Ma, ini bukan bapak. Bapak masih bekerja,” suara terisak itu keluar dari 2 balita di depan sebujur jasad kaku. Perempuan yang duduk di sebelahnya, sambil terus membaca surat Yasin, dengan suara serak namun dengan keteguhan yang dipaksakan mencoba meyakinkan dua buah hatinya itu, “Ini bapak, Nak.”
Air mata 2 anak yang belum mengerti
pahit getir dunia itu terus menitik kala mengantarkan jasad sang bapak,
Imawan Sardjono S.H, menuju masjid untuk dishalatkan dan berlanjut ke
pemakaman. Di usia yang sangat belia, mereka tentu belum paham arti
status yatim, namun kesedihan hati berkecamuk tak tertepis. Genggaman
tangan sang mama sedikit menenangkan hati mereka.
Tak lama usai tanah liat sempurna
menutup jasad sang bapak, Alif, si sulung bertanya, “Ma, apa tali kafan
di kepala bapak sudah dilepaskan?”
Sesaat Hayati Eka Laksmi, sang mama, terhenyak mendengar pertanyaan itu. Dari mana mereka tahu soal seperti itu, batinnya.
Saat keheranan itu masih belum hilang, Haji Maksum, sang kakek yang
berada di samping mereka lekas menjawab, “Sudah Alif. Tali kafannya
sudah dilepas.”
Peristiwa di atas telah berlalu
hampir 12 tahun, namun Mbak Eka, sapaan akrab Hayati Eka Laksmi, masih
terang mengingatnya. Kisah yang mengiringi perjuangannya menemukan jasad
suami tercinta selama 7 hari penuh. 13 rumah sakit di Pulau Dewata ia
datangi untuk memastikan keberadaan Mas Iwan, panggilan Mbak Eka bagi
ayah dari dua buah cintanya.
Kamis, 17 Oktober 2002, upaya itu
mulai menuai hasil. Rumah Sakit Sanglah Denpasar, tengah malam, kantong
jenazah no.145 bertuliskan Mr. X alias belum teridentifikasi dibuka oleh
Ni Luh Metri, ibu dari Mbak Eka. Robekan celana dalam penuh bercak
darah itu cukup dikenalinya namun tak bisa ia pastikan. “Saya tak bisa
pastikan. Biar anak saya besok saya ajak ke sini,” ujar Ni Luh kepada
tim forensik.
Esok harinya, Mbak Eka menjalani tes
DNA dan serangkaian uji forensik lain untuk memastikan bahwa jasad
tersebut adalah benar sosok tercintanya. Tepat pada Jumat, hari yang
dimuliakan dalam tradisi Islam, Imawan dikebumikan. 2 anak pun menjadi
yatim dalam arti sesungguhnya, Alif Heidar Sardjono atau Alif (3,5
tahun) dan Thifaldi Iqbal Ramadhan Sardjono atau (2,5 tahun).
Menjadi single parent dengan
2 anak yang masih berusia 3 dan 2 tahun tentu tidak diinginkan oleh
perempuan mana pun. Namun siapa kuasa menolak takdir jika itu telah
digariskan.
Peristiwa tragis itu pun merenggut
nyawa Imawan Sardjono, karyawan PT Angkasa Pura I Bali. Sabtu, 12
Oktober 2002, sekitar pukul 11 malam, ia mesti menghadap ke Sang
Kekasih sejati, Penciptanya. Saat melintasi jalan Legian Kuta Bali untuk
mengantarkan tamu, bom berkekuatan high explosive meledak.
Beberapa bulan berikutnya, Mbak Eka
menyaksikan wajah-wajah dalang aksi keji itu dari layar televisi.
Semuanya beragama Islam, sama seperti dirinya. Atas nama jihad melawan
kaum kafir, para pelaku merancang serangan.
“Betul jihad itu ajaran Islam. Tetapi
apakah jihad itu harus dengan cara membinasakan orang lain bahkan sesama
muslim, hingga membuat anak-anak menjadi yatim. Kita yang terus
berjuang hidup dalam perdamaian inilah yang pantas disebut berjihad?”
ucapnya menggugat.
Kepada Lazuardi Birru, Guru SMP Muhammadiyah I Denpasar ini menuturkan pandangannya seputar jihad, upayanya melakukan trauma healing pada dirinya dan kedua buah hatinya.
Apa makna jihad menurut Anda?
Jihad itu artinya
bersungguh-sungguh, mengerahkan segala daya upaya untuk menciptakan
kemaslahatan di muka bumi. Kalau “jihad” lebih banyak menciptakan
kemudaratan ketimbang kemaslahatan itu bukan jihad namanya. Karena
menurut saya itu justru tidak dibenarkan oleh agama.
Saya justru merasa saya sedang belajar berjihad. Saya terus memperjuangkan agama saya di sini (Denpasar: red) sebagai agama rahmatan lil alamin. Semua
agama ada di sini. Kami semua hidup rukun dan saling berdampingan.
Namun setelah aksi tak berperikemanusiaan itu, harmoni kehidupan itu
seperti terpukul. Saya menjadi bertanya-tanya, apa sebenarnya yang
mendasari mereka melakukan tindakan itu?
Sekarang saya terus berusaha bagaimana bisa berbuat yang terbaik untuk umat manusia. Hablun minallah (hubungan baik dengan Allah) dan hablun minannas (hubungan baik sesama manusia) agar bisa seimbang.
Juga bagaimana saya bisa bertoleransi dengan pemeluk agama lain. Itu ‘kan sudah digariskan dalam Alquran surat Alkafirun, lakum dinukum waliadin,
agamamu ya agamamu, agamaku ya agamaku. Setiap pemeluk agama harus
menjalankan ajaran sesuai akidahnya, tidak boleh saling mengganggu.
Hidup ini indah penuh dengan
warna-warni. Nikmati perbedaan karena itu adalah rahmat Allah SWT.
Jangan jadikan perbedaan sebagai pemicu bahwa kita yang paling benar.
Hanya Allah yang paling benar.
Berarti aksi-aksi pengeboman di Indonesia bukan termasuk jihad?
Jelas bukan. Itu ekpresi dari
pemaknaan jihad yang keliru. Kalau mau berjihad dengan cara begitu
lebih baik mereka ikut berperang saja di negara-negara yang memang
sedang berperang. Jangan melakukan kebinasaan di negaranya sendiri yang
sasarannya tidak jelas, apalagi sampai mengorbankan sesama muslim.
Saya sering bilang bahwa agama Islam
tidak mengajarkan umatnya menjadi teroris. Teroris ya teroris. Muslim
ya muslim. Betul jihad diajarkan dalam Islam. Tetapi mari kita kaji
ajaran jihad itu secara kaffah (komprehensif) sehingga pengamalannya tidak mencederai kemanusiaan dan mencelakai orang tak bersalah.
Suami Anda meninggal akibat
insiden kemanusiaan yang sangat tragis. Bagaimana Anda berjuang
mengatasi kesedihan pada diri Anda dan anak-anak?
Saya dan anak-anak merasakan kehilangan
figur suami dan ayah yang selalu setia membahagiakan kami, lelaki yang
menjadi pencari utama nafkah keluarga. Anak-anak menjadi pemurung dan
cenderung agresif.
Untuk melepaskan beban kesedihan,
terkadang saya keluar dari rumah dengan menaiki sepeda motor sambil
menangis keras. Kondisi saya diketahui oleh seorang teman yang bernasib
sama dengan saya (suaminya meninggal akibat Bom Bali I), namanya Elissa
De Jesus.
Karena berempati, ia menemui saya di
rumah dan menyampaikan keinginan untuk membantu memulihkan psikis saya.
Saya diajak bergabung di sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang concern melakukan terapi dan konseling.
Hati saya berkata, saya sudah
kehilangan satu orang, saya masih diberi amanat menjaga dua orang anak
balita. Saya harus bangkit, tidak boleh terus-menerus terpuruk.
Selama 6 bulan saya menjalani proses
itu. Anak-anak juga saya ajak ke tempat itu. Metodenya, saya disuruh
membantu keluarga korban dan orang-orang yang terkena ledakan bom.
Usai masa terapi saya malah diminta bekerja di lembaga tersebut. Alhamdulillah, saya mulai mendapatkan pemasukan dengan pekerjaan itu.
Seiring waktu, dengan bantuan ibu,
saya membuka sebuah toko kecil yang menjual barang-barang sembako,
seperti gula, kopi dan gas. Setelah itu saya tambahi barang dagangan di
took dengan kain-kain baju kiriman dari Jawa.
Suatu saat saya berpikir bagaimana
kalau saya masuk ke lembaga pendidikan formal. Saya ingin tahu bagaimana
cara mendidik orang itu. Itu dipicu dari berita-berita di media massa
di mana para pelaku terorisme itu guru-gurunya adalah orang pintar.
Tahun 2006, alhamdulillah saya diterima menjadi guru di SMP Muhammadiyah I Denpasar.
Tahun 2009, bersama teman-teman
korban Bom Bali dan keluarganya yang pernah menjalani konseling, saya
mendirikan wadah bernama bernama ISANA DEWATA yang berarti Istri, Suami
dan anak Dewata/ Bom Bali.
Di situ kami bekerja sama, bertukar
informasi, dan saling mendukung agar bisa bangkit untuk dapat
menyejahterakan diri dan keluarga. Paguyuban ini terdiri atas 22
keluarga, termasuk 47 anak.
*****
Majalah Gatra Nomor 28, Kamis, 19 Mei
2011 memuat laporan bertajuk “Menginjeksi Virus Teror Generasi Pelajar”.
Isinya bagaimana para pelajar terpengaruh ajaran-ajaran radikal hingga
akhirnya bersedia melakukan aksi teror.
Pertengahan 2011, beberapa siswa dan
alumni SMKN 2 Klaten dihukum oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat
akibat terlibat serangkaian aksi teror di Klaten, Jawa Tengah. Proses
rekrutmen berawal dari pertemanan mereka di organisasi kerohanian Islam
dan corps dakwah sekolah (CDC).
Secara berkala mereka menonton video
kisah perjuangan rakyat Palestina, Afghanistan, dan daerah konflik
lain. Rutinitas kunci yang menajamkan visi radikal mereka adalah
pengajian Ustad Mus’ab Abdul Ghaffar alias Darwo di masjid dan rumahnya.
Materinya seputar kebencian pada kaum Kristen yang dinilai bertanggung
jawab atas pembantaian kaum muslim di Irak dan Afghanistan. Darwo juga
mengajarkan amaliyah jihad.
Sebagai ustad atau guru, Darwo cukup
“berhasil” lantaran apa yang diajarkannya dipraktikkan oleh para
muridnya di pengajian itu. Meski apa yang diajarkan Darwo adalah sesuatu
yang salah.
Dalam falsafah Jawa, Guru adalah kepanjangan dari digugu lan ditiru
(didengarkan dan diikuti). Guru adalah sosok teladan hidup yang bisa
memotivasi muridnya dalam meraih tujuan dan cita-cita hidupnya.
Semenjak berprofesi sebagai guru,
Mbak Eka menyadari bahwa sosok guru itu bisa lebih diteladani oleh
anak-anak ketimbang siapa pun, bahkan orang tua kandungnya. Apalagi jika
guru itu bisa menyampaikan pelajaran secara memikat sehingga
murid-murid merasa senang saat diajar.
“Tentu akan sangat berbahaya jika
guru yang sudah dikagumi oleh anak-anak ternyata mengajarkan aksi
terorisme, yang sebenarnya murid itu tidak tahu apa manfaatnya,” ujar
Mbak Eka.
“Saya tidak bisa membayangkan
apabila semua pelajaran yang diberikan guru diterima mentah-mentah oleh
murid dan diaplikasikan langsung,” imbuhnya.
Kini, dengan dengan profesinya
sebagai guru, Mbak Eka ingin berjihad mengajarkan kepada seluruh anak
didiknya bahwa Islam adalah agama cinta damai dan memberikan rahmat bagi
semesta. Lebih dari itu, ia ingin mengantarkan anak-anak didiknya
menuju kehidupan yang lebih baik ketimbang para gurunya
Menurut Anda, bagaimana peran guru dan lembaga pendidikan dalam mengajarkan toleransi dan keberagaman kepada anak didiknya?
Saya rasa peran guru dan lembaga
pendidikan itu luar biasa besar. Dalam tradisi Islam misalnya, pondok
pesantren itu berperan besar dalam menyebarkan ajaran Islam. Mungkin
suatu saat pesantren bisa menjadi lembaga yang heterogen di mana para
pemeluk agama lain bisa menimba ilmu di situ.
Ini penting agar para santri bisa belajar keberagaman sehingga muncul sikap saling menghargai dan menghormati.
Apa pesan Anda kepada para remaja agar tidak mudah terpengaruh ajaran radikal?
Saya kira, kalau orang hidup punya prinsip, insya Allah
tidak akan melakukan hal-hal yang berjalan di luar prinsipnya. Namun
watak kritis dan terbuka itu memang sangat penting. Remaja harus lebih
banyak bergaul dengan beragam kelompok sehingga tidak seperti katak
dalam tempurung yang hanya bisa menerima satu perspektif saja.
Pesan untuk para korban?
Bahwa semua yang telah hilang, tidak
akan pernah bisa kembali lagi seperti sedia kala. Yang meninggal tidak
akan hidup lagi, yang luka dan cedera tidak akan kembali seperti semula.
Marilah kita berlapang dada untuk menerima itu. Karena penyesalan hanya
akan membuat kita semakin sakit.
Pandanglah ke depan, nikmati
kehidupan yang diberikan oleh Allah. Bisa jadi ini bentuk peringatan
dari Allah atau derajat kita sedang mau diangkat oleh Dia.
Kita tak perlu terlalu mengharapkan
belas kasih dari pihak lain. Lebih baik tangan di atas daripada tangan
di bawah, lebih baik memeras keringat ketimbang menengadahkan tangan.
Kita mesti lebih banyak bersyukur daripada menuntut (Syafiq).
Biodata:
Nama Lengkap: Dra. Hayati Eka Laksmi
Tempat, Tanggal Lahir : Denpasar, 14 Mei 1970
Pekerjaan : Guru SMP Muhammadiyah I Denpasar, Bali
Pendidikan : S1 Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang
Email : eka_laksmi@yahoo.co.id
(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)
Sumber: Lazuardibirru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar