Aksi radikalisme berbasis agama dan
intoleransi masih kerap terjadi di negeri ini. Dengan mengatasnamakan
agama sekelompok organisasi tertentu melakukan tindak kekerasan terhadap
kelompok lain yang dianggapnya sesat dan merusak akidah umat Islam.
Radikalisme dan intoleransi tersebut tentu mengganggu tatanan kehidupan
berbangsa.
Peneliti Setara Institut Ismail Hasani
mengatakan dari perspektif gerakan sosial radikalisme dan intoleransi
lebih berbahaya daripada terorisme. Menurutnya, radikalisme dan
intoleransi berpotensi memperoleh dukungan besar dari masyarakat karena
beroperasi di zona aman.
“Kalau ditanya apakah anda setuju dengan
operasi antimaksiat yang dilakukan FPI, maka sebagian orang pasti setuju
karena orang Islam antimaksiat. Tapi kalau terorisme semua orang sudah
verb tidak ada yang mendukungnya. Dan dari berbagai survei dukungan
terhadap terorisme kecil,” ujar Ismail saat berbincang dengan Lazuardi
Birru.
Ia mengatakan penanganan terorisme sudah
jelas karena kerangka hukumnya sudah jelas, sementara radikalisme dan
intoleransi kerangka hukumnya tidak pasti. Dalam penanganan terorisme
kita hanya mendorong dan mengawal negara untuk menegakkan hukum dan rasa
aman bagi warganya.
“Radikalisme dan intoleransi harus
mendapatkan penanganan lebih, sedangkan kalau terorisme semua perangkat
penanganannya sudah jelas. Radikalisme dan intoleransi lebih berbahaya
karena tangga untuk menuju terorisme,” tandasnya.
Menurut dia jika pemerintah hanya
memberikan perhatian pada terorisme, sedangkan radikalisme dan
intoleransi tidak diperhatikan maka itu sama saja pemerintah menjadi
pemadam kebakaran. Pemerintah hanya menungggu kapan kebakaran terjadi,
tapi tak mau mengatasi aspek hulu yaitu ideologinya.[wan]
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar