Banyak hasil penelitian dan survei yang
mengatakan bahwa intoleransi merupakan pintu masuk seseorang untuk
menjadi teroris. Namun hal ini dibantah Direktur Eksekutif Maarif
Institute, Fajar Riza Ul Haq. Menurut dia, intoleransi dan terorisme
merupakan dua hal yang berbeda.
“Meskipun antara intoleransi dan
terorisme memiliki titik temu, namun kedua hal itu bebada,” kata lulusan
CRCS UGM ini pada Lazuardi Birru, di Jakarta.
Menurut Fajar, meskipun keduanya memiliki
korelasi, namun dari sisi pengkondisian berbeda. Karena itu, kata dia,
harus hati-hati membedakan antara intoleransi dan terorisme. Fajar
mengatakan, tingkat tingginya intoleransi tidak berkonsekuensi atau
berelasi dengan tingginya terorisme.
“Bahwa orang-orang yang terlibat
terorisme itu intoleran, itu iya. Tapi belum tentu orang yang sikapnya
intoleran, dia teroris,” demikian Fajar menjelaskan.
Lebih jauh Fajar mengatakan, ada beberapa
fase orang yang intoleran bisa menjadi teroris. Menurut dia, orang
menjadi teroris tidak hanya persoalan ideologi semata, tapi banyak
faktor yang mempengaruhi. “Orang yang melakukan kekerasan pun tidak bisa
disebut teroris. Karena itu kejahatan biasa,” ungkapnya.
Jadi, kata Fajar, antara sikap intoleran
yang melakukan tindakan kekerasan atas nama agama dan terorisme itu
adalah dua hal yang berbeda. “Terorisme itu orang yang tidak bisa
menerima perbedaan, dan menebar teror dengan cara pengeboman. Namun
orang yang punya sifat intoleran itu belum tentu melakukan teror dengan
cara pengeboman,” pungkasnya.[Az].
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar