Kamis, 03 Januari 2013

KH Said Aqil: Radikalisme Bukan “Makhluk” Baru



Dalam sejarah politik Islam, sejak masa hidup sahabat Nabi Muhammad SAW, kelompok-kelompok keagamaan radikal yang menghalalkan darah saudara sesama muslim hanya lantaran perbedaan paham politik telah muncul, salah satu dari mereka adalah kelompok Khawarij.

Bahkan Imam Ali bin Abi Thalib KW, pemimpin keempat dalam sistem Khulafau Al-Rasyidin dan menantu Nabi juga dibunuh oleh seorang radikalis Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam.
Secara personal Abdurrahman adalah sosok yang salih. Tak hanya rajin ibadah wajib, amalan sunah seperti puasa Senin dan Kamis serta shalat tahajjud rutin ia kerjakan, hingga seolah menjadi kewajiban pribadinya. Tak hanya itu, ia juga penghafal Alquran. Namun lantaran menganggap Ali bin Abu Thalib telah kafir sehingga darahnya halal untuk ditumpahkan, maka ia lakukan pembunuhan itu.

Paparan itu membuka perbincangan Lazuardi Birru dengan KH. Said Aqiel Siradj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) beberapa waktu lalu. Sore itu, di kantor PBNU di Jalan Kramat Raya Salemba, sembari ditemani sebungkus rokok mild, Kang Said, demikian sapaan akrabnya di kalangan Nahdliyyin (warga NU) menjawab tangkas pertanyaan-pertanyaan dari LB seputar problem radikalisme dan terorisme berlabel agama.

Berikut petikan perbincangan LB dengan peraih gelar Doktoral bidang filsafat Islam dari Universitas Ummu al-Qura Mekah itu.

Mengenai Khawarij, bisa diterangkan lebih jauh?
Khawarij awalnya adalah para pengikut Imam Ali bin Abi Thalib KW. Namun ketika pecah perang Shiffin untuk menumpas kelompok pimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan (Gubernur Syam) yang membangkang terhadap kepemimpinan Imam Ali, mereka berbeda pendapat dengan Imam Ali.
Ketika pertempuran hampir saja dimenangkan pasukan Ali, kelompok Muawiyah mengajukan Tahkim (gencatan senjata), dan Ali menerima itu. Namun sebagian pasukan yang tidak setuju atas keputusan tersebut lantas memilih keluar dari barisan Ali dan membentuk golongan sendiri.

Mereka berargumen bahwa Ali telah menerima hukum hasil musyawarah manusia, bukan hukum Allah. Dengan merujuk pada QS. Al Maidah: 44 bahwa barang siapa yang menerima hukum selain hukum Allah maka telah kafir, kelompok Khawarij menghalalkan pembunuhan terhadap Imam Ali bin Abi Thalib.
Dalam kelompok Khawarij sendiri ada beberapa faksi. Faksi yang agak lunak menyebut bahwa yang kafir hanyalah orang dewasa, yang anak-anak tidak. Namun ada faksi shafariyah yang sangat radikal yang memandang bahwa semua orang di luar kelompok khawarij, baik anak kecil maupun dewasa semua kafir dan halal darahnya. Perempuan dan anak-anak boleh dijadikan budak.

Artinya radikalisme berbasis agama itu bukan sesuatu yang baru?
Ya. Pemahaman yang menghalalkan tindak kekerasan dan penumpahan darah sesama muslim dengan merujuk pada dalil-dalil Alquran dan hadis itu sudah ada presedennya dalam sejarah politik Islam awal.
Bukan cuma dalam Islam, di setiap agama dan peradaban manusia, kelompok  radikal itu selalu ada. Dan itu bertentangan bahkan mencoreng serta membikin kotor agama itu sendiri.

Apakah benar agama mengajarkan kekerasan?
Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan dan main hakim sendiri, baik itu Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan lainnya. Islam memiliki ajaran rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta) dan tasamuh (toleransi). Kristen mengajarkan cinta kasih, di Hindu ada hahimsa, Budha ada moksa.

Dalam Islam sendiri, jangankan kepada sesama muslim kepada non muslim pun tidak boleh main hakim sendiri. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Man qotala dzimmiyan fa ana khosmuhu, wa man kuntu khosmahu fa lam yasyumma roihatal jannah (barang siapa yang membunuh non muslim maka ia akan berhadapan dengan saya [Nabi]. Dan barang siapa yang berhadapan dengan saya, maka ia tidak akan mencium bau surga.” Itu statemen Nabi yang luar biasa dalam melindungi hak hidup manusia, siapa pun dia.
Nabi pernah menerima hadiah dari Muqauqis (Gubernur Mesir) berupa kuda dan budak perempuan perempuan bernama Mariah Al Qibtiah yang kemudian dinikahi oleh Nabi. Mariah ini seorang pemeluk Kristen Koptik.

Beliau berpesan kepada sahabat Umar Bin Khattab R.A bahwa Islam akan tersebar di Mesir berkat  perjuangan Umar. Jika itu terjadi maka saya berwasiat agar keluarga Mariyah yang beragama Kristen itu jangan diganggu, artinya pemeluk Kristen jangan diganggu. Terbukti hingga sekarang kota Alexandria Mesir menjadi basis pemeluk Kristen.

Maka  begitu sahabat Umar menerima penyerahan kota Palestina beliau menjamin tidak akan ada satu gereja pun yang dibongkar atau dihancurkan. Beliau memberikan garansi kebebasan beribadah kepada pemeluk Kristen.

Begitupun dengan Salahuddin Al Ayubi. Ketika ia memimpin pertempuran melawan pasukan Romawi yang Katolik maka pemeluk Kristen di tanah Arab tidak diganggu sama sekali.
***********
11 September 2011, dunia dikejutkan oleh serangan yang diduga kuat dilakukan oleh jaringan Alqaeda pimpinan Osama bin Laden terhadap gedung WTC (World Trade Center) di New York dan sebagian kecil gedung Pentagon (markas pertahanan Amerika Serikat). Ribuan warga sipil meninggal. Pemerintah AS murka dan mengeluarkan kebijakan war on terror (perang melawan terorisme). Bagi sebagian aktivis muslim, kebijakan itu kerap dianggap sebagai war on Islam. Pasalnya Alqaeda adalah kelompok muslim militan.

Di Indonesia, aksi terorisme yang menelan jumlah terbesar adalah Bom Bali I, 12 Oktober 2002. 202 nyawa melayang, sebagian besar adalah wisatawan mancanegara.
Sebelum itu beberapa aksi teror bom sudah berlangsung di bumi pertiwi sejak tahun 2000, diawali pengeboman rumah Kedutaan Besar Filipina di Jakarta pada 1 Agustus 2000. Banyak pengamat menyebut bahwa aksi-aksi teror bom di tanah air dipicu oleh fatwa Osama bin Laden pada Februari 1998. Kala itu Osama mendeklarasikan World Islamic Front dan mengeluarkan fatwa yang menyerukan kewajiban berjihad melawan tentara dan warga sipil Amerika Serikat di mana pun berada.

Melihat fenomena itu, Kiai Said merasa geram. “Saya pikir ada big design untuk memojokkan Islam sebagai teroris. Di Indonesia kan umat Islam mayoritas. Karena banyak aksi bom di sini seolah-olah muncul pencitraan bahwa Islam itu radikal, ekstrem, dan gemar melakukan aksi teror. Padahal pelakunya cuma segelintir muslim,” cetusnya.

Terlepas dari itu, banyak pelaku terorisme, Imam Samudra dan Mukhlas (dalang Bom Bali I) misalnya, menggunakan ayat-ayat Alquran dan teks hadis untuk menjustifikasi tindakannya. Jadilah aksi terorisme bertameng agama.
Lantas bagaimana seorang Kiai Said, sosok yang sangat lama mendalami ajaran Islam, dari bilik pesantren Lirboyo, Kediri, kemudian Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, hingga menempuh studi sarjana hingga doktoral di Universitas Umm al Qura Makkah, terhadap fenomena terorisme?

Para pelaku teror di indonesia sering mengutip ayat-ayat Alquran yang menyerukan perang terhadap kaum kafir, bagaimana pandangan Pak Kiai?
Ayat-ayat perang itu turun ketika sedang pecah peperangan antara umat Islam dengan kaum kafir. Fungsi ayat tersebut untuk memberikan dorongan moral dan mental kepada pasukan Islam.
Alasan Islam membolehkan perang, itu yang harus dimengerti. Perang terjadi lantaran dakwah Islam terhalang oleh kekuatan tertentu. Nah, demi menghancurkan kekuatan itu, perang diperbolehkan. Hanya dalam rangka sebatas itu, artinya kalau dakwah Islam sudah bisa dilaksanakan, maka tidak boleh ada peperangan.

Berarti ada kesalahan tafsir?
Jelas. Kelompok-kelompok radikalis dan teroris ini dangkal memahami ajaran Islam. Dan itu sudah diprediksikan oleh Nabi Muhammad SAW.
Ada sebuah peristiwa di mana Rasulullah lantas memprediksikan lahirnya kelompok-kelompok yang dangkal memahami ajaran Islam. Cerita ini termaktub dalam Syarah Shahih Muslim karya Imam Nawawi, pada Kitab Zakat, Bab al Qismah (pembagian).

Ketika Rasulullah mendapatkan rampasan perang Hunain dan Thoif yang banyak, kemudian dibagi setelah Fathul Makkah (penaklukan Mekah) di daerah Ja’ronah, ada seorang sahabat bernama Dzil Khuwaisyir  yang marah dan protes atas pola pembagian Nabi yang terlihat aneh.
Pejuang senior tidak mendapatkan bagian, namun orang-orang yang baru masuk Islam bahkan konglomerat seperti Abu Sufyan dan Al Bakhtari masing-masing diberi jatah 100 ekor unta.
Dengan congkaknya Dzil Khuwaisyir maju ke depan dan berkata, “I’dil ya Muhammad, bagi-bagi yang adil hai Muhammad jangan semaunya sendiri.

Nabi Muhammad SAW pun menjawab bahwa yang beliau lakukan itu adalah perintah Allah bukan semaunya sendiri. Sebab tindakan Nabi yang seperti itupun bukan berdasarkan nafsu sebagaimana dijamin dalam surat An Najm.
Ketika orang itu pergi meninggalkan majelis pertemuan, Nabi Muhammad bersabda, akan muncul dari umat Islam orang seperti lelaki itu yang hafal Alquran tetapi tidak melewati tenggorokannya, mereka adakah sejelek manusia bahkan lebih jelek dari binatang.

Tidak melewati tenggorokan artinya mereka hanya memahami Alquran secara dangkal atau sangat literal. Maka tak heran lahirlah kelompok khawarij yang sebagian adalah penghafal Al-Quran tapi gemar mengkafirkan kelompok muslim lain.
Dalam syarah (penjelasan) hadis tersebut, Imam Nawawi menggambarkan sosok Dzil Khuwaisyir itu berkepala botak, jenggotnya panjang, jidatnya hitam, dan memakai gamis setengah kaki.

Lantas, bagaimana cara efektif menanggulangi terorisme?
Kalau yang sudah menyakini jalan kekerasan sebagai kebenaran, itu sulit untuk disadarkan. Orang-orang militan yang percaya betul bahwa ketika mati akibat aksi bom bunuh diri akan langsung disambut oleh 70 bidadari itu sudah sangat sulit disadarkan.
Tugas kini sekarang adalah melakukan antisipasi agar doktrin-doktrin radikalisme tidak menjerat generasi muda, remaja masjid, pegiat majelis taklim, dan sekolah-sekolah.

Apa yang sudah dilakukan oleh NU dalam upaya penanggulangan radikalisme?
Selamanya NU ini kan membangun masyarakat yang wasaton (moderat). Mazhab kita ahlus sunnah wal jamaah itu supaya masyarakat berislam secara benar sesuai ajaran nabi Muhammad yaitu membangun masyarakat yang beradab, berakhlak, berilmu, bukan hanya secara akidah dan syariah saja.
Dasarnya adalah firman Allah dalam QS At Taubah: 122 yang artinya “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”

Nah NU dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara ini mendapat bagian tafaquh fiddin yang bertugas menjaga moral umat, pengawal agama, kebudayaan, ahlus sunnah, NKRI dan pancasila. Itulah mengapa NU tidak terjun di dunia politik praktis.
Dan itu bukan barang kecil. Sikap moderat itu butuh pengorbanan. Dan kiai-kiai NU sudah berkorban dengan meninggalkan sekitar 50 juta anak bangsa yang taat beribadah tapi punya komitmen tinggi dengan kebangsaan. Muslim yang agamis sekaligus nasionalis. Itu persembahan NU terhadap bangsa,kemanusiaan, dan peradaban dunia.

Ada sebagian pelaku tindak pidana terorisme yang berasal dari keluarga NU?
Ya, namanya orang banyak kan nggak semuanya benar. Tetapi sekali orang sudah terjerat terorisme berarti dia bukan NU lagi.

Apa saran NU kepada pemerintah?
UU Antiterorisme harus diperkuat. Saya setuju bahwa siapa pun yang dicurigai akan melakukan aksi teror boleh ditangkap, tetapi jangan sampai ada penyiksaan. Jika memang ditemukan bukti yang memerkuat dugaan ya silakan diteruskan, jika tidak ada ya harus dilepas. Tidak masalah intelijen melakukan penangkapan. Terorisme itu berbeda dengan tindak kriminal biasa. Kalau menunggu orang melakukan aksinya baru bisa ditangkap, ya akibatnya  bom meledak di mana-mana baru dicari.

Saya yakin polisi dan intelijen itu tahu kok. Nyatanya setiap aksi demonstrasi polisi bisa tahu bahwa provokatornya si A, berasal dari kelompok mana, dan latar belakangnya apa. Maka kalau bekerja serius, bisa kok polisi menangkap sebelum kelompok itu berbuat.

Saya pernah mengkritik keras polisi ketika terjadi teror bom buku pertengahan tahun 2011. Waktu itu Kapolri langsung mengirim pesan singkat (SMS) dan mengucapkan terima kasih atas kritiknya dan berjanji akan segera menangkap pelakunya. Betul, seminggu kemudian puluhan orang tertangkap. Artinya polisi sebenarnya tahu, cuma nggak bisa menangkap karena belum ada payung hukumnya.
Oh ya, saya juga usul. Orang-orang yang suka melakukan caci-maki dengan kata-kata kotor terhadap tradisi-tradisi seperti perayaan Maulid Nabi, tahlil, dan sebagainya itu juga bisa ditangkap. Itu membuat resah masyarakat. Tradisi-tradisi itu sudah membudaya dan terbukti baik kok disebut bid’ah, perbuatan orang kafir dan musyrik.

Apakah pemerintah harus melibatkan masyarakat sipil?
Harus. Karena organisasi kemasyarakatan seperti NU dan Muhammadiyah itu lebih tahu tentang gerakan-gerakan di masyarakat yang di luar mainstream. Kebijakan pemerintah yang menyangkut kepentingan besar tu harus mengikutsertakan NU, Muhammadiyah, dan Ormas lain yang memiliki komitmen besar pada NKRI.
******
Tak terasa, perbincangan seputar radikalisme-terorisme bertopeng Islam dan NKRI mengalir hingga sore terus beranjak menuju petang. Waktu di alat recorder menunjukkan, wawancara telah berlangsung lebih dari 45 menit. Tentu itu belum termasuk obrolan pembuka.

Pak Kiai,  closing statement dari wawancara ini
Mari kita teruskan perjuangan membangun bangsa dengan mengamalkan Islam secara benar. Kita harus terus meningkatkan kualitas kita untuk mengembangkan kebudayaan dan negara ini. Kewajiban kita adalah membangun masyarakat wasathon (moderat) yang tidak mengenal  ekstrim kanan maupun ekstrim kiri. Dan itu telah berhasil diberi contoh oleh Nabi Muhammad ketika membangun masyarakat Madinah yang beradab dengan pluralitas etnisnya.

Nabi Muhammad berhasil membuat konstitusi kita kenal sebagai Shahifa Madinah (Piagam Madinah). Di dalamnya, seperti dikutip oleh Abdul Malik Ibnu Syam Al Anshary dalam Sirah Nabawiyyah juz 2 hal 219-221, tidak ada satu pun kata Islam demi kesetaraan.
Nabi berhasil membangun masyarakat yang solid, hak dan kewajiban masyarakat sama. Perlakukan di mata hukum sama, tak pandang bulu apakah muslim atau non muslim, pribumi atau pendatang.
Dan kita wajib meniru sunnah Nabi itu.
(Syafiq)
_______________________________
Biodata
Nama lengkap             : Prof. Dr. Said Aqil Siradj.
TTL                              : Cirebon, 03 Juli 1953
Riwayat Pendidikan
Formal:
1. S1 Universitas King Abdul Aziz, Jurusan Ushuluddin dan Dakwah, tamat 1982
2. S2 Universitas Ummu al-Qura, jurusan Perbandingan Agama, tamat 1987
3. S3 Universitas Ummu al-Qura, jurusan Aqidah/Filsafat Islam, tamat 1994
Non Formal:
1. Madrasah Tarbiyatul Mubtadi’ien Kempek Cirebon
2. Pesantren Hidayatul Mubtadi’en Lirboyo Kediri (1965-1970)
3. Pesantren Al-Munawwir Krapyak Jogjakarta (1972-1975)

(99 Orang Bocara Radikalisme dan Terorisme)



SumberLazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar