Kamis, 21 Februari 2013

Redam Radikalisme Bisa Dimulai dari Ikhtiar Berbahasa


 

Laku berbahasa sejatinya bukan sekedar tentang menghubungkan atau mengkomunikasikan sesuatu. Bahasa bisa dipahami lebih luas dari itu. Melalui bahasa-lah manusia bertemu dengan ihwal yang ada. Bahkan dengan berbahasa manusia bertemu dunia, menciptanya sekaligus juga terdeterminasi olehnya.

Pada level keseharian dari berbahasa inilah seseorang bisa melihat tipikal seperti apa orang tertentu. Jika dikaitkan dengan radikalisme agama misalnya, akan tampak bahwa radikalis memiliki kadar pergumulan dengan kosa kata “panas” yang lebih tinggi. Bahasa-bahasa sesat, halal darahnya dan lain sebagainya bisa dipastikan lebih sering beredar dalam kesehariannya.

Islam sejatinya agama cinta kasih. Dalam laku berbahasa keseharian sangat tampak hal itu. Misalnya ketika seorang muslim akan memulai sesuatu dianjurkan membaca basmallah, dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Artinya setiap hari setiap muslim diingatkan akan pentingnya cinta kasih. Maka menurut Direktur Aman, Rubi Khalifah, ironis jika seorang muslim menjadi radikal. Dengan kata lain jika muslim menjadi radikal maka bisa dipastikan ada yang tidak sinkron dalam cara ber-Islamnya.

Ruby juga menekankan arti penting dari produksi bahasa-bahasa yang menyejukkan dan menenangkan secara lebih sering. Dengan upaya ini perdamaian atau kondisi non-kekerasan akan terbuka dan terkondisikan.

“Bahasa-bahasa yang menenangkan, menyejukkan misalnya cintai sesamamu harus lebih sering diproduksi. Daripada mengulang-ulang bahasa kekerasan. Sepertinya kita gengsi bilang i love you. Padahal sebagai orang beragama kita harus mencintai dan mengasihi orang lain” Kata Rubi Khalifah. [Mh].

Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar