Sebagian kelompok di Indonesia membatasi makna jihad sebagai qital fi sabilillah (berperang),
tidak ada makna lain. Padahal menilik makna aslinya, makna jihad sangat
variatif dan kaya. Menurut Masdar Hilmi, Ph.D, Wakil Direktur
Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, pemahaman tersebut sangat
‘talibanistik’.
Taliban merujuk pada sebuah gerakan di
Afghanistan yang hendak mendirikan pemerintahan Negara Islam di
Afghanistan. Gerakan ini menguasai banyak wilayah di Afghanistan dan
sempat didukung oleh Amerika Serikat saat pendudukan Uni Sovyet, namun
digulingkan oleh AS karena dituding melindungi pentolan Alqaeda Osama
Bin Laden.
Taliban hingga kini masih eksis dan kerap bertanggung jawab atas aksi-aksi pengeboman di Afghanistan atas nama jihad fi sabilillah.
“Jihad itu akar katanya dalam bahasa Arab adalah jahada yang berarti badzlul wus’i (mengerahkan
daya upaya dengan sungguh-sungguh). Maka jika orang berangkat kerja
pagi dan pulang malam dengan niat mencari nafkah untuk keluarga agar
bisa beribadah kepada Allah, maka dia telah berjihad. Dan jika meninggal
berstatus syahid. Namun karena kelompok radikal menganut
mazhab Taliban, ya pemaknaan seperti itu ditolak,” tandasnya kepada
Lazuardi Birru beberapa waktu lalu.
Dalam hemat pengajar Fakultas Tarbiyah
IAIN Sunan Ampel ini, pada awalnya istilah jihad sama sekali tidak
terkait dengan aksi kekerasan apalagi membunuh. Namun dalam
perkembangannya, terus mengalami pergeseran hingga sekarang jihad hanya
diidentikkan sebagai peperangan. Lebih parahnya lagi, aksi terorisme di
bumi Indonesia juga dipahami sebagai implementasi jihad.
“Padahal jihad dalam makna perang itu memiliki syarat-syarat yang sangat ketat. Hanya bisa dilakukan dalam situasi perang (darul harbi),” tandas Masdar.
“Jihad hanya bisa diserukan oleh
institusi konstitusional yaitu Negara. Dan itu pun apabila jalan damai
sudah tidak bisa ditempuh lagi. Dalam proses jihad, kombatan juga tidak
boleh membunuh warga non kombatan, merusak tempat ibadah, merusak
pepohonan, dan masih banyak lagi syarat lain,” lanjut Masdar menegaskan.
Jika menilik kasus sekarang,
kelompok-kelompok radikal bahkan menyebut pembunuhan terhadap anggota
kepolisian sebagai aksi jihad lantaran mereka dianggap sebagai garda
terdepan pembela Negara thaghut.
“Sekali lagi itu karena mentalitas mereka
sangat talibanistik. Inginnya perang saja. Jika dahulu pada zaman
Rasulullah itu jihad bermakna perang, karena watak orang Arab saat itu
sangat barbarian. Dan Rasulullah baru berperang setelah Negara Madinah
berdiri, dan lantaran Negara itu diserang,” tukas Masdar.
“Nah, jika saat ini pemaknaan dan
implementasi jihad hanya sebagai peperangan, berarti kelompok tersebut
ingin kembali hidup di masa Arab abad ke 7 Masehi. Ya jika begitu
perangnya jangan pakai bom dong,” tutup Masdar. (fiQ)
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar