Sosok satu ini pernah bergabung dengan Darul Islam (DI), embrio Jamaah Islamiyah (JI) ketika masih remaja 17 tahun. Ia merasa jengah dengan kebijakan rezim orde baru yang represif sehingga memilih DI sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi sosial politiknya.
Adalah Noor Huda Ismail, penulis buku “Temanku, Teroris?” dan peraih gelar master bidang International Security dari St. Andrews University Skotlandia (2005-2006). Oleh media massa kini ia dijuluki sebagai pengamat terorisme.
“Aku bergabung dengan DI karena kecewa berat saat menyaksikan ayahku hampir dipecat dari pegawai negeri sipil (PNS) hanya lantaran tidak memilih Golkar setiap kali Pemilu. Di sisi lain, ibuku tidak diperbolehkan memakai jilbab ketika bekerja,” ungkapnya dalam perbincangan dengan Lazuardi Birru beberapa waktu lalu.
Kenyataan yang mengemuka dari kedua sosok terdekatnya yang berstatus PNS itu masih ditimpuki lagi oleh peristiwa Tanjung Priok Jakarta pada awal dasawarsa 1980-an. Kala itu, pasukan TNI Angkatan Darat menyerbu warga muslim hingga menewaskan puluhan orang.
Fakta-fakta sosial itulah yang mendorong Huda menjadi aktivis DI, salah satu organisasi terlarang di zaman Orba yang berniat mengubah Indonesia menjadi negara Islam. “Saat itu niatku cuma biar terlihat cool di mata teman-temanku. Remaja belasan tahun tanpa modal apa-apa, tapi ingin ikut mengubah negara,” kelakar Huda perihal alasan bergabung DI.
Berkaca dari mata pengalaman personalnya, Huda berpandangan bahwa motif sosial politik lebih dahulu hadir dalam diri para teroris, dan ideologi, dalam hal ini indoktrinasi teks-teks suci agama, datang kemudian.
Jika Anda menonton film Mata Tertutup karya Garin Nugroho, kesimpulan Huda ini menuai penegasannya. Sosok Jabir yang digambarkan oleh Garin di film itu adalah sosok anak muda yang dikeluarkan dari sekolah lantaran tidak mampu membayar, bapaknya pengangguran, sedangkan ibunya penjual makanan kecil.
Dengan kondisi ekonomi yang memprihatinkan itu, dengan mudahnya Jabir direkrut oleh jaringan teroris untuk menjadi “pengantin” dengan iming-iming kehidupan bahagia di akhirat kelak. Kepalanya terus dijejali argumentasi bahwa negara Indonesia gagal menyejahterakan rakyat lantaran menjalankan sistem kafir.
Dalam suasana santai dan mengalir begitu saja, Lazuardi Birru berbincang dengan Noor Huda Ismail di kantor LSM yang ia dirikan, Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP), di kawasan Tebet Jakarta Selatan. Berikut petikan perbincangan tersebut.
Menurut Anda sejauh mana motif ideologis (agama) memengaruhi seseorang hingga rela menjadi pelaku terorisme?
Kalau aku melihatnya begini, jika memang ideologi menjadi faktor paling dominan, bagaimana kita misalnya menjelaskan sosok Mahmudi alias Yusuf, anggota Jamaah Islamiyah (JI) yang digerebek polisi di Semarang karena memiliki bahan peledak. Dia asli Jombang Jawa Timur, sekolah di SMA umum, dan berasal dari keluarga pengikut Nahdlatul Ulama (NU).
Ia membaca ayat-ayat jihad dari guru-guru NU yang moderat. Tetapi begitu melihat video pembantaian muslim Bosnia oleh tentara Serbia, batinnya tergerak. Memori itu melekat kuat dalam batinnya. Maka ketika terjadi konflik Ambon dan Poso, ia mencari jalan untuk membantu teman-teman muslim yang dibantai. Jaringannya yang ada saat itu mengajak Mahmudi untuk bergerak sampai ke Mindanau Filipina.
Secara ideologis, Mahmudi dididik dalam lingkungan moderat, tetapi ketika ada faktor sosial yang menggerakkan maka bangkitlah gairahnya. Nah, sekarang ini saya melihat, orang menjadi radikal karena benci dengan Barat terutama Amerika Serikat.
Maka bagiku, alasan agama (ideologi) itu datang kemudian dan pasti ada alasan sosial yang muncul mendahuluinya. Agama itu dihadirkan untuk menjustifikasi tindakan.
Sebelum lebih jauh, kita bicara soal istilah dulu. Radikalisme dengan terorisme seringkali berkelit-kelindan tidak karuan sehingga seringkali orang mengidentikkan radikalisme dengan terorisme. Menurut Anda apa perbedaan keduanya?
Terorisme ialah penyerangan kepada kelompok sipil yang tidak bersenjata. Itu bisa dilakukan oleh negara maupun aktor di luar Negara. Motivasinya bisa karena agama, nasionalisme, dan etnonasionalisme. Pola serangannya tidak pandang bulu dan yang ditarget adalah warga sipil yang tidak terlibat perang.
Yang perlu dicamkan, jangan mengaitkan terorisme kepada kelompok tertentu, Islam misalnya. Kasus Anders Beihring Breivik di Norwegia, di mana ia mengidap ketakutan pada kelompok Islam hingga kemudian melakukan aksi teror. Di Irlandia Utara, selama 400 tahun kelompok teroris menjadikan Alkitab sebagai justifikasi tindakannya. Di Thailand Selatan 70 pemeluk Budha melakukan pembantaian pada umat Islam atas nama Budha.
Dan kasus bom bunuh diri di dunia itu paling banyak dilakukan oleh kelompok Tamil Tiger yang mayoritas terjadi di india. Artinya kalau kita cuma mengaitkan terorisme dengan Islam atau kelompok tertentu, itu akan salah. Harus dilihat faktor sosialnya dulu, itu yang penting.
Sedangkan radikalisme itu akar katanya adalah radic (akar). Maka definisi radikalisme agama sebenarnya ialah orang-orang yang berusaha mempraktekkan agama seakar-akarnya. Istilah populernya dalam Islam adalah kaffah.
Maka wajar jika program deradikalisasi pemerintah menuai resistensi yang sangat tinggi dari beberapa kalangan. Apalagi kampanye mereka melalui perang tafsir keagamaan.
Artinya radikalisme itu pada level wacana, terorisme pada level praktis?
Ya, saya melihatnya begitu. Maka silakan aja kalau loe mau berpikir radikal, asal tidak diekspresikan dengan cara kekerasan. Soekarno bisa memerdekakan negeri ini karena beliau berpikir radikal. Bahwa Belanda, Jepang, Inggris harus dilawan karena menjajah Indonesia.
Bagaimana Anda memandang gerakan-gerakan berbasis agama yang menghalalkan aksi kekerasan, bahkan terhadap sesama muslim, dengan justifikasi teks suci agama?
Justifikasi kekerasan di dalam Islam itu memang ada. Rasulullah SAW bahkan beberapa kali memimpin peperangan, hadis-hadisnya juga ada. Artinya secara sosial antropologis, penggunaan kekerasan itu memang ada dalam Islam. Tetapi permasalahannya adalah kapan kita diperbolehkan menggunakan kekerasan. Itu soal penafsiran yang beragam.
Ada hadis Nabi yang menyatakan bahwa muslim yang baik adalah jika muslim lain selamat dari lisan dan tangannya. Tetapi ada hadis Nabi pula yang menandaskan bahwa ketika umat Islam diserang maka berbuatlah seperti lebah. Artinya muslim yang baik itu ya berperilakulah secara baik, tetapi ketika diserang ya jangan diam saja.
Menurut saya, Islam memang bukan agama pasifis. Dalam sejarahnya, Islam itu ekspansif. Namun kapan harus menggunakan kekerasan, itu ada persyaratan yang ketat. Hadis tentang amar ma’ruf nahi munkar itu kan jelas, jika kamu melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangan, jika tidak mampu ya dengan lisan.
Sayangnya, beberapa kelompok itu menjadi panitia mlebu swargo (masuk surga) sehingga mengklaim tindakannya paling benar. Seolah mereka yang berhak menentukan kita pantas masuk surga atau neraka. Padahal kita ini cuma berspekulasi terhadap kebenaran. Tidak ada ceritanya orang mati kemudian hidup kembali dan bercerita soal masuk surga atau neraka.
Kalau memang dalam Alquran dan hadis ada doktrin yang menjustifikasi kekerasan, berarti yang salah itu apakah teksnya atau tafsirnya?
Ya teksnya benar, tidak bohong. Semisal ayat tentang i’dad dalam QS. Al-Anfal: 60 yang sering digunakan oleh kelompok-kelompok jihadis. Ayat itu memang memerintahkan umat Islam melakukan persiapan melawan musuh. Tetapi ayat itu harus dibaca secara teliti; wa a’iddu lahum mastatho’tum min quwwatin… (Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi). Kata quwwat di situ menggunakan isim nakiroh, yang dalam gramatika Arab memuat makna umum atau luas. Artinya kekuatan di situ tidak melulu bermakna fisik.
Tetapi kemudian mereka mereka menggunakan hadis lain yang mengatakan bahwa kekuatan itu adalah dengan memanah. Menurut saya hadis itu juga masih multitafsir.
Maka jika ada kelompok yang berijtihad bahwa jihad di masa kini dengan bom, maka yang salah adalah tafsir-tafsir mereka terhadap doktrin jihad. Kalau seandainya tafsirnya pas, saya kira dalam kelompok yang sama tidak akan terjadi perdebatan ketika berencana melakukan aksi Bom Bali. Nyatanya dalam internal kelompok itu muncul perdebatan yang luar biasa. Di kalangan ulama juga muncul perdebatan.
Kemudian seandainya sang pelaku mati karena berjihad, tentu mereka akan mendapatkan penghargaan baik dunia maupun di akhirat. Nyatanya sekarang para pelaku itu didiskreditkan, diperlakukan sebagai penjahat yang hina oleh masyarakat. Maka pilihan jihad dengan cara demikian (aksi-aksi teror) itu harus ditinjau ulang.
***
Pada 2007, sepulangnya dari studi pascasarjana di Skotlandia, Huda sempat dilanda kebingungan akan karirnya. Apakah hendak meneruskan profesi sebagai wartawan di media massa asing yang cukup prestisius, ataukah bekerja sebagai konsultan, atau hendak terjun dalam dunia aktivisme sosial.
Kata hati dan situasi menuntunnya untuk mendirikan LSM yang concern pada isu peace building dan resolusi konflik dengan target group adalah para mantan kombatan dan eks narapidana teroris. Di situ ia berposisi sebagai Direktur Eksekutif. Kendati demikian profesi sebagai konsultan tidak ia tinggalkan. Nyatanya ia salah satu pemilik perusahaan konsultan komunikasi dan manajemen risiko BostonPrice Asia.
Saya menafsirkan pilihan Huda sebagai panggilan hati jika menilik pengalaman hidupnya. Ia adalah alumni Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki Sukoharjo Jawa Tengah, pesantren yang sempat dicap memproduksi teroris hanya lantaran segelintir alumninya terlibat dalam aksi terorisme.
Beberapa rekan Huda saat belajar di Al Mukmin menjadi terpidana terorisme, salah satunya adalah Utomo Pamungkas alias Fadhlullah Hasan alias Mubarok, terpidana penjara seumur hidup akibat terlibat dalam aksi Bom Bali I.
Akhi Fadhlul, demikian panggilan hormat Huda kepada sosok yang ia anggap sebagai pembimbing atau mentornya itu, adalah rekan sekamarnya. Namun rel kehidupan lantas memisahkan kedua orang ini pada jalur masing-masing.
Terlepas dari itu, ia melihat adanya kekurangan dalam program deradikalisasi yakni dalam hal rehabilitasi bagi eks terpidana terorisme. Selain ia sendiri tidak setuju dengan penggunaan kata radikal yang secara terminologis “tak ada yang salah”. Huda juga terinspirasi dari sebuah gerakan di Irlandia Utara yang concern dalam rehabilitasi mantan pelaku konflik (post conflict).
Karena itu di Yayasan Prasasti Perdamaian, ia menyebut programnya sebagai Disengagement. Program pemberdayaan eks napi teroris yang bertujuan untuk merekonsiliasi mereka dengan lingkungan sosialnya agar bisa hidup normal sekaligus memutus rantai keterlibatan terhadap jaringan teroris.
Maka dibikinlah unit-unit usaha yang pengelolanya adalah eks napi teroris, di antaranya tambak udang di Kendal Jawa Tengah, usaha garmen di Solo, dan warung makan di Semarang. Warung itu berdiri dekat panti pijat dan gereja. Sebagian pelanggannya adalah gadis-gadis cantik berpakaian seksi yang merupakan karyawan panti pijat, pastor, dan jemaat gereja.
“Salah satu pengelola warung bernama Yusuf, mantan kombatan. Saya transformasikan kemampuan olah senjatanya untuk mengiris dan menggoreng bebek. Sebagai penjual, mau tak mau ia harus melayani pelanggannya dengan baik. Dan sebaliknya, ia mendapatkan respon yang baik bahkan sering diberi tip oleh mereka,” urai Huda mengenai programnya.
Lambat laun, ada perubahan pola pikir dalam diri Yusuf. “Tentu sebelumnya ia memandang gadis-gadis itu dengan kaca mata negatif, apalagi terhadap pemeluk Kristen. Namun anggapan itu mulai terkikis seiring intensitas interaksi dan kebaikan mereka pada diri Yusuf. Secara perlahan ia bisa menghargai perbedaan,” imbuh Huda.
Itu merupakan salah satu ikhtiar Huda bersama rekan-rekannya untuk menambal kekurangan dari program penanggulangan terorisme yang dilakukan aparat negara.
Bisa Anda terangkan lebih lanjut perihal program tersebut?
Ini murni gerakan sosial, soal agama biar urusan Kementerian Agama lah. Kita ingin mencoba menilik terorisme dari perspektif lain, dari sisi korban misalnya. Maka saya bikin film Prison and Paradise (Berkisah seputar kehidupan para janda-janda korban aksi bom, pelaku bom, dan anak-anak mereka yang menjadi yatim baik secara sosial maupun psikologis; red).
Kita mengeluarkan isu agama dari program ini karena seperti saya terangkan di atas, faktor agama itu datang menyusul ketika orang memilih jalur kekerasan. Ada hal lain yang lebih mendasar yakni tidak adanya critical thinking (pikiran kritis) dan kurang pergaulan.
Orang meyakini kekerasan sebagai jalan yang benar lantaran sumber informasinya tunggal. Mereka tidak coba membandingkan dengan pendapat lain. Maka kita buat pelatihan jurnalistik di Pesantren Al Mukmin Ngruki.
Dengan jurnalistik, anak-anak tidak mungkin menjadi fanatik pada kelompok atau pandangan tertentu. Pasalnya dalam jurnalistik ada prinsip cover both side (meliput dua sisi), di mana jurnalis mesti menghadirkan pendapat dari dua sumber yang berbeda dalam tulisannya. Di situlah watak kritis akan muncul.
Selain itu mereka cenderung memilih berinteraksi dengan hanya satu kelompok saja. Maka kita buat unit-unit bisnis “untuk memaksa” mereka intensif berinteraksi dengan semua orang tanpa membedakan identitasnya.
Menurut Anda Apakah pemerintah sudah optimal menangani terorisme?
Secara ide, saya kira pemerintah sudah sangat paham. Bahwa perlu pendekatan yang soft terhadap terorisme. Bagaimana mengelola mereka di tahanan, saya yakin pemerintah mengerti. Tetapi secara praktis memang masih banyak kekurangan. Misalnya dari ratusan teroris yang ditangkap, tidak ada pemilahan tingkat keterlibatan masing-masing. Sehingga teroris yang tadinya pinggiran malah jadi pemain utama.
Urwah alias Bagus Budi Pranoto, salah satu dalang Bom Marriot II tahun 2009 yang tertembak mati oleh polisi pada September 2009, itu ‘kan awalnya cheerleader saja dalam gerakan ini. Tetapi ketika dihukum penjara selama 4 tahun karena terlibat Bom Kedubes Australia, ia banyak belajar dari aktor-aktor utama. Saat keluar, jadilah pemain utama. Itu kan berarti pembinaan di lembaga pemasyarakatan gagal.
Fungsi Lapas itu ‘kan menyiapkan narapidana hidup di masyarakat, tapi kondisi penjara yang over crowded justru menimbulkan masalah. Saya kira problem mendasar adalah kurangnya anggaran dan sumber daya manusia.
Jika begitu, apakah perlu penjara khusus teroris?
Ya. Napi teroris itu harus dikluster. Menurut saya mereka bisa dikelompokkan menjadi tiga yaitu hard core believer yaitu para ideolog seperti Abu Bakar Baasyir dan Mukhlas yang jumlahnya sedikit; kemudian ada orang yang di tengah seperti Abdullah Sunata, bisa ikut ke kanan atau ke kiri, tergantung pemimpinnya; dan ada orang yang di pinggiran betul, yang nggak ngerti apa-apa dengan gerakan ini, asal ikut-ikutan saja. Mereka harus dipisahkan satu sama lain ketika di penjara.
Jika tidak ada kluster, penjara justru bisa menciptakan konfigurasi teror baru. Menurut kita penjara menjadi hukuman sosial, tetapi bagi mereka itu malah peningkatan kasta. Misalnya ada alumni Lapas Cipinang bernama ustadz Fulan, mereka kalau ceramah sekarang ada gelar LC di belakang namanya alias lulusan Cipinang.
Banyak sekarang akhwat-akhwat (muslimah) yang ingin nikah dengan mujahid. Salah satu indikasi mujahid ya pernah dipenjara itu. Kalau kamu susah cari istri, ya sudah masuk penjara dulu saja. Keluar dapat akhwat nanti.
Apa instansi yang paling tepat menangani problem terorisme di indonesia?
Problem terorisme itu harus dipecah. Tetapi polisi adalah ujung tombak karena terorisme dianggap sebagai kriminalitas.
Saat ini yang kurang maksimal adalah bagaimana menyuarakan para korban. Mereka punya legitimasi yang kuat untuk mengatakan bahwa terror is enough. Jika kekuatan itu digabungkan dengan mantan pelaku untuk berkampanye melawan terorisme tentu akan menjadi powerfull.
Artinya antarinstansi pemerintah harus membangun integrasi?
Ya. Dan saya kira bukan hanya antarinstansi pemerintah tetapi juga dengan kelompok civil society. Sebab terrorism doesn’t work in office hour. Teroris beraksi tidak menunggu waktu. Sementara aparat negara ‘kan kerjanya menggunakan waktu. Jadi yang paling tepat melakukan ini adalah masyarakat sipil. Peran masyarakat penting untuk menjadi kelompok aktif.
Operasi kontraterorisme selama ini masih dilakukan polisi, apa perlu melibatkan TNI?
Jika aksi terorisme sudah berkaitan dengan batas-batas negara maka saya setuju jika melibatkan militer. Tetapi militer tidak bisa masuk ranah sipil. Menurut saya, polisi lah yang menjadi aktor penegakkan hukum. Militer tidak bisa menangkap, memeriksa, dan seterusnya. Militer bisa masuk apabila misalnya ada peredaran senjata api antarnegara, maka perlu kerjasama untuk mengintersepsi.
Saya kira Indonesia adalah contoh sukses penanganan terorisme. Kita harus apresiatif di sisi penangkapan. Ibaratnya, setelah susu tumpah, polisi itu bisa membersihkan dengan baik. Tetapi pencegahan agar susunya tidak tumpah dan yang sudah tumpah tidak membahayakan, itu yang belum.
Dengan UU Terorisme Nomor 15 Tahun 2003, ternyata problem terorisme tak pernah usai. Lantas perlukah kita meniru Singapura dan Malaysia yang memberlakukan internal security act (ISA) atau kembali ke UU Subversif?
Saya sepakat bahwa hukum harus diperkuat. Tetapi jika kita berpikir bahwa ada yang kurang dalam penanganan problem ini maka UU harusnya diganti, itu artinya logika kita sama saja dengan mereka (kelompok-kelompok jihadis). Demokrasi gagal, Pancasila gagal, maka harus diganti syariat Islam agar berbagai masalah bangsa rampung.
Memangnya bisa, semisal hari ini Indonesia disepakati menjadi negara Islam terus besok korupsi, pelacuran, dan sebagainya tidak ada? Ya tetap ada. Masak logika Negara sama dengan logikanya kelompok Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Harus lebih cerdas lah.
Berarti apakah UU terorisme 2003 itu sudah cukup?
Ada beberapa yang perlu direvisi terutama dari sisi misalnya postdetention (pasca-penangkapan). Di situ masih belum diatur, misalnya jika terjadi salah tangkap, bagaimana rehabilitasinya? Ya kalau menangkapnya benar, kalau nggak dan tiba-tiba di-dor, itu bagaimana pertanggungjawabannya, mekanisme kompensasinya, proses rehabilitasinya?
Kemudian bagi eks narapidana, bagaimana mengembalikan dia ke masyarakat, itu harus diatur di UU. Persoalan-persoalan tersebut penting dipikirkan, sebab eks napi terorisme itu bisa menciptakan amunisi-amunisi baru. Sekali dia bisa merekrut orang 5 orang yang dedikatif saja, maka benih terorisme akan tumbuh subur.
Kemudian soal batas kriminalitas yang bisa dijerat UU terorisme. Saya heran, jika pelaku yang terlibat kasus kerusuhan seperti Poso dan Ambon dijerat dengan UU Terorisme. Itu kan too different chapter. Kedubes Amerika saja menyebut mereka sebagai militant group. Ada problem dendam karena kelompok tersebut melihat sendiri Pesantren Walisongo diserang oleh kelompok Kristen. Itu kan jelas beda dengan orang yang bermain mercon (bom: red) di Jakarta. Jika payung hukumnya disamakan, itu kasta si pelaku malah naik, dari kriminal biasa menjadi teroris.
Hal lain yang perlu diatur adalah provokasi kekerasan. Menurut saya jika ada ada kelompok atau individu yang bilang “kamu boleh menyerang” maka itu bisa ditangkap. Ada unsur insight violence di situ.
Media arrahmah.com misalnya, itu secara tegas dia membolehkan penyerangan. Bahwa kekerasan itu bagian dari jihad. Negara harus melakukan klarifikasi, walaupun mereka berdalih atas nama kebebasan berekspresi.
Tidak ada salahnya orang bilang bahwa sistem sekuler yang kita anut membuat korupsi tumbuh subur sehingga harus diganti dengan sistem Islam. Tetapi jika untuk menggantinya mereka memerbolehkan untuk menyerang ini dan itu, itu sudah nggak bisa dibenarkan.
Apakah ada organisasi atau jaringan teroris yang masih hidup?
Sebenarnya saya tidak setuju dengan sebutan Jamaah Islamiyah (JI) sebagai kelompok teroris. Ya silakan saja Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memasukkan JI dalam daftar organisasi teroris. Tapi begini, tidak ada ceritanya dalam internal JI ada rapat atau kesepakatan bersama menggunakan aksi teror. Itu yang harus diingat. Mereka adalah individu-individu yang secara emosional dekat dan sepakat secara ideologis dengan Mukhlas yang langsung menerima fatwa dari Osama bin Laden.
JI sendiri sekarang sudah tidak ada secara struktural. Tetapi kelompok-kelompok kecil yang menjustfikasi bahwa kekerasan itu boleh masih banyak. Peredaran fatwa kekerasan di internet banyak sekali. Dan itu diambil oleh mereka.
Ada banyak analisis bahwa isu terorisme dimunculkan untuk menyudutkan kelompok Islam?
Ya teori itu paling enak didengar. Karena mereka bisa bilang, ini bukan masalah kita, ada pihak ketiga. Terlepas dari itu, ada 2 hal yang harus kita kritisi.
Pertama, dihidupkannya Darul Islam itu memang bagian dari permainan intelijen rezim Orde Baru ketika Golkar berkali-kali kalah di Jabar. Kedua, Soeharto waktu itu memang takut sekali dengan kelompok Islam.
Sinyal bahwa intelijen bermain memang ada. Tetapi sampai eksesif, hingga memunculkan aksi-aksi terorisme, saya kok nggak percaya. Tapi kalau ada kucing dilatih sampai jadi macan liar, itu intelijen tahu. Kasus pelatihan militer di Aceh misalnya, mereka bisa latihan menembak di Markas Brimob Depok, kemudian ada sirkulasi senjata api yang begitu mudah. Apakah itu skema intelijen ataukah motif ekonomi karena ada oknum polisi yang nggak punya duit, itu mesti dikaji lebih jauh.
Artinya, menurut saya analisis-analisis seperti itu tidak bisa ditelan mentah-mentah, namun juga tidak bisa ditolak mentah-mentah.
***
Hingga kini Noor Huda Ismail, selain menulis, meneliti, dan bekerja sebagai konsultan masih setia bergelut dengan pembinaan eks napi teroris. Dalam hal penanganan problem terorisme, prinsip dia adalah jangan NATO (No Action Talk Only). “Alias omong dong,” sergahnya (Syafiq).
Biodata:
Nama Lengkap : Noor Huda Ismail
Tempat, Tanggal Lahir : Yogyakarta, 29 November 1972
Pekerjaan : Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian
Pendidikan : S2 International Security St. Andrews Skotlandia
(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)
Sumber: Lazuardi Birru
Salam, saya mau tanya-tanya untuk keperluan penelitian skripsi saya. Alamat yayasan Prasasti Perdaiman itu dimana ya? apakah disekitar simpang lima semarang jawa tengah? terimakasih atas jawabannya nanti.
BalasHapus