Direktur Moderate Muslim Society (MMS)
Agus Muhammad mengatakan, belakangan ini kita sering menyaksikan
kekerasan yang dilakukan oleh kelompok tertentu dengan mengatasnamakan
agama. Misalnya kekersan terhadap aliran yang dianggap sesat.
Begitu ada sekte atau kelompok yang dicap
sebagai aliran sesat, kata Agus, masyarakat kerap menggunakan kekerasan
sebagai solusi. Padahal belum tentu kelompok itu sesat seperti yang
dituduhkan. “Saya kira ini problem, karena keyakinan diadili. Padahal
keyakinan itu adalah hak setiap orang,” kata Agus pada Lazuardi Birru,
di Jakarta.
Karena itu, kata pria yang juga aktif di Rabithah al-Ma’ahid al-Islamiyyah
(RMI) NU ini, pemerintah harus mulai memikirkan dan menyelesaikan
masalah ini. “Menyelesaikan dalam pengertian harus ada payung hukum yang
bisa memberi landasan dan ketegasan dalam menyelesaikan masalah ini,”
ungkapnya.
Kebebasan beragama di Indonesia ini
diatur dalam UUD 1945 Pasal 29. Kemudian dijelaskan juga dalam TAP MPR
Tahun 1998 No. XVII tentang HAM yang mengakui hak beragama sebagai hak
asasi manusia sebagaimana tertera pada pasal 13: “Setiap orang bebas
memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.” Ketentuan ini sejalan dengan rumusan yang terdapat
dalam UUD 1945.
Dalam konteks ini, kata Agus, pihaknya
pernah membahas tentang Undang-Undang Penodaan Agama. Ia sempat membaca
secara umum ada upaya kriminalisasi terhadap keyakinan. Menurut dia,
dalam UU itu orang kemudian menafsirkan bahwa seseorang atau sekelompok
orang yang memiliki keyakinan berbeda dengan kelompok mainstream dalam
melakukan ibadahnya dianggap sebagai penodaan agama. “Padahal itu hanya
tafsiran saja,” kata alumni IAIN (sekarang UIN, red) Sunan Kalijaga
Yogyakarta ini.
Padahal dalam TAP MPR tentang kebebasan
beragama, lanjut Agus, dengan tegas dinyatakan bahwa itu sejauh
disebarkan secara terbuka, sejauh mengganggu ketertiban umum, sejauh
melecehkan atau merendahkan dan menyinggung kelompok agama lain yang
yang sudah menjadi mainstream. Tetapi dalam TAP MPR itu tidak menyebut
soal pidananya.
Karena itu, kata Agus, yang kemudian
dipakai adalah UU Penodaan Agama yang ada dalam KUHP. “Itu yang kemudian
dijadikan alasan aparat, terutama untuk menangkap sekte-sekte kecil
yang dianggap sesat. Ini yang menurut saya ironis,” demikian Agus
menjelaskan.
“Dan seringkali yang dijadikan tertuduh lebih awal adalah kelompok minoritas, bukan pihak penyerangnya,” imbuhnya.
Menurut dia, bahwa kelompok minoritas itu
adalah kelompok yang sesat bisa saja mungkin. Namun menyelesaikan
kelompok yang dianggap sesat ini tidak mungkin diselesaikan dengan
cara-cara kekerasan. Karena cara kekerasan itu tidak akan pernah
mengubah keyakinan seseorang. “Semakin kekerasan dihadapi dengan cara
kekerasan biasanya akan semakin kuat. Keyakinan itu ibarat paku, ketika
diketok dengan palu, maka paku tersebut semakin menancap,”
pungkasnya.[Az]
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar