Fenomena aksi radikalisme berlabel agama
kerap kita lihat selama kurun waktu tiga belas tahun terakhir. Di era
reformasi sikap intoleransi dalam kehidupan beragama makin menjamur di
mana-mana di pelbagai daerah Indonesia. Kelompok minoritas seperti
Ahmadiyah kerap mendapatkan intimidasi tiada henti hingga saat ini.
Bahkan kelompok radikal semakin lantang menyuarakan agar syariah Islam
diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dr. Ali Munhanif, MA, Direktur Eksekutif
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, menilai munculnya sikap intoleransi karena otoritas negara
menurun, di mana para aktor organisasi sosial dan politik mengambil
jalan pintas untuk mengekspresikan kepentingan politiknya. Menurutnya,
radikalisme dalam jangka pendek merupakan respon terhadap reformasi,
sedangkan dalam jangka panjang radikalisme sebagai proses politik
berbangsa.
“Upaya untuk menyalurkan aspirasi politik
secara radikal seperti atas nama agama, etnis dan lainnya tidak populer
dan tak akan dianut oleh mayoritas masyarakat. Gerakan radikal tetap
sebuah spektrum paling kecil dari kelompok politik tertentu,” ujarnya
ketika berbincang dengan Lazuardi Birru di Hotel Grand Sahid Jakarta.
Ia menyarankan agar negara cepat bersikap
menyelesaikan masalah radikalisme. Bila otoritas negara seperti lembaga
penegak hukum, keamanan, dan ketahanan solid maka dengan sendirinya
radikalisme bisa diatasi dengan cepat. Selain itu, pemerintah juga harus
memperbaiki kondisi kebangsaan seperti perbaikan ekonomi, penegakkan
hukum, pemberantasan korupsi, dan pemberian akses pendidikan masyarakat.
Lantas bagaimana pandangan doktor dari
Universitas McGill, Montreal, Kanada ini soal radikalisme di Tanah Air,
berikut petikan perbincangannya.
Sebagaimana kita ketahui di
era reformasi marak terjadi aksi radikalisme berbasis agama. Mengapa di
era reformasi radikalisme kerap muncul?
Tentu saja itu saling berkaitan. Bila
kita pahami reformasi sebagai sebuah fase proses pembangunan bangsa,
negara, penataan ulang bentuk politik, dan hidup secara bersama dan
kolektif, maka reformasi mengandaikan suatu proses munculnya berbagai
aspirasi yang lebih asli. Radikalisme dalam jangka pendek merupakan
respon terhadap reformasi. Misalnya, sikap intoleransi muncul karena
otoritas negara menurun, dimana para aktor organisasi sosial dan politik
mengambil jalan pintas untuk mengekspresikan kepentingan politiknya.
Tetapi sebenarnya radikalisme merupakan fenomena yang lebih dari sekedar
itu, radikalisme sebagai hasil politik dalam jangka panjang.
Selama Orde Baru aspirasi masyarakat
dibungkam. Mereka menyimpan bara/spirit yang sangat impulsif dimana
suatu saat bisa meledak, tapi karena sikap represif dan otoritarianisme
negara maka mereka bisa diredam. Karena itu radikalisme dalam jangka
pendek selain sebagai respon terhadap reformasi tapi juga hasil jangka
panjang proses politik berbangsa.
Apakah selama kita menganut
sistem demokrasi di mana masyarakat termasuk kelompok radikal memiliki
kebebasan menyampaikan aspirasinya, mereka akan terus melakukan gerakan
pembangkangan/pemberontakan?
Saya kira tidak. Sebagai suatu bangsa
kita tetap optimis bahwa upaya-upaya untuk menyalurkan aspirasi politik
secara radikal seperti atas nama agama atau lainnya tidak populer dan
tak akan dianut oleh mayoritas masyarakat. Gerakan radikal tetap sebuah
spektrum paling kecil dari kelompok politik tertentu. Misalnya umat
Islam sebagian besar adalah moderat atau prodemokrasi tapi ada kelompok
kecil yang terus menerus mengupayakan untuk menyelesaikan aspirasi
secara radikal. Saya percaya ini tak akan berjalan lama.
Tapi harus diingat bila upaya-upaya
pemerintah dan masyarakat dalam menyelesaikan radikalisme diperkuat maka
akan efektif atasi radikalisme. Masalahnya jika negara dan masyarakat
tidak mau tahu dan mengambil respon/sikap untuk mengcounter politik
radikal tersebut. Negara penting bersikap karena negara dan masyarakat
sedang berebut otoritas dan beradu kepentingan dalam memonopoli otoritas
dan kekuasaan. Negara harus sadar betul jika ada aspek di dalam dirinya
sedang dirongrong masyarakat maka negara harus cepat mengambil tindakan
apalagi yang merongrong gerakan politik radikal.
Misalnya upaya-upaya menyelesaikan
aspirasi masyarakat muslim yang ingin menerapkan syariat Islam.
Sebenarnya secara implisit di dalam gerakan mereka terkandung
keraguan/tak menerima hukum yang diterapkan oleh negara sehingga mereka
mengambil alternatif menerapkan hukum Islam. Dalam tahap ini ada dua
kepentingan antara hukum negara dan Islam. Kekuasaan negara dan
masyarakat saling berebut, bila negara tak mengambil sikap maka mereka
akan terus membesar. Negara harus bersikap cepat untuk selesaikan
masalah radikal. Bila otoritas negara seperti lembaga penegak hukum,
keamanan, dan ketahanan solid untuk menyelesaikan radikalisme maka
dengan sendirinya radikalisme bisa diatasi dengan cepat.
Mengapa gerakan radikalisme menjadikan pemerintah atau Barat sebagai sasaran utama?
Sebab kelompok radikal mempunyai aspirasi
politik yang berbeda dengan aspirasi politik pemerintah. Harus diingat
bahwa Indonesia tidak terjadi begitu saja tapi melalui proses negosiasi
panjang dan alot. Bila kita lihat sejarah kolonialisme, secara umum ada
tiga tawaran/alternatif yang dimunculkan oleh para tokoh pergerakan
nasional yang tergabung dalam organisasi-organisasi antikolonialisme
sekitar awal abad ke 20.
Pertama, aspirasi yang menginginkan
negara ini dibangun atas dasar nasional-sekuler. Aspirasi ini umumnya
disuarakan oleh kalangan terdidik seperti Soekarno, Hatta, dan Muhammad
Yamin. Kedua, aspirasi yang menginginkan menjadi negara Islam.
Aspirasinya diwakili oleh organisasi-organisasi antikolonialisme seperti
Masyumi dan puncaknya pada DI/TII. Ketiga, aspirasi yang menginginkan
menjadi negara komunis.
Setelah melalui proses negosiasi alot
lalu kita meraih kemerdekaan dan disepakati bahwa konstitusi negara ini
adalah Pancasila. Namun banyak orang yang kecewa terhadap keputusan
politik tersebut. Ketika jalan otoritarianisme diambil sebagai
penyelesaian konflik kenegaraan tadi, di situlah ideologi radikalisme
disemaikan secara perlahan. Radikalisme menjadi upaya menentang arus
kesepakatan bersama negara tadi.
Pemerintah menjadi sasaran radikalisme
karena pemerintah mewakili konsensus kenegaraan yang telah disepakati
para pendiri republik ini. Kelompok radikal menentang dan tidak mengakui
kesepakatan tersebut, lalu mereka mencari ideologi dan justifikasi
pembenaran perilaku untuk menentang pemerintah.
Mengapa mereka hingga sekarang tak bisa menerima kesepakatan tersebut?
Pertama, kesalahan orang-orang yang
memangku kepentingan pada tahun 60-an. Mereka sudah terlalu capek
melihat perdebatan yang tak pernah habis, lalu mengambil jalan pintas
menyelesaikan perdebatan tersebut melalui otoritarianisme. Dalam hal ini
otoritarianisme menjadi penyebab/pemicu radikalisme. Penyelesaian
masalah dengan otoritarianisme bagus bila ditopang dengan berbagai upaya
seperti mensejahterakan rakyat dan memberikan akses pendidikan kepada
masyarakat. Namun otoritarianisme menjadi hal buruk bila dianggap sebagi
jalan pintas untuk menyelesaikan konflik kenegaraan. Otoritarianisme
ibarat menyimpan kotoran di bawah karpet, seolah-olah tak ada
konflik/perdebatan, padahal di dalamnya terjadi pengentalan ideologi.
Kedua, pemberian ruang pengajaran agama
yang salah. Tanpa kita sadari dibalik kompromi yang bagus antara
kelompook Islam dan nasionalis dalam mewujudkan kehidupan damai dan tata
kenegaraan yang baik adalah umat Islam tanpa sadar memproduksi
pandangan keagamaan yang memberi ruang jika pengajaran agama salah maka
akan mudah jatuh pada paham radikal. Ini yang harus diantisipasi
pemerintah. Misalnya, kita bukan negara sekuler dan bukan negara
religius, tapi harus diakui banyak institusi agama yang masuk dalam
struktur kenegaraan, seperti dalam pendidikan agama.
Pendidikan agama bertujuan memberi
peluang masyarakat untuk belajar agama secara benar tapi karena sifat
pendidikannya eksklusif maka kita sering melihat di dalam pengajaran
agama memberi ruang untuk melihat keburukan negara dalam perspektif
agama. Misalnya tak melihat pelaksanaan syariat islam dan jihad untuk
menentang otoritarianisme/pemerintah sekuler. Reproduksi ideologi jihad
untuk menentang pemerintah sekuler berpotensi untuk mendorong
masyarakat/komunitas agama tertentu menjadi radikal. Mereka bisa radikal
bila didukung faktor lain seperti ketimpangan ekonomi, korupsi
merajalela, dan hukum tidak ditegakkan secara benar. Seseorang yang
punya keagamaan militan berpendapat bahwa untuk menyelesaikan masalah
tadi adalah dengan menerapkan syariah Islam.
Radikalisme bisa dipicu oleh pengajaran
agama yang keliru. Jihad dalam pandangan Islam sangat etis dan
manusiawi, namun bila ditafsirkan secara keliru maka menjadi keinginan
untuk memberangus orang lain/hal yang mengingkari agama.
Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mengatasi radikalisme?
Banyak hal yang harus dilakukan
pemerintah untuk memerangi politik radikal. Pertama, kita jangan
kehilangan fokus, bahwa radikalisme berkaitan dengan pandangan ideologi
radikal. Bila kita melihat perilaku radikal di kalangan organisasi
tertentu adalah mereka tak sabar untuk selesaikan masalah politik secara
politik, mereka ingin mengambil jalan pintas dan antiperdebatan. Sikap
seperti ini didorong oleh militansi dan kesederhanaan berpikir. Karena
itu pemerintah harus mendorong upaya penyelesaian politik lebih dewasa
dan beradab, serta jangan lagi ada upaya jalan pintas.
Kedua, mendorong masyarakat mempunyai
ideologi atau platform bersama kenegaraan. Kita harus sepakat bahwa
kemaslahatan umum, membangun stabilitas, dan kerukunan beragama menjadi
kebijakan pemerintah. Harus ada upaya untuk mengubah ideologi radikal
menjadi moderat. Pemerintah harus fokus pada dua faktor yaitu makro dan
mikro. Faktor makro seperti penegakkan hukum terhadap semua tindak
kejahatan sedangkan faktor mikro seperti perbaikan ekonomi. Tesis yang
menyatakan seseorang yang punya pemikiran radikal muncul dari kelas
menengah ke bawah memang ada hubungannya meski tak sepenuhnya benar
bahwa kemiskinan memobilisasi politik radikal. Perbaikan ekonomi
masyarakat dan penyediaan lapangan kerja adalah obat ampuh menangkal
radikalisme.
Menurut Anda perlu atau tidak pemerintah kembali menancapkan kekuatannya seperti jaman Orde Baru untuk menekan radikalisme?
Perilaku radikal muncul menggambarkan
betapa tidak mengakarnya negara di masyarakat. Penetrasi negara tak
sepenuhnya mengakar di publik. Secara teritorial kaki-kaki pemerintah
tak ada masalah. Tetapi penetrasi negara dalam bidang ideologi susah
karena saat ini banyak ideologi yang tersebar di masyarakat. Di masa
Orde Baru tindakan represif menjadi bagian penting strategi penetrasi
negara ke masyarakat misalnya melalui P4, pelajaran PMP, sosialisasi
Pancasila, dan organisasi dipaksa menerima Pancasila sebagai asas
tunggal.
Namun menerapkan strategi tersebut di era
demokrasi tak mudah. Di dalam demokrasi ideologi berubah bersamaan
dengan cara pandang masyarakat. Karena itu pendidikan harus dibenahi,
dan pendidikan agama harus di transformasi yakni mengkombinasikan
pendidikan kewarganegaraan. Di dalam demokrasi perlu strategi elegan
melakukan penetrasi ke masyarakat yakni melalui pendidikan, desiminasi
Pancasila di ruang publik untuk dijadikan platform bersama kehidupan
bernegara. Aspirasi ideologis bisa disalurkan melalui institusi
terlembaga seperti parlemen. Jika mereka ingin menegakkan hukum Islam
maka dibawa ke parlemen untuk diperdebatkan di sana, dan jangan
diperdebatkan di jalanan.
Lembaga Anda beberapa kali melakukan penelitian tentang indeks radikalisme, bisa dipaparkan hasilnya?
Beberapa penelitian kita dari tahun ke
tahun hasilnya menunjukan radikalisme di kalangan masyarakat semakin
meningkat, meski peningkatannya tak melesat tajam. Misalnya pada tahun
2004 masyarakat belum bersikap radikal tapi pada 2010 semakin banyak
orang mengadopsi pentingnya penerapan hukum Islam, jihad menjadi bagian
perjungan agama, dan siap berjihad bila ada kelompok yang menghina
Islam.
Terakhir kita dan FISIP UIN Jakarta
meneliti tentang radikalisme di kalangan mahasiswa UIN dan IAIN di
Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Banjarmasin dan Ujung Pandang. Ada temuan menarik dari penelitian
tersebut bahwa umumnya mahasiswa muslim di Ujung Pandang dan Sumatera
Barat mempunyai sikap relatif radikal dibanding mahasiswa di tempat
lain. Mahasiswa UIN Jakarta memperoleh indeks paling moderat.
Kita terkejut terhadap temuan tersebut
karena ini kenyataan menarik. Sebab ada pandangan umum bahwa radikalisme
muncul dilingkungan kampus umum. Namun faktanya tak demikian karena
seperti di Sumatera Utara mahasiswa muslim lebih relatif radikal
misalnya siap berjihad bila Islam dalam ancaman, pentingnya hukum Islam
diterapkan di kehidupan publik, dan jihad bagian dari agenda untuk
membela agama.
Lalu kita tindaklanjut hasil tersebut
dengan lakukan penelitian kualitatif khusus untuk mahasiswa UIN Jakarta.
Temuannya sederhana saja bahwa faktor makro seperti kondisi politik
bangsa sangat membentuk pandangan mereka. Faktor makro seperti gagalnya
penegakkan hukum, ketimpangan ekonomi dan beroperasinya organisasi yang
belum menerima Pancasila sebagai asasnya di kampus. Tapi saya mendengar
sekarang kampus telah melarang organsasi apapun masuk kampus kecuali
organisasi BEM dan UKM.
Menurut Anda radikalisme telah menjalar ke mahasiswa apakah karena faktor makro atau mikro?
Tak bisa dipisahkan, keduanya saling
terkait/jalan berkelindan. Pada tingkat mikro bagaimana meyakinkan
memilih organisasi tertentu secara militan apabila tak ada faktor makro
yang menjustifikasinya. Pada tingkat makro kita harus mendorong
pemerintah memperbaiki keadaan bangsa, namun pada tingkat mikro harus
menyadari pentingnya membendung gerakan radikal di kampus melalui
berbagai kegiatan akademik dan olahraga. Pada tingkat tertentu kegiatan
tersebut dapat membendung/menutup ruang radikalisme untuk bergerak.
Bagaimana Anda melihat radikalisme ke depan?
Selama demokrasi berjalan dengan baik dan
pemerintah dapat memperbaiki kondisi bangsa maka kelompok radikal akan
berkurang dan akan mengerucut pada kelompok konservatif. Perbaikan
ekonomi, pemberian akses pendidikan yang luas, demokrasi berjalan baik,
korupsi diberantas, dan penegakkan hukum secara benar maka radikalisme
hanya akan menjadi kelompok konservatif. Saya membayangkan di masa depan
pertarungan antara kelompok moderat dan radikal terlembaga secara
politik. Tetapi bila demokrasi gagal karena berbagai faktor maka
kemunculan radikalisme terus meningkat.
Apa closing statement Anda?
Radikalisme harus diperangi bersama. Akar radikalisme begitu berlapis, pada tingkat makro ada mismanagement dalam
pengelolaan negara, sedangkan pada tingkat mikro banyaknya peluang
individu untuk menjadi radikal karena memiliki pandangan keagamaan
sempit. Pemerintah harus fokus pada masalah makro dan pada saat
bersamaan pemerintah harus memberi ruang sosialisasi pentingnya
masyarakat mengadopsi pandangan bersama tentang bernegara. Empat pilar
kebangsaan yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika
harus terus disosialisasikan melalui pendidikan, organisasi sosial, LSM
dan lainnya.[Akhwani]
Biodata:
Nama Lengkap : Dr. Ali Munhanif, MA
Tempat, Tanggal Lahir : Blora, 12 Desember 1965
Pekerjaan
: Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
Pendidikan : S3 Departemen Ilmu Politik Universitas McGill, Montreal, Kanada
(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)
Sumber: Lazuardibirru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar