Dakwah yang dilakukan oleh Walisongo dinilai efektif untuk mengampanyekan Islam rahmatan lil alamin. Karena itu, sudah selayaknya para dai meniru cara dakwah yang pernah dilakukan oleh Walisongo tersebut.
Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU) KH Sya’roni Ahmad merasa prihatin dengan munculnya berbagai
kelompok Islam garis keras dan radikal. Karena itu, Kiai asal Kudus itu
meminta agar para ulama, dai dan umaro untuk selalu waspada namun tetap
arif dan bijaksana dalam menyampaikan dakwahnya.
“Akhir-akhir ini ada beberapa orang atau
kelompok yang mengatasnamakan mubaligh dalam menyampaikan dakwahnya
selalu memaksakan pendapatnya agar dianut dan diterima. Dan ini sangat
memprihatinkan bagi umat Islam itu sendiri,” kata Kiai Sya’roni, seperti
dilansir NU Online, 20/11/2012.
Kiai Sya’roni mengimbau agar para dai
meniru cara dakwah Walisongo. Ia menyontohkan, Sunan Kalijaga yang
selalu menggunakan cara budaya adat yang mudah dan bisa diterima oleh
umat itu secara halus dan tidak adanya unsur kekerasan sesuai dengan
cara yang dilakukan para Nabi.
“Sunan kalijaga itu punya gong sekaten
(syahadatain), beliau berdakwah atau mulai pagelaran wayang kalau gong
sudah berbunyi, la gong dipukul kalau semua yang hadir sudah
bersahadad,” imbuhnya.
Hal senada juga disampaikan Pengasuh
Pondok Pesantren Nurul Ummahat, KH Abdul Muhaimin. Menurut dia, sudah
saatnya umat Islam menggunakan cara-cara yang humanis dalam menyampaikan
dakwahnya.
Menurut dia, tugas umat Islam adalah
bagaimana bisa menyajikan Islam itu berwajah kultural. Artinya Islam
jangan dibenturkan dengan kultur lokal yang ada. Dalam konteks ini, kata
dia, sebenarnya puritanisme ini juga bisa menghacurkan kultur lokal,
seperti semua dianggap musyrik, semua dianggap bid’ah, dan semua
dianggap haram. “Apakah Islam seperti itu?” kata dia pada Lazuardi
Birru.
Dalam sejarah, lanjut Kiai Muhaimin,
pertama, Islam ini agama yang universal, non teritori, dan semua agama
non teritori. Konsekuensi logis dari non teritori ini harus bisa
beradaptasi, terakomodasi, berakulturasi dengan budaya lokal di mana
Islam itu berkembang. “Kalau Islam itu identik dengan Arab, hidup saja
di Arab sana,” jelasnya.
Kedua, sejak zaman Nabi Muhammad masih
hidup, beliau tidak pernah menolak kultur, misalnya Aqiqoh. Menurut Kiai
Muhaimin, Aqiqah itu sebenarnya kultur jahiliyah. “Talbiyah
itu kultur jahiliyah, kalau mereka lewat di tempat-tempat sakral, mereka
teriak-teriak memanggil nama nenek moyang mereka. Ketika Nabi Muhammad
datang membawa Islam, teriakan-teriakannya itu tidak dilarang, tapi
jangan memanggil nenek moyang,” pungkasnya.[Az]
Sumber: lazuardibirru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar