Yogyakarta-Peneliti
radikalisme dan sosiolog UGM, Najib Azca mengatakan, pengaruh ideology
dan karakter jejaring sosial di sekitar generasi muda menjadi pendorong
utama kemunculan aksi-aksi terorisme yang melibatkan anak muda. Dia juga
membantah pendapat yang menyatakan pemuda muslim di Indonesia terpikat
organisasi radikal dan melakukan aksi kekerasan karena dipengaruhi
faktor kemiskinan dan pengangguran.
Najib mengatakan faktor ideologi dan
jejaring sosial pergaulan anak muda ini juga menjelaskan alasan
kemunculan radikalisme generasi muda di Barat. Dia menyebut contoh,
pelaku teror pada peristiwa 11 September 2001 jutru bukan kalangan
generasi muda miskin, tapi terdidik dan berasal dari kelas menengah.
“Terlalu sembrono jika mengaitkan kemiskinan dan pengangguran menjadi
variabel utama pemicu aksi teror pemuda muslim,” kata Najib saat
menyampaikan pidato ilmiah dalam pembukaan peringatan dies natalis
Fisipol UGM ke-57 pada Kamis, 6/12/2012.
Menurut Najib, keterlibatan generasi muda
Indonesia dalam aksi teror dan organisasi radikal menunjukkan
peningkatan signifikan sejak Orde Baru runtuh. Dia menyebut data, selama
dua tahun terakhir saja, terdapat 37 pemuda yang teridentifikasi oleh
aparat kemanan tergabung atau terasosiasi dengan jejaring pelaku
terorisme di Tanah Air.
Meskipun secara konseptual radikalisme
tidak identik dengan terorisme maupun kekerasan, namun terorisme dan
vigilantisme bisa dilihat bisa dlihat sebagai varian dari fenomena
radikalisme. “Pemuda memang agen sosial yang paling mudah menerima
gagasan gerakan sosial radikal, mereka berbeda dengan kalangan berusia
lebih tua,” kata Najib dalam pidato bertajuk ‘Yang Muda, Yang Radikal:
Refleksi Sosiologis terhadap Fenomena Radikalisme Kaum Muda Muslim di
Indonesia Pasca Orde Baru’ itu.
Najib menilai radikalisme kaum muda bisa
dilihat sebagai respon terhadap ortodoksi dan arus utama yang terjadi
dalam relasi kuasa. Bentuknya bisa berupa aksi kekerasan atau hanya
sikap radikal yang nir-kekerasan. “Pasca Orde Baru, radikalisme itu
muncul sebagai bentuk aksi identitas,” kata dia.
Penelitian yang ia lakukan menyimpulkan
maraknya gerakan radikal Islam pasca orde baru merupakan respon terhadap
schismogenesis di era transisi demokrasi. Schismogenesis ini muncul
dalam bentuk adanya perubahan drastic yang memicu lahirnya beragam
kelompok sosial dan politik baru, dan sekaligus, meningkatkan
kontestasi, persaingan serta ketegangan politik.
Najib mencontohkan salah satu bentuk efek
schismogenesis paling dramatis ialah konflik komunal berbasis agama di
Maluku, Maluku Utara dan Poso. Konflik antar penganut agama di wilayah
itu menunjukkan adanya moral shock yang menarik keterlibatan banyak
pemuda muslim di gerakan jihad.
Dia menyimpulkan kajian mendalam pada
radikalisme generasi muda perlu lebih luas sehingga tidak mudah terjebak
kesimpulan yang menyederhanakan masalah. “Aksi radikal dalam gerakan
jihad bisa dilihat sebagai ‘aksi identitas’ untuk mengakhiri krisis
mendalam yang terjadi antara identitas dan diri-sutobiografis, yang
terjadi pada aras personal maupun konteks sosial,” jelas Najib.
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar