Beberapa Ormas rajin melakukan razia terhadap lokasi kemaksiatan, sebagian dengan cara kekerasan, atas nama menjalankan amar ma’ruf nahi munkar.
Landasan teologis yang digunakan adalah hadis Nabi, “Barang
siapa melihat kemunkaran maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak
mampu maka dengan lisan. Jika (masih) tidak mampu maka (mengingkari)
dengan hati. Itulah selemah-lemahnya iman.”
Dengan menafsirkan “tangan” sebagai aksi
fisik, beberapa kelompok merasa absah melakukan kekerasan demi
menghentikan suatu kemaksiatan. Tindakan nahi munkar demikian dalam pandangan Dr. KH. Imam Ghozali Said, pengasuh Pesantren An Nur Surabaya, di luar porsinya.
“Makna ‘tangan’ dalam hadis tersebut
adalah kekuasaan. Nah apakah kita punya kekuasaan? Jika sebagai orang
tua, ya wilayah kekuasaan kita adalah keluarga. Jika bertindak sebagai
pejabat kelurahan, ya wilayah nahi munkar-nya adalah kelurahan.
Lebih dari kelurahan, maka polisi yang berwenang. Bahkan polisi, jika
terkait dengan urusan rumah tangga seseorang, ya tidak bisa campur
tangan,” tandasnya kepada Lazuardi Birru beberapa waktu lalu.
Aturan tersebut, lanjut Imam, sudah jelas dalam fiqih. Maka jika Ormas semestinya wilayah nahi munkar-nya
adalah di internal organisasinya. “Urusan kemunkaran di publik, ya itu
wilayah kekuasaan polisi, jangan direbut. Kewajiban Ormas hanyalah
memberikan laporan dan saran kepada polisi untuk menindak kemaksiatan,”
tegasnya.
Tidak bisa dipungkiri, kepolisian kerap
bertindak lamban dalam menangani laporan-laporan dari Ormas. Kendati
demikian, main hakim sendiri tetap tidak bisa dibenarkan.
“Semua pihak memang harus mengoreksi diri. Jangan ada yang melampaui porsi kerjanya,” tutupnya. (fq)
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar