Aksi terorisme yang terjadi di penjuru
dunia, termasuk di Indonesia salah satu faktornya karena persoalan
doktrin, tanpa berpikir kritis apakah pemahaman tersebut benar atau
salah. Orang yang berpikir doktriner seperti ini biasanya selalu
berpikir hitam putih ketika dihadapkan pada persoalan kehidupan
sehari-hari.
Ketika seseorang kehilangan daya berpikir
kritisnya, maka dengan mudah ia dapat didoktrin oleh kelompok yang
menginginkan dia supaya tunduk buta pada pimpinannya. Dan tanpa berpikir
panjang ia tunduk pada instruksi yang diberikan oleh pemimpinnya itu.
Cara berpikir doktriner seperti ini akan mudah menyebabkan seseorang
terjerumus pada aksi terorisme.
Ketua Program Doktoral Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Hamdi Muluk mengatakan, dalam ilmu
psikologi orang yang menerima doktrin dan kehilangan daya berpikir
kritisnya termasuk dalam kategori orang yang mengidap penyakit
autoritarianisme.
Orang yang mengidap penyakit ini, kata
Hamdi, hanya akan tunduk pada pimpinannya (orang yang mendoktrin, red)
tanpa menghiraukan kondisi sosial yang terjadi di lingkungannya. Mereka
menyerahkan jiwa dan raganya pada pemimpin mereka. “Mereka taklid buta
dan selalu melihat orang luar sebagai ancaman,” kata Hamdi pada Lazuardi
Birru, di Jakarta.
Selain itu, lanjut Hamdi, biasanya orang
tersebut juga tidak pernah berfikir demokratis karena demokrasi
dianggapnya melemahkan sendi-sendi dari orang yang mengidap penyakit
autoritarianisme tersebut. Biasanya mereka tidak suka dengan hal-hal
yang berbau pembaharuan. “Mereka tidak suka dengan kesamaan pendapat dan
kesetaraan karena memang antidemokrasi,” kata dia.[Az]
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar