Ada beberapa kasus yang membuktikan tesis
bahwa terorisme adalah puncak intoleransi; bom bunuh diri Masjid
Adzikra komplek Mapolresta Cirebon dengan pelaku M. Syarif; bom di
Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton Solo dengan pelaku Ahmad
Yosepha Hayat; penangkapan kelompok teroris Klaten (semuanya adalah
siswa dan alumni SMKN 2 Klaten kecuali Roki Aprisdianto, pemimpin
kelompok ini); dan penembakan Sigit Qardhawi. Semuanya terjadi pada
tahun 2011.
Baik Syarif, Yosepha Hayat, kelompok
Klaten, maupun Sigit Qardhawi awalnya adalah aktivis organisasi dan
majelis pengajian radikal yang kerap melakukan aksi penolakan terhadap
Ahmadiyah, gemar merazia tempat-tempat yang dianggap sebagai sarang
kemaksiatan, antikristenisasi, dan mendukung penegakan syariat Islam.
Hasil penelitian SETARA Institute tentang
transformasi organisasi Islam radikal di Jawa Tengah dan Yogyakarta
menunjukkan, kelompok radikal yang berwatak intoleran telah dijadikan
media bagi kelompok jihadis untuk meradikalisasi dan mereproduksi
individu-individu yang tergabung dalam kelompok radikal untuk
bertransformasi menjadi teroris.
Menurut Hendardi, Ketua Badan Pengurus
SETARA Institute, pada dasawarsa 2000-an, aktor atau dalang terorisme di
Indonesia adalah produk pendidikan luar negeri (Timur Tengah). Tetapi
aksi terorisme sepanjang 2011, dari teror Bom Buku, Bom Cirebon, dan Bom
Solo adalah hasil dari proses recovery kelompok teroris dengan memanfaatkan kelompok radikal.
Lebih lanjut dalam hemat ahli hukum yang
tak pernah mengenyam bangku pendidikan hukum secara formal ini,
pembiaran negara terhadap beberapa praktik intoleransi oleh kelompok
masyarakat tertentu di Indonesia menjadi salah satu akar tumbuh suburnya
praktik terorisme.
”Ketika tidak ada penghukuman terhadap
aksi-aksi radikalnya, berarti tidak ada efek jera. Maka pelaku ingin
melakukan hal yang sama atau bahkan lebih dari itu karena merasa tidak
dihukum,” tandasnya.
Berikut petikan perbincangan Lazuardi
Birru dengan salah satu pendiri Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi
Manusia Indonesia (PBHI) ini di Jakarta.
Aksi-aksi terorisme masih
saja terjadi. Akhir 2001, bom meledak di gereja Solo. Apa sebenarnya
akar masalah terorisme di Indonesia hingga sulit dituntaskan?
Akar masalahnya ada beberapa hal. Bisa
penegakan hukum yang lemah seperti saya sebut di atas, bisa juga
ketidakadilan dan kemiskinan. Semua itu merupakan lahan subur tumbuhnya
terorisme di Indonesia. Karena itu, penanganan terorisme harus benar
hati-hati dengan berlandaskan pada kajian yang mendalam. Tanpa kajian
terhadap kinerja penanggulangan terorisme dan tanpa mengaitkannya dengan
hak asasi manusia justru akan menimbulkan problem baru.
Langkah represif aparat penegak hukum
tentu tidaklah cukup. Langkah lain yang berdimensi sosial mesti
dijalankan pula oleh pemerintah. Peningkatan kesejahteraan masyarakat
dan penegakan hukum yang adil adalah keniscayaan.
Ada yang bilang bahwa
terorisme subur di Indonesia lantaran tidak ada kanalisasi semangat
jihad. Dahulu pemuda-pemuda Islam Indonesia bisa membantu negara-negara
muslim lain yang sedang berperang seperti Afghanistan. Namun sekarang
hal itu dilarang oleh pemerintah. Bagaimana Anda memandang argumen itu?
Apa betul pada zaman Soeharto itu
dibebaskan? Itu dilarang juga kok. Soeharto bahkan sangat keras dengan
kelompok-kelompok Islam, seperti kasus Tanjung Priok dan Talangsari
Lampung. Saya tidak percaya dengan argumen itu. Betul kelompok jihadis
membutuhkan kanalisasi aspirasi di negeri ini, tapi itu diwujudkan
dengan media lain, organisasi sosial politik misalnya.
Di alam demokrasi, jika kelompok
masyarakat tertentu ingin bertarung untuk memproduksi kebijakan publik
yang sesuai dengan aspirasinya maka silakan bertarung melalui organisasi
politik. Saya kira pemerintah harus memberikan ruang kepada
kelompok-kelompok radikal untuk melakukan itu.
Jika mereka belum mau ikut, negara harus
bisa menjelaskan kepada mereka bahwa kekerasan tidak bisa ditoleransi.
Tugas negara adalah mengelola semangat berlebihan suatu kelompok hingga
menjurus pada tindak kekerasan dengan cara damai. Persoalannya,
seringkali aksi kekerasan mereka dibiarkan sehingga menyebabkan mereka
tidak berminat masuk ke partai.
Apa sebenarnya definisi radikalisme agama menurut Anda?
Radikalisme adalah buah dari praktik
intoleransi, baik itu bersifat pasif ataupun aktif ekspresif.
Radikalisme belum tentu terorisme. Ekspresi radikalisme itu seperti yang
terjadi di Cikeusik (penyerangan terhadap pengikut Ahmadiyah) dan
Sampang Madura (penyerangan terhadap pusat aktivitas jamaah Syiah).
Sementara terorisme itu polanya lebih tertutup, rahasia, dan eksklusif.
Namun yang terjadi di Indonesia, seringkali aparat hukum bertindak lamban atau kurang efektif dalam menanggulangi hal ini.
Hampir semua aksi radikalisme dan terorisme di Indonesia mengatasnamakan Islam. Benarkah Islam mengajarkan kekerasan?
Kita tidak bisa mengerdilkan Islam dengan
argumen semacam itu. Saya muslim dan belajar agama. Dalam pengetahuan
keagamaan saya yang terbatas, Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan
sebagai mekanisme penyelesaian masalah. Sama sekali saya tidak diajari
untuk menghakimi orang karena agama atau alirannya berbeda, apalagi
dengan cara-cara yang disebut sebagai jihad, teror bom, dan sebagainya.
Sebaliknya Islam mengajarkan saya untuk
menyelesaikan persoalan dengan musyawarah. Musyawarah itu mekanisme yang
demokratis. Orang boleh beda pendapat, tetapi ketika ketidaksetujuan
itu diwujudkan dalam tindak kriminal, maka di situlah peran negara untuk
menegakkan hukum.
Dalam satu agama ada banyak aliran dan
pandangan adalah realitas tak terpungkiri. Namun jika negara terlalu
ikut campur dalam hal perbedaan pandangan itu juga menjadi problem.
Tugas negara adalah menjamin hak kebebasan beragama dan berkeyakinan
setiap orang, apa pun keyakinannya. Karena itu tidak boleh ada golongan
agama mengadili agama lain, atau aliran tertentu melakukan penghakiman
terhadap aliran lain.
*****
Sepanjang 2011 Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Polri) melaporkan dalam rilis persnya, telah menangkap 84
tersangka kasus terorisme, enam orang di antaranya meninggal dalam
penyergapan, dan 1 orang mengalami luka-luka.
Polri khususnya Detasemen Khusus (Densus)
88 Anti Teror telah menangani sekitar sepuluh kasus terorisme. Di
antaranya tindak pidana teror bom di Klaten dan Solo (Polda Jateng), bom
buku di lingkungan Polda Metro Jaya, bom Cirebon (Polda Jawa Barat),
dan bom Lubuk Linggau (Polda Sumatera Selatan).
Sementara pada 2010, SETARA Institute dan
Yayasan Prasasti Perdamaian mencatat, dari sekian penyergapan tersangka
terorisme di Indonesia, ada 72 orang yang ditangkap dan 13 di antaranya
ditembak mati.
Sementara pada 2012 ini, pada bulan Maret
saja, ada 6 tersangka terorisme yang ditangkap. 5 orang di Denpasar
Bali dan 1 di Bandung Jawa Barat. Semua tersangka yang ditangkap di Bali
tertembak mati setelah terjadi konfrontasi bersenjata.
Bagi Hendardi yang konsisten dalam
isu-isu hak asasi manusia (HAM), tindakan represif aparat tersebut
adalah persoalan besar lantaran menghilangkan kesempatan tersangka untuk
memeroleh kesamaan hak di muka hukum. Lebih dari itu, menilik
pengalaman tahun 2010 dan sebelumnya, represi justru melahirkan
aktor-aktor terorisme baru, jejaring baru, dan sasaran baru.
Bagaimana pandangan “jebolan” Departemen
Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB) yang pernah memimpin tim
investigasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) untuk
kasus-kasus pelanggaran HAM berat ini terhadap aksi represif aparat
terkait pemberantasan terorisme? Apa saran dan masukannya untuk
penanggulangan terorisme di Indonesia?
Bagaimana pandangan Anda terhadap tindakan represif aparat dalam operasi kontraterorisme?
Kita akui keberhasilan aparat penegak
hukum memberantas terorisme, tapi hal ini harus dilihat secara kritis.
Sekarang syak wasangka publik pupus ketika media-media elektronik
menampilkan kesigapan polisi melakukan penangkapan tersangka terorisme.
Psikologi warga digiring untuk cemas terhadap ancaman terorisme sehingga
mendorong mereka mengafirmasi setiap tindakan represif aparat. Ini kan
persoalan.
Bagi saya, penegakan terorisme itu harus seimbang antara pilihan memberikan keamanan bagi warga negara dan memastikan civil liberty
warga tidak terkoyak. Kita harus belajar dari masa lalu di mana
Undang-Undang Subversi membuat kehidupan negara tidak dilindungi hak
asasinya. Siapa bilang dengan UU yang sangat represif itu di zaman Orde
Baru tidak ada terorisme?! Bagi saya, saat itu teror justru dilakukan
oleh negara terhadap warganya.
Sebuah prestasi yang patut diapresiasi
ketika Densus 88 Mabes Polri berhasil menangkap tersangka dan pelaku
terorisme. Tetapi sekali lagi aksi terorisme itu adalah hilirnya.
Hulunya adalah praktik intoleransi. Maka untuk mencegah agar tidak
berkembang menjadi aksi terorisme, praktik intoleransi tidak boleh
dibiarkan. Karena intoleransi inilah akarnya. Bukankah prestasi otentik
pemberantasan terorisme adalah mengikis akar persoalan terorisme?!
UU Nomor 15 tahun 2003
tentang Pemberantasan Terorisme sebagai pengganti Perpu Nomor 1 Tahun
2002 sedang dalam proses revisi di parlemen. Apa saran Anda untuk revisi
UU tersebut?
Untuk melakukan revisi atas UU tersebut,
pemerintah harus melakukan audit menyeluruh terhadap kinerja
penanggulangan terorisme. Mulai dari mekanisme kerja polisi dalam
operasi kontraterorisme hingga proses peradilannya.
Bagi saya paradigma HAM harus
dikedepankan dalam perubahan dalam UU tersebut. Ada beberapa aturan PBB
(Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang mesti diakomodasi sebagai rujukan
dalam penanggulangan terorisme, terutama dalam prinsip-prinsip
penggunaan senjata, kode etik aparat hukum, dan hak asasi korban-korban
terorisme.
Jika ada warga sipil tak bersalah yang
ikut tertembak mati, bagaimana prosedur pertanggungjawaban pemerintah
kepada keluarga korban, itu juga harus diatur.
Densus 88 dan BNPT (Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme) perlu diberi kewenangan yang kuat dalam hal
penanggulangan terorisme. Adanya usulan pasal penyebaran kebencian (hate
speech) dan perluasan penangkapan menunjukkan adanya kewenangan yang
besar bagi dua lembaga tersebut.
Namun sekali lagi, kewenangan itu harus menjaga keseimbangan antara keamanan warga dengan civil liberty.
Perlukah melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme?
Perlibatan TNI sudah diatur dalam UU,
namun perlu dijelaskan lebih detail lagi. Polisi lah yang harus berada
di garis terdepan dalam penanggulangan terorisme. Bagi saya yang lebih
penting adalah pada level preventif. Di situ pemerintah harus melibatkan
organisasi keagamaan yang mempunyai kewibawaan di masyarakat dalam
penanggulangan praktik intoleransi, terutama untuk membendung laju
radikalisme di masyarakat.
Apakah Anda setuju dengan kebijakan lembaga pemasyarakatan khusus bagi narapidana terorisme?
Saya setuju dengan ide tersebut, tetapi
secara teknis hal itu tidak mudah dilaksanakan, pasalnya penjara untuk
narapidana umum saja sudah over kuota. Yang paling mungkin dilakukan
sekarang adalah memisahkan antara terpidana terorisme utama alias otak
aksinya dengan terpidana terorisme yang level keterlibatannya tidak
signifikan alias pelaku pinggiran.
*****
Hendardi sudah puluhan tahun malang
melintang dalam kancah advokasi hukum dan HAM. Tak ayal, ia dianugerahi
pelbagai penghargaan atas perjuangannya. Salah satunya adalah
penghargaan HAM dari Kementerian Hukum dan HAM RI pada tahun 2000 atas
partisipasinya dalam penegakan dan pemajuan HAM di Indonesia.
Bagi Hendardi, penanggulangan terorisme
tidak boleh berhenti pada aras represi melainkan harus sampai pada akar
persoalan untuk mencegah radikalisasi warga dan memastikan ketahanan
ideologi generasi bangsa. Karenanya, peningkatan kesejahteraan ekonomi
dan pengentasan kemiskinan warga menjadi tugas utama pemerintah.
Lebih dari itu, pemerintah juga dituntut
untuk menghukum praktik-praktik intoleransi. Tindakan intoleransi, di
tengah kerentanan warga akibat kemiskinan, menguatnya arus eksklusivisme
dan antipluralisme, menjadi lahan subur bagi penguatan radikalisme yang
bermuara pada terorisme.
“Terorisme jelas musuh kita bersama,
sebab tidak hanya merugikan korban atau keluarganya tetapi juga kerugian
sosial buat pemerintah dan masyarakat secara umum. Dukungan kritis
masyarakat sipil terhadap penanggulangan terorisme adalah keniscayaan,”
tutupnya.[Syafiq]
Biodata:
Nama : Hendardi
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 13 Oktober 1957
Pekerjaan : Ketua Badan Pengurus SETARA Institute
Pendidikan : Departemen Sipil ITB (1978-1986)-Tidak Selesai
Email : hendardi.lif@gmail.com
(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)
Sumber: lazuardibirru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar