Pemimpin nasional ke depan diharapkan
tidak perlu dipertentangkan dari segi usia, tapi yang perlu
didikotomikan adalah antirakyat atau prorakyat. Wacana tersebut
mengemuka dalam acara Sarasehan Kebangsaan diselenggarakan Lembaga Studi
Kebangsaan 1998 (LASTIKA ’98) di Jakarta.
“Bisa saja, ada orang muda yang tampan,
cantik, cerdas dan memesona tapi tidak prorakyat,” kata tokoh muda
pergerakan M Jumhur Hidayat dalam orasinya pada acara tersebut.
Dalam rilis panitia sarasehan disebutkan
hadir sejumlah tokoh, seperti intelektual Yudi Latif, Ketua Umum DHN’45
Tyasno Sudarto serta sejumlah panelis seperti aktivis ’98 Satyo Purwanto
Komeng, aktivis Masyarakat Republik Niko Adrian dan Presidium GMNI
Twedy Ginting.
“Sebaliknya, jika ada orang yang tidak
muda lagi tapi dia prorakyat, prokemandirian, prokebudayaan nasional,
dukunglah dia untuk tampil sebagai pemimpin negara,” imbuhnya.
Jumhur berharap pemuda dapat membuat
keputusan-keputusan politik yang berorientasi sosial, membangun
kemandirian bangsa. “Nasionalisme yang harus dibangun bukanlah
nasionalisme kaum borjuasi. Tapi nasionalisme kerakyatan untuk mencapai
kesejahteraan rakyat,” demikian ia menjelaskan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif LASTIKA
’98 Nuryaman Berry Hariyanto mengatakan di tengah semakin memudarnya
identitas nasional, kini sudah saatnya siapapun yang tergerak untuk
membangkitkan kembali nasionalisme Indonesia ke garda terdepan demi
memperjuangkan hak-hak rakyat dan kedaulatan bangsa yang semakin
menipis.
Karena jika tidak, sebagai sebuah bangsa
yang memiliki entitas warisan pusat peradaban dunia masa lampau, hanya
akan menjadi bulan-bulanan ’Globalisasi tanpa Arah’, katanya.
“Nasionalisme Indonesia adalah gerakan
kebangsaan yang bertujuan menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, sesuai amanat konstitusi
negara ini,” ujar Berry yang juga aktivis ’98 ini.
Sementara itu, intelektual dan pemikir
kebangsaan Yudi Latif menegaskan saat ini nasionalisme harus dibangun
dengan intelektualitas yang kuat agar tidak dibodohi negara lain. Bukan
dengan semangat peperangan seperti zaman dahulu.
“Sekarang kita tahu banyak aset-aset
bangsa yang dikuasai oleh negara lain. Untuk itu, harus direbut oleh
generasi muda bangsa ini dengan semangat meningkatkan intelektualitas
untuk membangun nasionalisme,” ujar Direktur Pusat Studi Islam dan
Kenegaraan (PSIK) itu.[AzSumber: Lazuardibirru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar