Rabu, 28 November 2012

Mengelola Poso dengan Strategi “Makan Bubur Panas”

September-Oktober 2012, Poso, Kabupaten di Sulawesi Tengah yang pernah dilanda konflik horizontal pada 1998-2001, kembali diguncang oleh serangkaian peristiwa teror. Dari peristiwa pengeboman di rumah warga hingga pembunuhan dua anggota kepolisian. Menyusul aksi teror, Polisi menerjunkan pasukan untuk memburu jaringan teroris yang masih berkeliaran di Poso. 
Dalam perburuan tersebut, selain berhasil menangkap beberapa terduga teroris –satu di antaranya tewas tertembak, Polisi menemukan lahan kosong yang disinyalir menjadi pusat pelatihan teror di wilayah Kecamatan Poso Pesisir. Polisi menilai, lahan pelatihan teror itu terkait dengan kelompok Jamaah Ansharut Tauhid (JAT).   
Menurut Muhammad Miqdad, Direktur Eksekutif Institut Titian Perdamaian (ITP), LSM di Jakarta yang memiliki program CEWARS (Conflict Early Warning System) di Poso, gejolak kekerasan yang terjadi di Poso sebenarnya tidak bisa didekati dengan cara-cara represif yang langsung mengarah pada kelompok-kelompok radikal seperti JAT.
Dalam strategi peace building, lanjut Miqdad, ada istilah teknik makan bubur panas. Yaitu memakan dari pinggir dan secara perlahan menuju ke tengah. Hal ini pun harus diterapkan dalam program resolusi konflik di Poso.
“Kelompok radikal itu titik panasnya. Jangan langsung kita ‘tembak’ dia. Pemerintah maupun kelompok masyarakat sipil harus membuat program-program yang terarah dan sistematis dalam masing-masing komunitas untuk menciptakan sistem deteksi dini gejala konflik sosial,” ujar Miqdad kepada Lazuardi Birru, Jumat (23/12/2012).
Dalam hemat Miqdad, melalu komunitas-komunitas itu, masyarakat yang pernah terlibat konflik bisa berdialog mengenai persoalan ekonomi, pendidikan, juga berbicara proses penyeimbangan kekuatan baik di ranah politik maupun yang lain.
“Semua masalah itu akan terdialogkan di komunitas. Kita jangan langsung ‘menggarap’ titik panasnya yaitu kelompok-kelompok militan radikal. Mereka bisa dikepung secara pelan-pelan oleh masyarakat, jika kohesi sosial sudah terbangun cukup kuat,” tandasnya.
Secara otomatis, jika kohesi terbangun, komunitas bisa hidup rukun, akan memersempit ruang gerak atau ruang berpikir masyarakat untuk menjadi radikal.
“Dan itu sudah ada preseden sekarang di mana masyarakat bisa hidup bahu-membahu, saling membantu dalam kehidupan sehari-sehari baik dalam kebutuhan ekonomi maupun yang lain. Maka kelompok-kelompok militan radikal ini lambat laut akan pergi sendiri untuk mencari arena baru, atau mereka larut dalam komunitas yang positif,” tandasnya.
Toh, demikian Miqdad melihat, masyarakat Poso sudah enggan untuk terlibat lagi dalam konflik horizontal. Terbukti serangkaian aksi teror yang dimaksudkan untuk memprovokasi masyarakat tidak menuai hasil. Artinya pengaruh kelompok-kelompok militan seperti JAT juga tidak sekuat dulu ketika konflik memanas. (Fiq)

Sumber: Lazuardibirru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar