Persoalan radikalisme di Indonesia
merupakan masalah yang sangat kompleks. Karena itu, penyelesaiannya juga
harus komprehensif. Hal tersebut diungkapkan Direktur Riset Maarif
Institute, Ahmad Fuad Fanani pada Lazuardi Birru, di Jakarta.
Menurut Fuad, radikalisme muncul menjadi
diskursus yang mewarnai dinamika sosial politik di Tanah Air seiring
dengan digulirkannya reformasi pada 1998. “Itu terutama mucul
pascareformasi 1998 ketika arus reformasi dan demokrasi datang ke
Indonesia,” kata master lulusan Flinders University ini.
Di satu sisi, kata pria kelahiran Blitar
ini, reformasi dan demokrasi membuat banyak hal menjadi baik. Misalnya
ada kebebasan berpendapat, kebebasan berpartai, kebebasan pers, ada
otonomi daerah, ada kontrol masyarakat terhadap negara dan sebagainya.
Namun di sisi lain, lanjut Fuad, arus
demokrasi dan otonomi daerah juga digunakan oleh kelompok-kelompok
tertentu untuk tujuan yang tidak demokratis. Pascareformasi 1998, kata
Fuad, banyak kelompok ekstremis yang muncul dan menguasai ruang publik.
“Jadi persoalan radikalisme itu salah satu bagian dari anak haram
demokrasi atau reformasi,” tegas Fuad.
Jadi, menurut Fuad, reformasi 1998
memiliki dua mata sisi yang berbeda, satu pisitif dan yang lain negatif.
Karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi setiap orang untuk
mengorientasikan reformasi pada sisi positifnya, jangan sampai
dimanfaatkan oleh kelompok tertentu, khususnya kelompok ekstremis yang
menggunakan kekersan sebagai solusi dalam menyelesaikan masalah.[Az]
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar