Radikalisme dan terorisme di Indonesia
merupakan dua diskursus yang berbeda. Pengertian keduanya terkait dengan
pola penindakan dan proses hukum dari masing-masing kasus yang terjadi.
Namun kedua hal tersebut berasal dari sikap yang sama, yaitu
intoleransi.
Wacana tersebut mengawali perbincangan
Lazuardi Birru bersama Erna Ratnaningsih, SH, LL.M, Aktivis Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), di Jakarta. Karena itu, menurut
Erna, sapaan akrabnya, pengertian dan diskursus dua terma tersebut
harus dipisahkan, karena hal ini berkaitan dengan penindakan dan proses
hukum dari masing-masing tindakan tersebut.
Dilihat dari tujuannya, kata Erna,
terorisme merupakan gerakan yang identik dengan penggulingan sebuah
sistem atau negara. Target aksi dari operasi gerakan ini adalah jatuhnya
korban dalam jumlah besar. Motif gerakan ini macam-macam, namun yang
dominan dalam pelbagai kasus terorisme yang terjadi di Tanah Air adalah
motif agama. Erna menilai, pada awalnya target kelompok ini adalah
Amerika dan sekutunya, namun dilakukan di negara Indonesia yang relatif
aman.
Misalnya Bom Bali Tahun 2002. Bom yang
meledak dan memorak-porandakan tempat hiburan dan wisata di Pulau Dewata
Bali ini menelan korban begitu besar. 202 nyawa melayang, sebagian
besar adalah wisatawan mancanegara.
Aksi yang tidak berkeperimanusiaan ini,
dilakukan oleh Imam Samudra, Amrozi, Ali Imron, Umar Patek, dkk. Mereka
merupakan aktivis Jamaah Islamiyah (JI) yang sering dikaitkan dengan
Alqaeda pimpinan Osama bin Laden. Sebelum Bom Bali I, beberapa aksi
teror bom sudah terjadi di belahan negeri ini sejak tahun 2000, diawali
pengeboman Kedutaan Besar Filipina di Jakarta pada 1 Agustus 2000.
Beberapa pengamat menyebut bahwa
aksi-aksi teror bom di Tanah Air dipicu oleh fatwa Osama bin Laden pada
Februari 1998. Kala itu, Osama mendeklarasikan World Islamic Front
dan mengeluarkan fatwa yang menyerukan kewajiban berjihad melawan
tentara dan warga sipil Amerika Serikat dan Barat di mana pun berada.
Sedangkan pengertian radiklisme agama,
menurut mantan Ketua YLBHI ini, lebih kepada kelompok garis keras yang
merasa dirinya paling benar diantara kelompok-kelompok yang lain.
Misalnya, Erna mencontohkan, kasus kekerasan yang terjadi terhadap
kelompok Ahmadiyah, GKI Yasmin, dan kelompok minoritas lainnya. Kasus
tersebut, kata Erna, bisa dikategorikan dalam diskursus radikalisme
agama, namun tidak bisa dikaitkan dengan diskursus terorisme.
Jadi, menurut lulusan Master of Law University of Canberra
ini, tidak semua kekerasan berlabel agama dapat dikategorikan dalam
tindakan terorisme. Hal tersebut akan berimplikasi pada peroses dan
delik hukum yang berlaku.
Lebih jauh Erna mengatakan, fakta yang
terjadi, pemerintah dalam kasus kekerasan atas nama agama tidak
menegakkan hukum secara tegas, padahal untuk kasus terorisme pemerintah
tidak hanya melakukan penegakan hukum, bahkan sering kali melakukan
penyikapan yang sangat berlebihan, misalnya penembakan langsung di
tempat. “Padahal kita belum tahu apakah orang tersebut teroris atau
bukan,” demikian Erna menjelaskan.
“Sedangkan korban kasus kelompok
minoritas, dan kasus kekerasan lainnya, aparat penegak hukum tidak
terlalu tegas, padahal tindakan terorisme berawal dari sana, sama-sama
diawali oleh sikap intoleran,” imbuhnya.
Anda mengatakan radikalisme
agama dan terorisme dua hal yang berbeda, tapi kenyataan di lapangan
mereka sama-sama melakukan tindakan kekerasan dengan dalih agama.
Komentar Anda seperti apa?
Berbeda dalam penegakan hukumnya.
Terorisme masuk pada pidana khusus, sedangkan tindakan kekerasan atas
nama agama masuk pada pidana umum, seperti yang terjadi terhadap
kelompok minoritas Ahmadiyah, GKI Yasmin, dan lain sebagainya.
Sebenarnya, tindakan kekerasan atas nama
agama dan terorisme itu, sama-sama berawal dari sikap intoleran. Namun,
dalam sejumlah kasus yang terjadi di Tanah Air ini, seolah-olah
kekerasan terhadap kelompok minoritas, seperti GKI Yasmin dan yang
lainnya itu bukan teror. Diskriminatifnya di situ.
Misalnya kita lihat kasus bom bunuh diri
di Mapolresta Ceribon. Syarif sebagai pelaku dari tindakan tersebut
adalah anggota dari salah satu organisasi radikal yang selalu melakukan
tindakan kekerasan atas nama agama. Syarif sering terlihat di beberapa
kasus di pengadilan saat aksi menolak kelompok minoritas dan menekan
kelompok minoritas.
Kelompok radikal ini bisa berkembang
menjadi terorisme. Artinya kelompok radikal ini sebenarnya yang membuat
terorisme di Indonesia semakin subur. Di organisasi tersebut orang
dididik untuk menjadi militan dan selalu melakukan tindakan yang
intoleran, tidak menghargai perbedaan, dan selalu menindas kelompok
minoritas. Perilaku kelompok radikal ini kemudian memacu semangat
kadernya untuk melakukan tindakan terorisme.
Hemat saya, seharusnya pemerintah bisa
mencegah gerakan radikal ini sejak dini agar tidak besar. Tapi dengan
fakta lapangan bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap kelompok
minoritas ini masih diskriminatif, maka jangan harap substansi dari
persoalan terorisme ini bisa teratasi dengan tuntas.
Seharusnya aparat penegak hukum dalam hal
ini bertindak tegas terhadap kelompok atau organisasi kemasyarakatan
yang bersikap intoleran dan melakukan kekerasan untuk memaksakan
kehendaknya. Fakta di lapangan kelompok yang sudah jelas-jelas melakukan
kekerasan terhadap kelompk minoritas dibiarkan saja berkeliaran.
*******
Pasca Bom Bali I 2002, pemerintah
Indonesia serius merespon aksi terorisme yang terjadi di Tanah Air. 18
Oktober 2002, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Penganti
Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tantang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali 12 Oktober 2002.
Penerbitan ketentuan ini didasarkan
pandangan bahwa payung hukum yang ada tidak memadai dan gagal mengatasi
problem-problem serupa yang pernah terjadi sebelumnya. Tragedi Bom Bali
merupakan aksi terorisme terburuk dalam sejarah bangsa Indonesia, dan
tidak mungkin diatasi dengan payung hukum yang ada.
Kemudian pada proses selanjutnya, Perpu
No. 1 Tahun 2002 ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu No. 2 Tahun 2002
ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 tentang Pemberlakuan
Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Tindakan Pidana Terorisme
Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali 12 Oktober 2002, (Baca: “Terorisme;
Kapankah Usai?” terbitan Lazuardi Birru, 2011).
Dari tinjauan sejarah itu menunjukkan,
bahwa tindakan pemerintah dalam mengambil kebijakan untuk memerangi
terorisme lebih bersifat reaksioner dan represif. Sehingga wacana untuk
merevisi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme kembali santer disuarakan.
Kita memiliki UU Terorisme No. 15 tahun 2003, Anda melihat UU tersebut seperti apa?
Saya pikir, sejak Undang-Undang No. 15
Tahun 2003 ini lahir, sudah terjadi pro dan kontra. Karena kalau dilihat
dari sejarahnya, UU Terorisme itu merupakan kelanjutan dari Perpu No. 1
Tahun 2002. Kita tahu bahwa hal tersebut merupakan kebijakan yang
reaksioner dari pemerintah kita dalam merespon aksi yang tidak
berkeperimanusiaan itu.
Di satu sisi, terorisme adalah tindakan
kejahatan yang tidak bisa ditolerir, namun di sisi lain, pemberantasan
terorisme ini juga menghkawatirkan banyak kalangan, khususnya civil society
dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Apalagi kalau sampai privasi
dan hak warga negara dibatasi oleh Undang-Undang Terorisme ini.
Karena di beberapa pasal itu ada yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip dan hak-hak yang ada di dalam KUHAP
(Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), seperti penangkapan dan
penahanan yang terlalu lama.
Seharusnya dalam proses tindakan apapun,
dalam kontek HAM seorang tersangka itu berhak untuk didampingi seorang
pengacara, namun faktanya dalam hal ini agak sulit bagi orang yang
dituduh melakukan tindakan terorisme mendapatkan akses terhadap
pengacara itu.
Bagaimana dengan status
terorisme sebagai tindak pidana khusus? Artinya mungkin sedikit keluar
dalam konteks KUHAP. Menurut Anda bagaimana?
Iya, terorisme ini memang masuk kategori
pidana khusus. Jadi, dalam hal ini ada pengecualian. Saya pikir tidak
hanya Indonesia yang sedang fokus menangani kasus terorisme ini, bahkan
seluruh negara di dunia saat ini, fokus mencari solusi melakukan
pemberantasan kasus terorisme ini.
Misalnya Malaysia dengan ISA (Internal Security Act)
nya. Dan beberapa negara lain juga sedang melakukan upaya yang sama
untuk mencegah atau paling tidak menghambat terorisme di negaranya
masing-masing.
Di Indonesia, penanganan terorisme ini
cukup massif, mulai dari penegakan hukum oleh aparat, sampai upaya
preventif yang dilakukan oleh banyak ormas Islam, civil society, dan lain sebagainya.
Dalam penegakan hukum, pihak kepolisian
harus menangani persoalan ini secara baik, profesional, dan tidak
melakukan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Jadi, kalaupun
ada orang yang dituduh melakukan tindakan terorisme itu tetap hak-haknya
dipenuhi. Artinya, misalnya karena dia dituduh terorisme itu tidak
berarti dia bebas untuk kita tembak, harus ada mekanisme dan prosedur
yang berlaku.
Misalnya ketika dia melawan jangan
ditembak dengan alat yang mematikan, karena di samping melanggar HAM,
juga akan menghambat kita untuk mengetahui jaringan terorisme itu
sendiri. Selain itu, menurut saya ancaman hukuman mati juga tidak bisa
memberikan efek jera. Kenapa? Karena nantinya si pelaku terorisme itu
semakin senang, karena mereka punya keyakinan ketika mereka mati akan
masuk Surga. Dan keyakinan itu akan diikuti oleh yang lainnya. Misalnya,
meskipun Amrozi dan kawan-kawannya dieksekusi mati, tapi tetap saja
radikalisme dan terorisme berkembang di Indonesia, karena mereka sudah
siap menjadi martir.
Menurut saya justru hukuman mati itu akan
memimbulkan efek panjang dan luas, karena keluarga dan kelompok mereka
semakin solid, dan mereka ada alasan untuk melakukan konsolidasi. Bisa
saja anak-anak mereka ada perasaan untuk melakukan balas dendam. Dan
itu, hemat saya tidak efektif untuk melakukan pemberantasan terorisme
itu sendiri.
YLBHI selama ini dalam kasus-kasus
tertentu, misalnya dalam kasus narkoba dan terorisme menolak adanya
tindakan atau pidana mati itu. Karena tidak ada korelasi antara hubungan
ancaman pidana mati dengan berkurangnya tindak pidana yang terjadi.
Saat ini, UU Terorisme Tahun
2003 dalam proses revisi. Menurut Anda kira-kira draf ideal seperti apa
yang lebih efektif dalam menangani radikalisme dan terorisme di
Indonesia?
Hemat saya, merevisi Undang-Undang No. 15
Tahun 2003 penting. Kita sebenarnya menginginkan agar terorisme di
Indonesia tidak ada lagi, atau paling tidak bisa diminimalisir. Namun
tentu saja dalam proses revisi UU Terorisme ini tidak melupakan
konsep-konsep dasar HAM itu sendiri.
Dan yang paling penting dalam konsep
pembentukan draf UU Terorisme yang baru nanti lebih mengedepankan
bagaimana adanya tindakan preventif yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum untuk bisa mengidentifikasi gerakan-gerakan dari terorisme ini
sendiri.
Selain itu, yang terpenting juga adalah
pengawasan dari masyarakat, karena kelompok masyarakat ini berinteraksi
dan berbaur dengan masyarakat lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi,
seandainya ada yang mencurigakan, masyarakat yang lebih mengetahui
dahulu. Dan masyarakat ini supaya langsung melaporkannya pada yang
berwajib. Kalau hal itu terjalin, terorisme di Indonesia tidak akan
berkembang.
Jadi lebih kepada pengawasan dan peran serta dari masyarakat, ulama dan civil society
untuk mencegah adanya radikalisme di masyarakat. Misalnya dalam konteks
ini, ulama ketika berceramah seharusnya tidak menjelek-jelekkan
kelompok lain. Ceramahnya lebih kepada penguatan keimaman.
Selama ini Anda melihat peran pemerintah dalam menangani persoalan radikalisme dan terorisme di Indonesia seperti apa?
Saya lihat dari beberapa kasus terorisme
yang ada, sebenarnya di satu sisi peran pemerintah sudah bisa dilihat
maksimal. Pemerintah sudah bergerak dengan cepat untuk mengidentifikasi
adanya kelompok-kelompok dan jaringan terorisme itu.
Namun, di sisi lain gagal untuk
menyelesaikan persoalan terorisme secara keseluaruhan, sampai ke akar
permasalahan. Selain itu, pemerintah juga gagal dalam penanganan di
lapangan, karena banyak sekali pelanggaran HAM yang terjadi, seperti
menembak tersangka terorisme di tempat tanpa memprosesnya melalu jalur
hukum.
Jadi, sebenarnya pemerintah sudah cukup
responsif dalam menangani persoalan terorisme ini, tapi gagal dalam
upaya menyelesaikan persoalan terorisme ini dalam konteks menjaga HAM.
Masih banyak pelanggaran HAM yang terjadi dalam kasus ini.
Lalu, langkah apa yang bisa dilakukan pemerintah dalam hal ini?
Menurut saya, tentu saja yang harus
dilakukan oleh pemerintah, yaitu; pertama, dalam proses pembentukan atau
revisi UU Terorisme ini harus diperhatikan dan dibuat bagaiman agar
dalam UU Terorisme ini tidak melakukan pelanggaran hak-hak sipil dari
warga negara.
Kedua, pemerintah atau aparat penegak
hukum itu lebih bersikap professional dalam menangani kasus-kasus
terorisme. Misalnya tidak langsung menembak di tempat, tersangka harus
diadili, dan bagaimana agar bisa mengungkapkan secara lebih luas
jaringan di terorisme itu.
Ketiga, pemerintah harus melakukan
kampanye atau penyadaran ke masyarakat tentang peran serta masyarakat
untuk melakukan pengawasan terkait dengan adanya gerakan-gerakan ini.
Artinya dalam hal ini, pemerintah bisa bersikap tegas terhadap kelompok
radikal yang bersikap intoleran.
Misalnya ada kelompok yang melakukan
tindakan kekerasan, pemerintah jangan membiarkan. Pemerintah harus
berlaku adil dalam konteks penegakan hukum agar mereka (kelompok
radikal, red) jera melakukan tindakan intoleran tersebut. kalau ada
ormas yang melakukan kekerasan dan sewenang-wenang terhadap kelompok
minoritas, pemerintah harus tegas.
Dalam hal ini, apakah penting
pemerintah mengajak ormas, dan civil society untuk menangani gejala
terorisme yang ada di masyarakat?
Hal ini sangat vital dan harus dilakukan.
Karena, saat ini aparat penegak hukum belum melakukan kerjasama ini
secara maksimal. Untuk memberantas tindakan terorisme ini, pengawasan
dari masyarakat dan civil society itu sangat diperlukan, karena
masyarakat lebih paham dan mengerti tentang lingkungannya. Kalau ada
hal yang mencurigakan dari apa yang dia lihat, masyarakat bisa langsung
melaporkannya pada pihak yang berwajib. Hal itu, bisa mendeteksi lebih
dini.
Bentuk kerjasama yang ideal seperti apa?
Misalnya aparat penegak hukum dalam hal
menangani terorisme tidak bisa melupakan norma-norma hak-hak sipil dan
HAM yang berlaku universal. Dalam konteks ini bisa saja aparat penegak
hukum bekerja sama dengan civil society untuk melakukan training dan pelatihan melakukan pekerjaan polisi dengan profesional, tanpa melakukan pelanggaran HAM.
Artinya dalam hal ini, aparat penegak
hukum (polisi, red) harus mampu secara profesional untuk menemukan
bukti-bukti yang terkait dengan kasus tersebut. Kalau bukti-bukti sudah
ada, tidak mungkin melakukan pemaksaan dan pelanggaran HAM terhadap
tersangka atau terdakwa. Jadi, kolaborasinya mungkin seperti itu.
Bisa juga melibatkan cendikiawan,
akademisi di universitas. Tujuannya jangan sampai kelompok-kelompok ini
bisa merekrut mahasiswa-mahasiswa, karena banyak juga orang yang ingin
mendalami Islam, tapi dia tidak tahu tiba-tiba dia terjebak. Dan itu
banyak terjadi. Dalam hal ini, peran seorang akademisi dan MUI sangat
penting.
MUI sangat strategis, karena sebagai
lembaga formal seharusnya MUI bisa berperan banyak mencegah umat manusia
memiliki pemahaman yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Karena ajaran
Islam tidak mungkin konsepnya membunuh atau melakukan tindakan-tindakan
yang dilarang oleh agama. Kalau hal ini bisa dilakukan, otomatis
tindakan terorisme bisa diatasi, atau paling tidak diminimalisir.
Ada wacana untuk melibatkan TNI dalam penanganan terorisme. Bagaimana komentar Anda?
Sebenarnya tidak perlu melibatkan TNI,
karena tugas TNI itu lebih difokuskan pada ancama yang datang dari luar,
terkait dengan kedaulatan Indonesia. Sedangkan dalam kasus terorisme
itu lebih kepada bagaimana masyarakat yang tidak berdosa ini dilindungi.
Seharusnya polisi bisa memiliki kemampuan untuk menangani terorisme
itu.
Tapi karena terorisme merupakan isu
global, bisa saja polisi melakukan kerja sama dengan negara lain, di
Asia Tenggara. Misalnya ketika ada tersangka atau terdakwa yang lari ke
negara lain, bisa melakukan tindakan ekstradisi khusus, tidak harus
melibatkan TNI.[Aziz]
*******
Biodata
Nama : Erna Ratnaningsih, S.H, LL.M
Tampat/Tanggal Lahir : Kuningan, 14 Agustus 1972
Email : erna.ratnaningsih@ylbhi.or.id
Riwayat Pendidikan : S1 Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret
S2 Master of Law University of Canberra
Aktivitas : Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) 2011-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar