan Tuhan, red) juga ada hubungan yang sifatnya horizontal (hubungan
sesama manusia, red). Jadi kehidupan bermasyarakat juga harus kita jaga
agar tercipta kehidupan yang damai.
Di dunia ini, kita sebagai mahluk sosial,
tentu perlu hidup bermasyarakat dan berkomunikasi dengan lingkungan
sekitar. Jadi, nilai seperti itu (saling membutuhkan satu sama lainnya,
red) yang perlu distimulasi, dibina dalam perkembangan seorang anak
menjadi dewasa.
Kalau orang itu tidak bisa menerima
perbedaan pendapat, tidak bisa melihat sesuatu yang berbeda dari
dirinya, maka sulit untuk menumbuhkan rasa kepercayaan dan saling
menghargai satu sama lainnya.
Misalnya seperti ini, semua orang harus
mengenakan baju seragam karena khawatir terjadi kecemburuan sosial.
Untuk meredakan kecemburuan itu akhirnya orang memakai seragam. Artinya
dia harus selalu berpakaian sama, begitu melihat orang lain berpakaian
beda dengan dirinya, dia kaget. Coba lihat orang luar, baju tidak perlu
selalu seragam.
Kita bisa melihat filosofi contoh di
atas. Artinya, kita bisa menerima perbedaan itu dari apa yang paling
mudah. Nah, bisa atau tidak dia menerima perbedaan seperti itu. Kalau
sekarang semua harus sama, maka sulit untuk melihat yang berbeda. Semua
itu pasti ada dampaknya.
Sederhananya seperti apa?
Sederhananya seperti ini, usahakan dalam
pendidikan di kelas selalu menghargai perbedaan. Misalnya ketika ada
persoalan dalam kelas, kita harus pecahkan bersama-sama dan menghargai
perbedaan pendapat yang ada dalam menyelesaikan masalah itu. Dalam hal
ini, guru harus memberikan contoh dalam menyelesaikan persoalan secara
bijak dan mengakomodir perbedaan yang ada, karena sikap guru akan
dicontoh oleh murid-muridnya.
Nah, pendidikan agama seperti apa yang
perlu dibina agar peserta didik bisa menerima perbedaan sebagai
sunnatullah? Kita tentu punya penilaian bagaimana kita harus hidup
dengan agama, dan kita juga tidak bisa menafikan kalau di sekitar kita
ada orang yang memeluk agama yang berbeda.
Tugas pendidikan agama adalah menjelaskan
bagaimana manusia sebagai mahluk sosial hidup dengan mereka yang
berbeda agama. Kita ditantang agar bisa hidup bermasyarakat dengan baik,
menerima perbedaan yang ada, termasuk perbedaan agama.
Kita perlu melihat pendidikan agama yang
seperti apa yang membawa orang-orang tertentu ke arah pemahaman radikal
itu. Misalnya dengan cara melihat kurikulumnya, apa yang dipelajari di
sekolah, lulusannya menjadi seperti apa, kemudian kita mengevaluasinya.
Kalau kita sudah satu persepsi hendak
membawa generasi muda kita ke arah karakter yang seperti apa? Maka semua
elemen, termasuk sekolah harus mau membawa ke arah karakter yang sudah
dicanangkan tersebut.
Tak terasa, perbincangan seputar
radikalisme, terorisme, dan dunia remaja mengalir hingga siang. Dan kami
mengakhiri perbincangan siang itu dengan kesimpulan bahwa persoalan
radikalisme dan terorisme merupakan tugas bersama untuk
menyelesaikannya.
Selain itu, pendidikan karakter bagi
generasi muda sangat penting. Karena itu, pendidikan –termasuk
pendidikan di dalam keluarga—harus bisa menjamin, memulai, dan
mengusahakan komunikasi yang baik dalam keluarga, sekolah, dan
lingkungan masyarakat. Sehingga kalau ada masalah bisa didiskusikan dan
dialogkan. Artinya dalam menyelesaikan suatu masalah tidak harus dengan
kekerasan.
Apa pesan Anda pada generasi muda?
Untuk para remaja dan generasi muda,
berhati-hatilah karena masa remaja itu sebenarnya investasi untuk masa
depan, apa yang kita lakukan saat ini akan kita lihat hasilnya nanti.
Jadi gunakan waktu masa remaja ini dengan sebaik-baiknya, kembangkan
potensi-potensi diri, pilihlah kegiatan yang benar-benar bermanfaat,
karena kita hidup hanya sekali saja.
Mudah-mudahan masa muda ini bisa diisi
dengan kehidupan yang penuh berkah dan kemudian hidup kita ini
bermanfaat bagi diri kita dan orang-orang di sekitar kita. Jadi, belajar
secara betul, bergaul dengan banyak pihak, dan usahakan bisa melihat
pandangan-pandangan yang berbeda, karena kekakuan berpikir kita biasanya
hanya akan merugikan diri kita sendiri.[Aziz].
Biodata:
Nama Lengkap : Dr. Tjut Rifameutia, MA
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 13 Januari 1960
Pekerjaan : Psikolog, Wakil Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Pendidikan : S3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar