Ilustrasi Pict.
Beberapa kerusuhan yang meletus di Maluku
pasca-konflik besar 1999-2002 diduga sengaja didalangi oleh elit lokal
untuk mencegah pengusutan kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Kasus pembakaran pemukiman di Letwaru, Masohi, Maluku
Tengah pada 9 Desember 1999.
“Salah satu temuan riset kami adalah
penggunaan aksi kekerasan masal yang disinyalir dilakukan oleh pejabat
setempat dalam rangka mencegah pengusutan kasus korupsi,” ujar Muhammad
Najib Azka, pengajar FISIP Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
dalam diskusi buku “Seusai Perang Komunal: Memahami Kekerasan
Pasca-konflik di Indonesia Timur dan Upaya Penanganannya” di Hotel Grand
Cemara Jakarta, Selasa (20/11/2012).
Buku tersebut ditulis oleh Patrick
Barron, Muhammad Najib Azka, dan Tri Susdinarjanti sebagai laporan hasil
riset mereka di Maluku dan Maluku Utara, dan diterbitkan oleh Pusat
Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM.
Penulis buku mencatat, Pembakaran Letwaru
melalap 71 rumah warga, 10 warung makan, 1 bangunan gereja. Sejumlah
narasumber buku tersebut menyatakan, kerusuhan tersebut sengaja
dilakukan elite lokal. Sebelumnya muncul informasi bahwa KPK akan datang
ke Maluku Tengah untuk menyelidiki dugaan korupsi proyek-proyek
kesehatan dan pendidikan yang dibiayai dengan dana Inpres.
“Beberapa narasumber kami berpendapat
bahwa orang-orang yang berniat menghalangi kedatangan KPK mendalangi
kerusuhan itu. Dengan adanya kerusuhan, pemerintah pusat akan berpikir
dua kali untuk mengusut kasus korupsi yang sensitif. Lebih baik
pemerintah merugi 2-3 milyar karena korupsi ketimbang puluhan milyar
karena kerusuhan meletus lagi,” ungkap Tri Susdinarjanti yang akrab
disapa Mbak Didin.
Diskusi itu menghadirkan beberapa
narasumber yaitu Najib Azka dan Tri Susdinarjanti mewakili penulis,
serta Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar (peneliti senior LIPI) dan Dr.
Thamrin Amal Tomagola (sosiolog UI) sebagai pembahas. (fiq)
Sumber: Lazuardibirru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar