Kamis, 31 Januari 2013

Fakhri Bey: Memastikan Hak Korban Terorisme





Dalam beberapa kasus aksi terorisme di Indonesia, hak-hak korban yang meninggal, cedera (survivor), atau pun keluarga yang ditinggalkan kerapkali terabaikan. Sudirman misalnya, korban Bom Kuningan 2004 mengaku tidak pernah memeroleh bantuan dari pemerintah Indonesia, baik dalam bentuk santunan untuk pengobatan maupun lainnya.

Hal senada juga disampaikan korban Bom Kuningan lain, Iwan Setiawan. Beruntung, kedua orang yang hingga kini harus terus menjalani pengobatan atas cedera yang mendera mereka akibat ledakan itu mendapatkan bantuan dari Kedubes Australia.

Sedangkan Hayati Eka Laksmi, mendiang suaminya Imawan Sardjono, korban Bom Bali I tahun 2002 mengaku mendapatkan santunan dari pemerintah Indonesia, tetapi hanya di awal pascaperistiwa. Kedua putranya yang menjadi yatim akibat aksi keji itu justru mendapatkan beasiswa pendidikan hingga perguruan tinggi dari LSM Yayasan Kemanusiaan Ibu Pertiwi (YKIP).

Kenyataan lebih pahit dialami Chusnul Chotimah, korban Bom Bali I yang mengalami cacat permanen akibat luka bakar di sekujur tubuhnya. Lantaran permohonan bantuan kesehatan agar dapat berobat rutin ke rumah sakit secara gratis tidak kunjung direspon oleh pemerintah daerah Denpasar, pada tahun 2008, ia bahkan mengirim surat ke Presiden Republik Indonesia (detik.com, 06/11/2008).

Menurut Fachri Bey, S.H., M.M., Ph.D, ahli victimologi (korban kejahatan) dan pengajar Ilmu Hukum Pidana Universitas Indonesia, sebenarnya hak korban terorisme sudah diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme sebagai pengganti Perpu Nomor 1 Tahun 2002, Bab VI yang mengatur Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi. Namun implementasi di lapangan, hak korban untuk memeroleh kompensasi atau restitusi dari pemerintah tidak semudah seperti yang termaktub dalam UU tersebut.

Lantas bagaimana memastikan agar hak korban terorisme bisa terjamin, baik itu dalam bentuk jaminan biaya pengobatan ataupun santunan lain? Berikut perbincangan Lazuardi Birru dengan peraih gelar Doktor dari Universiti Kebangsaan Malaya (UKM) Malaysia itu.

Kita awali dari definisi, sebenarnya siapakah yang bisa dikategorikan sebagai korban?
Ada beberapa pengertian mengenai korban. Dalam Undang-undang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) misalnya, yang disebut korban adalah istri atau orang-orang yang di dalam rumah termasuk pembantu.

Jika dibandingkan dengan berbagai perundang-undangan di luar negeri, yang disebut dengan korban itu termasuk keluarganya. Jadi kalau ada kompensasi atau restitusi untuk korban, namun ia sudah meninggal maka ahli warisnya boleh menerima itu.

Dalam konteks terorisme, ketika misalnya ada anak-anak yang dipaksa dengan ancaman untuk melakukan tindakan terorisme, mereka layak dikategorikan sebagai korban. Begitu pula dengan orang dewasa yang “tersandera” melakukan terorisme, namun itu tergantung dengan penyidikan pihak aparat.

Di Indonesia, banyak kasus di mana korban terorisme membiayai sendiri pengobatannya. Apakah tidak ada sistem yang menjamin biaya pengobatan mereka?
Di Indonesia, hak korban terorisme selain diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2003, juga bisa berpatokan pada UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), karena terorisme merupakan pelanggaran HAM. Dalam UU itu disebutkan pula definisi korban dan hak-haknya yang perlu diberikan dalam rangka merehabilitasi kembali keadaannya.

Bersama tim di Kementerian Hukum dan HAM, saya pernah melakukan perincian dari biaya-biaya kompensasi dan restitusi kepada korban terorisme. Tetapi hambatannya saat itu, anggaran untuk kompensasi tersebut belum diajukan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Waktu itu kami lantas mengajukan dalam bentuk PP (Peraturan Pemerintah). Namun itu tidak jadi diberlakukan karena UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dicabut, sehingga jumlah perhitungan restitusi dan kompensasi yang sudah kami tetapkan, dengan Kementerian Keuangan sebagai lembaga yang bertanggungjawab membayarnya, juga ikut dibatalkan.

Apakah ada benchmarking dari negara lain mengenai penanganan korban itu?
Kalau kita bandingkan dengan negara-negara lain seperti Amerika, Filipina, Hongkong, dan Jepang, ditetapkan bahwa untuk pengobatan medis korban itu ditanggung oleh negara. Biasanya ini disebut dengan post trauma stress disorder (PTSD), akibat dari tindak terorisme atau pidana lainnya.
Bahkan di banyak negara ada kebijakan jika korban sampai cacat dan kemudian tidak bisa bekerja lagi, maka harus diberikan kompensasi oleh negara atau pelaku. Jadi tidak hanya sesaat setelah insiden terjadi tetapi sepanjang hidupnya.

Kemudian ada juga negara yang memberikan support to dependent of these victims yaitu orang-orang yang hidupnya tergantung pada si korban seperti anaknya, istrinya, atau ibu/bapaknya. Begitu ada orang menjadi korban terorisme maka dukungan/dorongan akan diberikan kepada mereka. Sumbernya bisa dari anggaran negara, asuransi, atau pihak ketiga yang dapat memberikan restitusi.

Bahkan ada juga negara yang memberikan biaya penguburan. Kemudian jika korban harus berobat ke luar negeri atau di luar dari tempat kedudukannya, maka biaya perjalanannya juga harus dibayarkan oleh negara atau oleh pelaku. Bahkan ada pula negara yang memberikan kompensasi kepada orang asing yang menjadi korban tindak pidana di negerinya. Mereka juga dapat mengajukan klaim kompensasi dan restitusi.
Kompensasi dan restitusi untuk korban itu sudah dianggarkan dalam anggaran nasional. Itu seperti asuransi kecelakaan di mana setiap warga negara kita sudah diasuransikan untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi.

Dalam konteks Indonesia, apakah hak-hak korban yang Anda sebutkan itu sudah diberlakukan?
Untuk Indonesia sudah ada UU Saksi dan Korban Nomor 13 Tahun 2006. Prinsip dasarnya, pertama, memberikan penghargaan atas hakikat dan martabat kemanusiaannya. Kedua, memberikan rasa aman kepada korban. Ketiga, memberikan keadilan kepada korban agar tidak merasa terdiskriminasi. Keempat, pembayaran ganti ruginya merupakan suatu kepastian hukum.

Di Indonesia, hak-hak korban yang sudah ditetapkan adalah pemberian perlindungan kepada korban, keamanan pribadinya, keluarganya maupun harta bendanya. Ini diatur pada pasal 5 UU Nomor 13 Tahun 2006.

Hak korban pula untuk ikut dalam proses peradilan si pelaku, berhak memberikan keterangan tanpa tekanan dari pihak mana pun, mendapatkan penerjemah jika ia tidak mengerti tentang hal-hal yang ditanyakan, didampingi oleh penasehat hukum, memeroleh informasi perkembangan kasus tersebut.
Korban juga berhak mendapatkan identitas baru. Ini berlaku bagi korban pemerkosaan atau karena ia memberikan kesaksian yang mengakibatkan hukuman pelaku menjadi berat sehingga rentan diincar pelaku. Dalam hal ini korban juga bisa diberikan alamat yang baru jika ia ingin pindah.
Hak korban lainnya adalah berhak mendapatkan penggantian biaya transportasi pengobatan, bantuan biaya hidup selama proses perlindungan, dan bantuan rehabilitasi psikososialnya.

Bagaimana memastikan hak-hak korban?
Semua penuntutan hak korban itu harus jelas prosedurnya. Ke mana mereka harus melapor. Lalu berapa lama laporan itu bisa disimpan oleh polisi untuk diproses sampai pembayaran dari Kementerian Keuangan.
Sekarang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sudah ditunjuk sebagai instansi yang menerima laporan tadi. Mereka mestinya berhak menghitung berapa hak korban yang harus dibayarkan dan lantas mengajukannya ke Kemenkeu. Tetapi tampaknya itu belum dilakukan. Hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi itu harus diproses dengan baik artinya tidak dalam waktu yang terlalu lama karena korban sudah cukup menderita akibat tindak pidana yang dilakukan orang lain.

Apa saran Anda untuk penanganan korban terorisme di Indonesia?
Sekali lagi yang perlu ditekankan adalah prosedur pengurusan hak korban harus jelas sehingga korban tidak susah untuk mendapatkan segala hak bantuannya. Jika sekarang yang ditunjuk LPSK, maka mestinya LPSK memiliki cabang di setiap provinsi.

Kemudian apakah bantuan kepada korban itu dianggarkan oleh LPSK? Apakah yang membayarkan LPSK atau Kemenkeu? Atau jika di daerah maka pemdanya? Itu semua perlu ditegaskan sehingga korban benar-benar terlindungi. Korban terorisme itu orang-orang tidak terduga yang sebenarnya bukan sasaran teroris. Pasalnya, aksi-aksi serangan bom seperti yang terjadi di Indonesia dilakukan secara acak.
Perlu saya tambahkan, UU terorisme itu sendiri sudah menyebutkan bahwa terorisme adalah tindak pidana yang mempunyai jaringan luas yang mengancam perdamaian dan ketenangan suatu negara bahkan terkadang lintas negara, sehingga yang menjadi korban bisa saja warga negara asli ataupun warga negara asing. Sehingga korban yang jatuh bisa saja orang asing. Karena itu kita perlu membuat aturan ini.[syafiq]

Biodata:
Nama  Lengkap                       : Fachry Bey S.H., M.M, Ph.D.
Pekerjaan                                : Ahli Victimologi dan Pengajar Ilmu Hukum Pidana Universitas Indonesia
Pendidikan                              : S3 Antropologi dan Sosiologi Universiti Kebangsaan Malaya, Malaysia
Email                                       : fachribey@yahoo.co.uk

(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar