Pendekatan represif aparat dalam
penanganan terorisme secara bertahap harus dikurangi lantaran justru
memicu pola resistensi baru dari kelompok radikal. Program
deradikalisasi sebagai hulu penanggulangan terorisme mesti
diprioritaskan. Namun jangan sampai program ini dipaksakan hingga memicu
asumsi bahwa deradikalisasi hanyalah proyek pesanan asing.
Pendapat ini dikemukakan oleh Masdar Hilmi, peneliti radikalisme IAIN Sunan Ampel Surabaya kepada Lazuardi Birru.
“Pemerintah harus melibatkan kelompok
sipil agar memberikan penyadaran kepada umat Islam bahwa deradikalisasi
adalah kebutuhan bagi internal umat Islam. Bahwa hal itu diperlukan
untuk mengonstruksikan pemahaman agama sebagian kelompok yang selalu
mengaitkan teror dengan jihad,” tandas Masdar.
“Bahwa ada banyak orang yang baru masuk
ke dalam kantong-kantong jaringan radikal, tidak pernah belajar dari
ideolog utama, namun dengan sekali justifikasi teologis, mereka bisa
rela menjadi teroris. Di situlah pentingnya deradikalisasi sebagai
pencegahan,” sambungnya.
Lebih lanjut ia menerangkan, penanganan
terorisme memang harus dari hulu hingga hilir. Di hulu, deradikalisasi
itu sangat penting. Sementara di hilir, penegakan hukum juga sebuah
keniscayaan.
“Namun penegakan hukum itu sebisa mungkin
menghindari cara-cara yang terlalu represif seperti penembakan terhadap
tersangka teroris. Jika itu dilakukan, maka yang terjadi adalah simpati
dari kelompok yang sesungguhnya tidak seideologi dengan tersangka
teror, namun karena kasihan terhadap keluarganya semisal, maka mereka
akan ikut memusuhi polisi,” terangnya.
Langkah lain yang tak kalah penting
menurut Masdar adalah pemerintah merangkul dan mengajak dialog
kelompok-kelompok radikal. Melalui cara ini, kegiatan-kegiatan bawah
tanah kelompok radikal bisa dicegah,” tegasnya. (fq)
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar