Pemilihan diksi atau istilah-istilah yang
melekat pada terorisme dalam peliputan media kerap memberi dampak yang
sangat fatal terhadap pemahaman generasi muda. Misalnya, media mengutip
statemen bahwa para pelaku bom bunuh diri adalah mujahid. Tentu secara
tidak sadar, publik mengasumsikan Nurdin M Top dan Imam Samudra mujahid,
padahal di dalam Islam yang disebut mujahid adalah orang yang paling
mulia karena membela agama, bukan orang yang melakukan pengeboman atau
bom bunuh diri.
“Menyebut para pelaku pengeboman itu
dengan sebutan mujahid, seolah-olah mereka telah dibenarkan sebagai
seorang mujahid,” kata Mantan Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah (JI)
Nasir Abas pada Lazuarsi Birru.
Efek informasi seperti ini (pemilihan
diksi, red), kata Nasir, ketika generasi muda ketemu dengan para pelaku
bom, mereka beranggapan bahwa inilah mujahid seperti yang dibilang oleh
media tertentu. Itu sebabnya para teroris selalu mendapat bantuan.
Menurut dia, terorisme tidak akan pernah
eksis tanpa bantuan dari pihak lain, baik secara langsung ataupun tidak
langsung. “Nurdin itu warga Malaysia yang tidak mengenal Indonesia, yang
tidak mengerti daerah-daerah Indonesia. Kalau tanpa ada pendukung yang
membantu dan membelanya, tidak mungkin terjadi,” ungkapnya.
Mantan anggota Jamaah Islamiyah ini
mengatakan, istilah bom bunuh diri sebenarnya juga membuat para pelaku
bangga. Karena ada kesan sebagai seorang pemberani. Seharusnya, lanjut
Nasir, yang pantas adalah bom manusia. “Kalau kita mengatakan bom yang
dipasang di mobil bom mobil, bom yang dipasang dibuku adalah bom buku.
Mengapa kita tidak menyebut bom yang dipasang di manusia dengan sebutan
bom manusia?” demikian Nasir menjelaskan.
Sebab menurut Nasir, dengan menyebut bom
manusia, ada kesan mereka dikorbankan oleh temannya sendiri yang menjadi
wadah dari bom itu. Kesan ini harus dibentuk dalam pemahaman masyarakat
dan publik. Disinilah peran media mewacanakan dan mengampanyakan
istilah bom manusia itu, agar masyarakat atau remaja memahami bahwa bom
bunuh diri itu dikorbankan, hanya dijadikan wadah dan alat.
“Seharusnya pertanyaannya bukan kenapa
mereka berani menjadi bom bunuh diri, tapi kenapa mereka begitu bodoh
menjadi wadah bom? Padahal teknis untuk meledakkan itu banyak cara tidak
harus meledakkan tubuh orang,” kata dia.[Az].
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar