Radikalisme kaum muda yang berujung pada
terorisme biasanya tidak terkait dengan faktor ekonomi, melainkan lebih
dipicu jaringan pertemanan dan indoktrinasi ideologis.
Hal ini diungkapkan oleh peneliti
radikalisme Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Najib Azca, MA,
PhD. Ia menyatakan gerakan radikal kaum muda terlalu sederhana jika
dikaitkan langsung dengan faktor kemiskinan dan pengangguran. Sebagian
besar kaum muda yang terlibat terorisme ternyata dari kalangan menengah
dan berpendidikan tinggi.
“Fenomena ini dalam konteks Indonesia
maupun konteks internasional. Sebagai contoh para teroris yang terlibat
pengeboman 11 September 2002, semuanya dari kalangan terdidik dan
keluarga kelas menengah. Variabel penting yang bisa menjelaskan
keterlibatan pemuda ke dalam kelompok dan aksi radikalisme adalah
variabel ideologi dan jejaring sosial,” kata pengajar FISIP UGM seperti
dilansir laman Pikiran Rakyat.
Pernyataan tersebut diungkapkan Najib
dalam pidatonya bertajuk “Yang Muda, Yang Radikal: Refleksi Sosiologis
terhadap Fenomena Radikalisme Kaum Muda Muslim di Indonesia Pasca Orde
Baru”. Pidato tersebut disampaikan dalam acara Dies Natalis ke-57
fakultas Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, Rabu (5/12/2012).
Dari hasil pengamatan Najib, sekitar 37
pemuda di tanah air terlibat aksi radikal selama 2012. Mereka terlibat
terorisme dan vigilantisme (bagian dari radikalisme). Kondisi tersebut,
lanjut dia, menunjukkan orientasi pemuda sebagai agen perubahan memiliki
kecenderungan lebih kuat dan kemungkinan lebih besar untuk terlibat
dalam gerakan radikal daripada orang dewasa.
Lebih lanjut ia menyatakan, gejala radikalisme kaum muda kini bisa dikategorikan sebagai schismogenesis atau perubahan sikap yang drastis di masa transisi rezim suatu negara. Schismogenesis itu misalnya muncul dalam bentuk kontestasi dan ketegangan politik dan ideologis antarkelompok.
”Salah satu bentuk schismogenesis
yang paling dramatis adalah terjadinya peperangan komunal agama di
Maluku, Maluku Utara, dan Poso, Sulawesi Tengah, yang telah menciptakan `moral shock` pada sejumlah besar pemuda Muslim untuk terlibat dalam gerakan jihad,” katanya seperti dilansir Antara.
Dalam hemat Najib, aksi radikal untuk
terlibat dalam gerakan jihad bisa dilihat sebagai “aksi identitas” untuk
mengakhiri krisis mendalam yang terjadi antara identitas dan
diri-subotobiografis, yang terjadi pada aras personal maupun dalam
konteks sosial. (sq)
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar