Strategi represif aparat tidak membuat
kelompok-kelompok radikal jera dan berhenti melakukan aksi kekerasan.
Sebaliknya malah kelompok radikal sekarang mengincar institusi
kepolisian sebagai bentuk balas dendam. Maka strategi yang harus
dikedepankan saat ini adalah langkah preventif melalui dialog dengan
kelompok-kelompok radikal.
Pendapat ini dikemukakan oleh Guru Besar
IAIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Dr. Syafiq Mughni. Menurut dia,
komunikasi dengan kelompok radikal penting, namun polanya harus
produktif, tidak dengan salah satu pihak memanfaatkan pihak lain untuk
kepentingan jangka pendeknya, melainkan demi kepentingan perdamaian
bangsa.
“Pemerintah memiliki peluang dan media
untuk berkomunikasi dengan kelompok manapun di negeri ini. Namun
polanya tidak boleh manipulatif,” tandasnya kepada Lazuardi Birru
beberapa waktu lalu.
Dengan pola tersebut, lanjut Syafiq,
pemerintah bisa mencegah kelompok-kelompok radikal ini untuk secara
leluasa menyebarkan ajaran kekerasannya, sekaligus menghambat mereka
bertumbuh menjadi kelompok teroris.
Selain itu, dalam proses komunikasi itu,
pemerintah harus melibatkan Ormas-ormas tradisional seperti NU,
Muhammadiyah, Persis, Nahdlatul Wathon, dan lainnya. Pasalnya, Ormas
Islam tersebut hidup dalam keseharian masyarakat.
“Ormas bisa berfungsi mencegah benih
pertumbuhan radikalisme baik pada pada ranah intelektual maupun
kultural. Banyak orang tidak sadar bahwa bibit terorisme itu tumbuh
ketika kelompok mayoritas mengancam bahkan menyerang kelompok minoritas.
Bibit terorisme paling dasar itu kerapkali hadir di depan mata kita
tanpa disadari. Dan itu menjadi tugas ormas dalam melakukan pencerahan,”
tandas Ketua PP Muhammadiyah ini.
Namun yang tak kalah penting, sambung
dia, adalah penegakan hukum terhadap kelompok-kelompok yang melakukan
aksi main hakim sendiri. Pasalnya, jika aksi kekerasan mereka dibiarkan,
itu membuka peluang pelanggaran hukum yang lebih besar seperti seperti
teror pengeboman. (sf)
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar