Ahmad Sajuli, Ketua Forum Komunikasi Eks Afghanistan Indonesia (FKEAI).
Tujuan petinggi Darul Islam (embrio
Jamaah Islamiyah) mengirimkan kadernya mengikuti pelatihan militer di
Afghanistan sejak 1985 hingga awal dasawarsa 1990-an adalah menyiapkan
pasukan perang untuk melakukan revolusi melawan pemerintah Orde Baru.
Maksud tersebut tak pernah terlaksana.
Rezim Orba tumbang karena aksi massa yang dipelopori mahasiswa, bukan
kekerasan bersenjata. Alih-alih melawan Soeharto, sebagian alumni Akmil
Afghanistan justru berkamuflase menjadi teroris di bumi pertiwi
pascareformasi.
“Sebenarnya itu asumsi yang salah. Hanya segelintir ikhwan
yang melakukan teror, kami semua terkena getahnya. Akmil Afghanistan
tidak mendidik kami jadi teroris yang merusak negeri sendiri,” ungkap
Ahmad Sajuli, alumni Akmil Afghanistan Angkatan 1987, kepada Lazuardi
Birru.
Menurut pria asli Jakarta yang kini
menjadi Ketua Forum Komunikasi Eks Afghanistan Indonesia (FKEAI) itu,
selama masa pendidikan di Akmil tersebut, ia tidak hanya belajar seputar
penggunaan dan perakitan senjata, namun ada pula materi pelajaran
tauhid, sejarah Islam, fiqih, dan lainnya.
“Kami diajari fiqih jihad, di situ ada
etika berperang di mana kita tidak boleh membunuh anak, warga sipil non
kombatan, binatang, serta merusak pepohonan,” tandasnya.
Dalam hemat Sajuli, Islam adalah agama
yang mengayomi. Maka dalam berjihad pun, lanjutnya, seorang mujahid
diharamkan sembarangan bertindak. Jihad harus berada di wilayah perang.
“Kami juga diajarkan untuk ikhlas
berjihad agar jika meninggal kami termasuk syahid. Diceritakan pada
zaman Rasullullah, ada seseorang yang dianggap syahid karena mati dalam
peperangan. Namun menurut Rasulullah tidak syahid karena dia mengikuti
perang agar bisa mati syahid dan orang-orang tahu kalau dia berstatus
syahid. Intinya dia berjihad karena riya’ ” terang dia. (fiq).
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar