Kamis, 14 Februari 2013

Hanya Orang Bodoh yang Mau Jadi Martir Bom



Pemilihan diksi atau istilah-istilah yang melekat pada terorisme dalam peliputan media kerap memberi dampak yang sangat fatal terhadap pemahaman generasi muda. Misalnya, media mengutip statemen bahwa para pelaku bom bunuh diri adalah mujahid. Tentu secara tidak sadar, publik mengasumsikan Nurdin M Top dan Imam Samudra mujahid, padahal di dalam Islam yang disebut mujahid adalah orang yang paling mulia karena membela agama, bukan orang yang melakukan pengeboman atau bom bunuh diri.

“Menyebut para pelaku pengeboman itu dengan sebutan mujahid, seolah-olah mereka telah dibenarkan sebagai seorang mujahid,” kata Mantan Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah (JI) Nasir Abas pada Lazuarsi Birru.

Efek informasi seperti ini (pemilihan diksi, red), kata Nasir, ketika generasi muda ketemu dengan para pelaku bom, mereka beranggapan bahwa inilah mujahid seperti yang dibilang oleh media tertentu. Itu sebabnya para teroris selalu mendapat bantuan.

Menurut dia, terorisme tidak akan pernah eksis tanpa bantuan dari pihak lain, baik secara langsung ataupun tidak langsung. “Nurdin itu warga Malaysia yang tidak mengenal Indonesia, yang tidak mengerti daerah-daerah Indonesia. Kalau tanpa ada pendukung yang membantu dan membelanya, tidak mungkin terjadi,” ungkapnya.

Mantan anggota Jamaah Islamiyah ini mengatakan, istilah bom bunuh diri sebenarnya juga membuat para pelaku bangga. Karena ada kesan sebagai seorang pemberani. Seharusnya, lanjut Nasir, yang pantas adalah bom manusia. “Kalau kita mengatakan bom yang dipasang di mobil bom mobil, bom yang dipasang dibuku adalah bom buku. Mengapa kita tidak menyebut bom yang dipasang di manusia dengan sebutan bom manusia?” demikian Nasir menjelaskan.

Sebab menurut Nasir, dengan menyebut bom manusia, ada kesan mereka dikorbankan oleh temannya sendiri yang menjadi wadah dari bom itu. Kesan ini harus dibentuk dalam pemahaman masyarakat dan publik. Disinilah peran media mewacanakan dan mengampanyakan istilah bom manusia itu, agar masyarakat atau remaja memahami bahwa bom bunuh diri itu dikorbankan, hanya dijadikan wadah dan alat.

“Seharusnya pertanyaannya bukan kenapa mereka berani menjadi bom bunuh diri, tapi kenapa mereka begitu bodoh menjadi wadah bom? Padahal teknis untuk meledakkan itu banyak cara tidak harus meledakkan tubuh orang,” kata dia.[Az].


Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar