Senin, 21 Januari 2013

Ideologi Faktor Utama Remaja Terlibat Terorisme




Yogyakarta-Peneliti radikalisme dan sosiolog UGM, Najib Azca mengatakan, pengaruh ideology dan karakter jejaring sosial di sekitar generasi muda menjadi pendorong utama kemunculan aksi-aksi terorisme yang melibatkan anak muda. Dia juga membantah pendapat yang menyatakan pemuda muslim di Indonesia terpikat organisasi radikal dan melakukan aksi kekerasan karena dipengaruhi faktor kemiskinan dan pengangguran.

Najib mengatakan faktor ideologi dan jejaring sosial pergaulan anak muda ini juga menjelaskan alasan kemunculan radikalisme generasi muda di Barat. Dia menyebut contoh, pelaku teror pada peristiwa 11 September 2001 jutru bukan kalangan generasi muda miskin, tapi terdidik dan berasal dari kelas menengah. “Terlalu sembrono jika mengaitkan kemiskinan dan pengangguran menjadi variabel utama pemicu aksi teror pemuda muslim,” kata Najib saat menyampaikan pidato ilmiah dalam pembukaan peringatan dies natalis Fisipol UGM ke-57 pada Kamis, 6/12/2012.

Menurut Najib, keterlibatan generasi muda Indonesia dalam aksi teror dan organisasi radikal menunjukkan peningkatan signifikan sejak Orde Baru runtuh. Dia menyebut data, selama dua tahun terakhir saja, terdapat 37 pemuda yang teridentifikasi oleh aparat kemanan tergabung atau terasosiasi dengan jejaring pelaku terorisme di Tanah Air.

Meskipun secara konseptual radikalisme tidak identik dengan terorisme maupun kekerasan, namun terorisme dan vigilantisme bisa dilihat bisa dlihat sebagai varian dari fenomena radikalisme. “Pemuda memang agen sosial yang paling mudah menerima gagasan gerakan sosial radikal, mereka berbeda dengan kalangan berusia lebih tua,” kata Najib dalam pidato bertajuk ‘Yang Muda, Yang Radikal: Refleksi Sosiologis terhadap Fenomena Radikalisme Kaum Muda Muslim di Indonesia Pasca Orde Baru’ itu.

Najib menilai radikalisme kaum muda bisa dilihat sebagai respon terhadap ortodoksi dan arus utama yang terjadi dalam relasi kuasa. Bentuknya bisa berupa aksi kekerasan atau hanya sikap radikal yang nir-kekerasan. “Pasca Orde Baru, radikalisme itu muncul sebagai bentuk aksi identitas,” kata dia.

Penelitian yang ia lakukan menyimpulkan maraknya gerakan radikal Islam pasca orde baru merupakan respon terhadap schismogenesis di era transisi demokrasi. Schismogenesis ini muncul dalam bentuk adanya perubahan drastic yang memicu lahirnya beragam kelompok sosial dan politik baru, dan sekaligus, meningkatkan kontestasi, persaingan serta ketegangan politik.

Najib mencontohkan salah satu bentuk efek schismogenesis paling dramatis ialah konflik komunal berbasis agama di Maluku, Maluku Utara dan Poso. Konflik antar penganut agama di wilayah itu menunjukkan adanya moral shock yang menarik keterlibatan banyak pemuda muslim di gerakan jihad.

Dia menyimpulkan kajian mendalam pada radikalisme generasi muda perlu lebih luas sehingga tidak mudah terjebak kesimpulan yang menyederhanakan masalah. “Aksi radikal dalam gerakan jihad bisa dilihat sebagai ‘aksi identitas’ untuk mengakhiri krisis mendalam yang terjadi antara identitas dan diri-sutobiografis, yang terjadi pada aras personal maupun konteks sosial,” jelas Najib.




Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar