Rabu, 30 Januari 2013

Usia Belia Terlibat Teroris, Tidak Utuhnya Fungsi Keluarga Salah Satu Faktornya



Keterlibatan usia muda pada aksi-aksi terorisme tentu sangat memprihatinkan. Nama-nama seperti Dani Dwi Permana; pelaku bom bunuh diri hotel JW. Marriot, Arga Wiratama; pelaku teror bom di Klaten dan Bayu Setiono; pelaku teror bom di Solo adalah anak-anak muda-belia yang terperangkap propaganda terorisme.

Sejatinya pada level yang lebih mikro, hal-hal semacam ini bisa diminamalisir dengan menghidupkan fungsi keluarga. Menurut dosen UIN Syarif Hidayatullah, A’lai Najib fenomena terlibatnya generasi muda pada aksi-aksi terorisme terkait juga dengan faktor fungsi keluarga yang tidak utuh lagi.

“Misalnya begini, ada keluarga yang memang orang tuanya sudah sangat sibuk dan tidak punya kontrol sama sekali” ungkap A’lai Najib.

Usia-usia remaja adalah suatu babakan hidup dalam seseorang di mana pencarian identitas menjadi sangat kentara. Jati diri yang belum menemukan pola, membuat remaja mencari-cari pengetahuan dari mana saja tentang makna hidup dan lain sebagainya.

Jika keluarga tidak tanggap dengan hal ini, tentu saja ruang galau seorang anak akan dapat diisi oleh pihak luar yang salah alamat. Inilah yang terjadi pada anak-anak muda yang terlibat terorisme. Ruang kegelisahan mereka telah dikuasai dan dibajak para mentor keagamaannya, murobbinya.

Sangat ironis misalnya, ketika aparat keamanan menanyakan pada orang tua yang anaknya terlibat terorisme, kebanyakan jawaban mereka tidak mengetahui apa aktivitas anaknya tersebut. Artinya aktivitasnya saja tidak diketahui, apalagi kegalauan yang dirasakan anaknya tersebut.

Menurut A’lai Najib hal ini menjadi ironis karena Indonesia dari segi budaya sebenarnya sangat penekankan budaya pengasuhan, erat dengan keluarga. “Kalau di luar negeri begitu usia 15 atau 16 tahun sudah berpisah dari orang tuanya dan tinggal di asrama. Kalau kita berbeda. Kita ini bahkan sampai S3, pokoknya selagi belum menikah, masih dengan orang tua”.

Menghidupkan kembali fungsi keluarga di antaranya bisa dengan menghidupkan komunikasi antara orang tua dan anak.

“Fungi keluarga yang saya maksud seperti ini, ada percakapan antara orang tua dan anak. Percakapan itu bisa lewat media apa saja” ungkap A’lai Najib. [Mh]



Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar