Rabu, 16 Januari 2013

Radikalisme Pemuda Tak Terkait Kemiskinan


Radikalisme kaum muda yang berujung pada terorisme biasanya tidak terkait dengan faktor ekonomi, melainkan lebih dipicu jaringan pertemanan dan indoktrinasi ideologis.

Hal ini diungkapkan oleh peneliti radikalisme Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Najib Azca, MA, PhD. Ia menyatakan gerakan radikal kaum muda terlalu sederhana jika dikaitkan langsung dengan faktor kemiskinan dan pengangguran. Sebagian besar kaum muda yang terlibat terorisme ternyata dari kalangan menengah dan berpendidikan tinggi.

“Fenomena ini dalam konteks Indonesia maupun konteks internasional. Sebagai contoh para teroris yang terlibat pengeboman 11 September 2002, semuanya dari kalangan terdidik dan keluarga kelas menengah. Variabel penting yang bisa menjelaskan keterlibatan pemuda ke dalam kelompok dan aksi radikalisme adalah variabel ideologi dan jejaring sosial,” kata pengajar FISIP UGM seperti dilansir laman Pikiran Rakyat.

Pernyataan tersebut diungkapkan Najib dalam pidatonya bertajuk “Yang Muda, Yang Radikal: Refleksi Sosiologis terhadap Fenomena Radikalisme Kaum Muda Muslim di Indonesia Pasca Orde Baru”. Pidato tersebut disampaikan dalam acara Dies Natalis ke-57 fakultas Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, Rabu (5/12/2012).

Dari hasil pengamatan Najib, sekitar 37 pemuda di tanah air terlibat aksi radikal selama 2012. Mereka terlibat terorisme dan vigilantisme (bagian dari radikalisme). Kondisi tersebut, lanjut dia, menunjukkan orientasi pemuda sebagai agen perubahan memiliki kecenderungan lebih kuat dan kemungkinan lebih besar untuk terlibat dalam gerakan radikal daripada orang dewasa.

Lebih lanjut ia menyatakan, gejala radikalisme kaum muda kini bisa dikategorikan sebagai schismogenesis atau perubahan sikap yang drastis di masa transisi rezim suatu negara. Schismogenesis itu misalnya muncul dalam bentuk kontestasi dan ketegangan politik dan ideologis antarkelompok.

 ”Salah satu bentuk schismogenesis yang paling dramatis adalah terjadinya peperangan komunal agama di Maluku, Maluku Utara, dan Poso, Sulawesi Tengah, yang telah menciptakan `moral shock` pada sejumlah besar pemuda Muslim untuk terlibat dalam gerakan jihad,” katanya seperti dilansir Antara.

Dalam hemat Najib, aksi radikal untuk terlibat dalam gerakan jihad bisa dilihat sebagai “aksi identitas” untuk mengakhiri krisis mendalam yang terjadi antara identitas dan diri-subotobiografis, yang terjadi pada aras personal maupun dalam konteks sosial. (sq)



Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar