Salah satu upaya menciptakan perdamaian
di Maluku pascakonflik 1999-2002 adalah dengan pemenuhan kebutuhan
ekonomi elite sosial yang pernah bertikai, baik dari kelompok Islam
maupun Kristen. Namun cara itu dinilai tidak awet sebagai sebuah
strategi resolusi konflik yang permanen.
Hal itu mengemuka dalam diskusi buku
“Seusai Perang Komunal: Memahami Kekerasan Pasca-konflik di Indonesia
Timur dan Upaya Penanganannya” di Hotel Grand Cemara Jakarta, Selasa
(20/11/2012). Buku tersebut ditulis oleh Patrick Barron, Muhammad Najib
Azka, dan Tri Susdinarjanti sebagai laporan hasil riset mereka di Maluku
dan Maluku Utara. Ketiganya merupakan peneliti di Pusat Studi Keamanan
dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Dalam buku tersebut, tercatat beberapa
contoh elit yang sebelumnya sangat radikal dan bahkan menolak Perjanjian
Malino, dalam perkembangannya menjadi sangat lunak ketika mendapatkan
pos-pos pekerjaan yang strategis atau mendapatkan “jatah” proyek
perdamaian pasca-konflik. Salah satu contoh kasusnya adalah Ustadz
Muhammad Attamimi, pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Ambon.
“Attamimi adalah Komandan Laskar Amar
Ma’ruf Nahi Munkar, milisi lokal yang bersekutu dengan Laskar Jihad saat
konflik komunal pecah. Awalnya ia bergabung dalam kelompok Forum
Musyawarah Umat Muslim Maluku yang menolak perjanjian Malino. Namun
seiring waktu sikapnya melunak karena ia diangkat sebagai Ketua STAIN
Ambon dan bahkan kini menjadi Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama
Provinsi Maluku,” ungkap Najib Azka.
Selain Attamimi, buku itu juga menyebut nama Ongen Pattimura, pemimpin kelompok miliisi Kristen saat konflik.
“Para panglima konflik, setelah konflik
selesai mereka tidak lagi punya peran sehingga sempat menjadi sumber
masalah. Setelah konflik reda, jadi soal orang-orang ini, antara lain
Ongen Pattimura, dipikirkan solusinya: memberi kerja buat mereka. Ada
juga yang akhirnya saya rekrut menjadi Satpol Pamong Praja. Ada juga
yang diberi kerja untuk mengatur parkir,” ujar sumber dalam buku
tersebut.
Adapun panglima milisi Kristen, yang
pernah mengorganisasi kekerasan yang lantas melunak setelah menerima
dana dan proyek darurat sipil adalah Femmy Souisa dan Emang
Nikijuluw, demikian tertulis dalam buku tersebut.
Namun cara-cara tersebut, dalam hemat
para penulis buku, dinilai rentan lantaran ketika anggaran proyek
perdamaian mengering atau ketika aturan main mengenai alokasi sumber
daya mulai diketatkan, kelompok-kelompok yang tadinya “jinak” dapat
menghidupkan kembali cara kekerasan dalam rangka memastikan aliran
sumber daya tidak diputus.
“Harus dicarikan cara resolusi konflik yang tidak bersifat ad hoc seperti
itu,” ujar Sosiolog Universitas Indonesia, Thamrin Amal Tomagola, yang
hadir sebagai pembahas dalam diskusi tersebut. (fiq)
Sumber: LB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar