September-Oktober
2012, Poso, Kabupaten di Sulawesi Tengah yang pernah dilanda konflik
horizontal pada 1998-2001, kembali diguncang oleh serangkaian peristiwa
teror. Dari peristiwa pengeboman di rumah warga hingga pembunuhan dua
anggota kepolisian. Menyusul aksi teror, Polisi menerjunkan pasukan
untuk memburu jaringan teroris yang masih berkeliaran di Poso.
Dalam
perburuan tersebut, selain berhasil menangkap beberapa terduga teroris
–satu di antaranya tewas tertembak, Polisi menemukan lahan kosong yang
disinyalir menjadi pusat pelatihan teror di wilayah Kecamatan Poso
Pesisir. Polisi menilai, lahan pelatihan teror itu terkait dengan
kelompok Jamaah Ansharut Tauhid (JAT).
Menurut Muhammad Miqdad, Direktur Eksekutif Institut Titian Perdamaian (ITP), LSM di Jakarta yang memiliki program CEWARS (Conflict Early Warning System)
di Poso, gejolak kekerasan yang terjadi di Poso sebenarnya tidak bisa
didekati dengan cara-cara represif yang langsung mengarah pada
kelompok-kelompok radikal seperti JAT.
Dalam strategi peace building, lanjut
Miqdad, ada istilah teknik makan bubur panas. Yaitu memakan dari
pinggir dan secara perlahan menuju ke tengah. Hal ini pun harus
diterapkan dalam program resolusi konflik di Poso.
“Kelompok
radikal itu titik panasnya. Jangan langsung kita ‘tembak’ dia.
Pemerintah maupun kelompok masyarakat sipil harus membuat
program-program yang terarah dan sistematis dalam masing-masing
komunitas untuk menciptakan sistem deteksi dini gejala konflik sosial,”
ujar Miqdad kepada Lazuardi Birru, Jumat (23/12/2012).
Dalam
hemat Miqdad, melalu komunitas-komunitas itu, masyarakat yang pernah
terlibat konflik bisa berdialog mengenai persoalan ekonomi, pendidikan,
juga berbicara proses penyeimbangan kekuatan baik di ranah politik
maupun yang lain.
“Semua
masalah itu akan terdialogkan di komunitas. Kita jangan langsung
‘menggarap’ titik panasnya yaitu kelompok-kelompok militan radikal.
Mereka bisa dikepung secara pelan-pelan oleh masyarakat, jika kohesi
sosial sudah terbangun cukup kuat,” tandasnya.
Secara
otomatis, jika kohesi terbangun, komunitas bisa hidup rukun, akan
memersempit ruang gerak atau ruang berpikir masyarakat untuk menjadi
radikal.
“Dan
itu sudah ada preseden sekarang di mana masyarakat bisa hidup
bahu-membahu, saling membantu dalam kehidupan sehari-sehari baik dalam
kebutuhan ekonomi maupun yang lain. Maka kelompok-kelompok militan
radikal ini lambat laut akan pergi sendiri untuk mencari arena baru,
atau mereka larut dalam komunitas yang positif,” tandasnya.
Toh,
demikian Miqdad melihat, masyarakat Poso sudah enggan untuk terlibat
lagi dalam konflik horizontal. Terbukti serangkaian aksi teror yang
dimaksudkan untuk memprovokasi masyarakat tidak menuai hasil. Artinya
pengaruh kelompok-kelompok militan seperti JAT juga tidak sekuat dulu
ketika konflik memanas. (Fiq)
Sumber: Lazuardibirru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar