Jumat, 30 November 2012

Sarlito: Kondisi Kejiwaan Teroris Normal




Pasca reformasi negeri ini telah beberapa kali diguncang bom terorisme. Sejumlah bom meledak dengan aksi bom bunuh diri. Misalnya ledakan bom terorisme di Paddy’s CafĂ© dan Sari Club kawasan Legian, Kuta, Bali pada 12 Oktober 2002 silam. Lalu ledakan bom di Masjid Polres Kota Cirebon pada 15 April 2011 yang dilakukan Muhammad Syarif. Kemudian ledakan di Gereja Bethel Injil Sepenuh Kepunton (GBIS Kepunton), Solo, Jawa Tengah, pada 25 September 2011 yang dilakukan Ahmad Yosepa Hayat alias Hayat.

Menurut Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia, aksi bom bunuh diri dilakukan secara sadar. Kondisi kejiwaan pelakunya tak terganggu. Seseorang melakukan aksi tersebut karena ideology yang dianutnya mengajarkan demikian.

“Mereka yang terlibat aksi bom bunuh diri adalah orang yang punya pemikiran radikal. Mereka berpikiran salah satu cara untuk mencapai tujuan Islam adalah dengan mati syahid. Mereka di doktrin jika mati berjihad akan syahid dan masuk surga serta mendapatkan bidadari surga,” kata Sarlito ketika ditemui di kediamannya komplek dosen Universitas Indonesia, Ciputat, Tangerang Selatan.

Motivasi dan kepercayaan mati syahid dan memperoleh surga, lanjut Sarlito, begitu kuat tertanam dalam diri pelaku bom bunuh diri. Menurut Sarlito, beberapa pelaku aksi terorisme yang tertangkap mengaku menyesal ketika mengetahui korban dari perbuatannya adalah sesama muslim. Lalu bagaimana pandangan Sarlito terhadap radikalisme dan terorisme di Tanah Air. Berikut petikannya:

Bagaimana pandangan Anda tentang fenomena terorisme di Indonesia?
Terorisme sudah ada sejak masa kemerdekaan, terutama terorisme yang terkait Islam, misalnya ketika Kartosuwiryo memproklamirkan Negara Islam Indonesia. Jadi Jamaah Islamiyah tak berdiri sendiri, setelah JI bisa dikendalikan para tokohnya ada yang ditangkap dan mati, maka timbul radikalisme baru seperti yang dilakukan Muhammad Syarif di Masjid Mapolresta Cirebon. Mumammad Syarif dan pelaku lainnya adalah wajah baru terorisme. Radikalisme akan terus berjalan. Apa yang dilakukan pemerintah melalui Densus 88 hanya menghentikan gejalanya saja dari waktu ke waktu tapi akar radikalismenya belum terpecahkan. Bila akar dasarnya tak terpecahkan radikalisme akan terus bergulir di tengah bangsa ini.

Menurut Anda sendiri apa itu terorisme?
Terorisme adalah suatu aksi yang menimbulkan korban atau ketakutan. Misalnya perilaku mengancam sebuah gedung dengan bom lalu masyarakat panik maka itu disebut terorisme. Sasaran terorisme tidak terkait dengan tujuan terorisme, seperti ketika Bom Bali yang menjadi sasaran korban, tak ada urusannya dengan politik pelaku terorisme. Biasanya di balik aksi teror ada misi politik seperti negara islam, sosialisme, komunisme atau lainnya.

Aksi terorisme beberapa kali dilakukan melalui bom bunuh diri. Apa pendapat Anda?
Aksi bom bunuh diri memang berbahaya tapi itu bagian kecil dari gerakan radikalisme. Ada dua kategori seseorang terlibat terorisme yaitu; pertama mereka yang betul-betul mempunyai ideologi radikal seperti Imam Samudera dkk, sedangkan kedua mereka terlibat karena misalnya rumahnya dititipi/menginapkan orang yang ternyata dia adalah seorang teroris. Sasaran terorisme untuk menarik perhatian meski yang menjadi korbannya adalah muslim sendiri. Pelaku merasa menyesal ketika menemukan yang menjadi korban akibat aksinya adalah seorang muslim.

Secara psikologis mengapa seseorang berani melakukan aksi bom bunuh diri?
Tak semua teroris melakukan aksi bom bunuh diri, seperti Imam Samudera dan Osama bin Laden. Mereka yang terlibat aksi bom bunuh diri adalah orang yang punya pemikiran radikal. Mereka berpikiran salah satu cara untuk mencapai tujuan Islam dengan mati syahid. Mereka di doktrin jika mati berjihad akan syahid dan masuk surga serta mendapatkan bidadari surga. Doktrinnya tak ada yang lain bahwa selain Islam maka yang lain salah.

Apakah kondisi psikologi mereka terganggu?
Tidak. Mereka melakukan bom bunuh diri karena ideologinya mengajarkan seperti itu. Mereka berbuat aksi serangan bom secara sadar dan rasionya berjalan. Namun rasio mereka menuju arah yang lain. Misalnya ketika ada muslim antara yang radikal dan moderat, keduanya merasa dirinya yang benar. Mereka punya dasar masing-masing atas kebenarannya.

Mengapa ideologi mereka kuat?
Motivasi mereka kuat layaknya orang yang ingin mudik lebaran, rela berjuang menerabas macet dan lainnya hanya untuk dapat berlebaran di kampung halaman. Mereka berani melakukan aksi bom karena panggilan. Bagi mereka jihad bom bunuh diri adalah membela agama.

Sepengetahuan Anda bagaimana motivasi mereka?
Sejak tahun 2004 hingga sekarang, saya bergaul dengan banyak pelaku teroris. Saya kenal mereka satu per satu seperti Abu Rusydan, Zarkasi, Abu Dujannah, Ali Imron dan lainnya. Saya sering berkomunikasi dengan mereka hampir setiap hari. Mereka percaya diri berbuat terorisme karena percaya akan masuk surga. Bila percaya akan masuk surga maka lakukanlah jihad yang seperti itu.

Sepengetahuan Anda apakah pelaku terorisme merasa menyesal atas perbuatannya?
Ada tapi tak semua teroris merasa menyesal dan bersalah. Namun sebagian besar mereka menyesali perbuatannya. Misalnya ketika mereka mengetahui bahwa saat merampok bank dulu ternyata uang hasil rampokan tidak digunakan untuk perjuangan di Ambon tapi untuk serangan Bom Bali maka pelakunya menyesal telah merampok bank.

Mantan napi teroris apakah bisa kembali menjalani hidup normal seperti masyarakat biasa?
Sebagian besar mereka yang sudah keluar dapat hidup normal kembali kayak dulu, kini di antara mereka ada yang menjadi penjual ayam, usaha sapi, dan pedagang kecil. Setelah keluar dari penjara mereka tak lagi mengurusi terorisme tapi bekerja tiap hari untuk keluarga dan anaknya. Mereka memikirkan anak dan istrinya seperti kita ini.
******
Sarlito menilai upaya pemerintah dalam menangani terorisme belum maksimal. Namun kinerja Densus 88 dalam menghadapi ancaman terorisme sudah efektif. Hingga saat ini Densus 88 telah menangkap ratusan pelaku terorisme di Indonesia. Pada awalnya, kata dia, Densus 88 mempunyai program bila tersangka teroris tertangkap maka keluarganya disantuni seperti anaknya disekolahkan dan istrinya dikasih modal usaha. Upaya tersebut bertujuan membuat tersangka menjadi jinak.

Ia mengatakan saat ini radikalisme sudah masuk ke dunia pendidikan. Hal ini karena Kemenag tak melakukan pengendalian dan mengontrol para guru agama dan proses pengajaran pendidikan agama di sekolah.  “Menurut penelitian Bambang Pranowo bahwa 47 persen siswa sekolah umum tingkat pertama dan atas di Jabodetabek menyatakan sudah siap untuk ikut berjihad. Ini potensi yang sangat mencemaskan. Bahkan mimbar khutbah Jumat juga khatibnya sering kali mengatakan ajaran radikal. Pemerintah belum ada usaha ke arah sana padahal itu ancaman,” tegasnya.

Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah?
Hasil-hasil penelitian lembaga harus diadopsi menjadi sebuah strategi nasional. Ini menjadi pekerjaan BNPT tapi sayang umurny masih pendek dan personilnya banyak yang baru sehingga belum nyambung karena mereka masih pada tataran teori. Mungkin butuh waktu tapi harus lebih cepat karena kita sekarang lagi kejar-kejaran dengan proses radikalisasi di masyarakat.

Mengapa terorisme menjadikan anak muda sebagai sasarannya?
Generasi muda tak hanya menjadi sasaran terorisme tapi bisa menjadi sasaran apa saja seperti kasus narkotika dan seks bebas. Hal itu karena anak muda sedang mencari identitas atau jati diri dan usia remaja sangat mudah untuk dipengaruhi.

Belakangan ini aksi terorisme makin muncul permukaan. Menurut Anda mengapa demikian?
Kita kadang sering melakukan pukul rata, padahal harus diingat dari tahun 2004-2009 tak ada aksi teror. Selama lima tahun teroris menghentikan aksinya karena polisi mampu mengontrol jaringan terorisme, dan jaringan teroris saat itu terbatas hanya JI. Mereka adalah eks Afganistan, Filipina, Malaysia, Poso, dan Ambon. Pasca tahun 2009 lalu terjadi teror bom di hotel JW Marriot. Aksi tersebut adalah wajah baru terorisme seperti Ibrahim dan Syaifuddin. Terorisme telah melebar karena muncul wajah baru dan ini berbahaya. Polisi kini mendapatkan tugas baru. Tugas pembinaan/pencegahan bukan menjadi tanggung jawab polisi melainkan Kemenag, Kemendikbud, dan Kemensos.

Pelaku terorisme sekarang adalah wajah baru, apakah mereka satu jaringan dengan terorisme dulu?
Tidak. Sejak masa Kartosuwiryo hingga saat ini jaringannya ganti-ganti. Misalnya JI sekarang tak ada hubungannya dengan kelompok Imran yang pada tahun 80an membajak pesawat garuda. Jaringan pelaku terorisme tak sama namun ideologinya sama. Ideologi mereka harus diperangi, karena itu pemerintah harus mengembalikan dan menjadikan Pancasila sebagai asas negara. Sebab sejak reformasi Pancasila dianggap jelek. Masyarakat tak ada pegangan maka timbullah radikalisme sehingga beberapa pesantren mengajarkan tak boleh hormat kepada bendera karena menyembah berhala. Ajaran seperti itu tak benar, dan pemerintah harus kembali menggalakan Pancasila. Yang aneh ialah ada anggota DPR yang tak hafal Pancasila dan lagu Indonesia Raya, itu terlihat dalam salah satu tayangan di televisi. Begitu rendahnya kualitas penghayatan dan pengamalan Pancasila.

Mengapa aksi terorisme di Indonesia mengalami pasang surut?
Sebab kontrol polisi masih lemah. Alqaedah masih kuat dan dana dari Osama bin Laden masih ada. Ketika Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Basyir hijrah ke Malaysia, mereka mencari dana ke Timur Tengah lalu ketemu Osama dan mendapatkan banyak dana untuk merekrut pemuda Indonesia untuk sekolah di Akademi Militer Afganistan. Tetapi sekarang dana tersebut sudah habis dan diblokir
.
Bagaimana langkah preventif agar radikalisme dan terorisme tak berkembang biak?
Itu tugas Kemenag dan Kemendikbud. Mereka harus lakukan kontrol kurikulum di lapangan mulai dari TK hingga SMA, aktifitas rohis, mushala dan masjid di sekolah dan kampus. Perlu diketahui siapa yang menguasai itu semua.  Selama ini pendidikan agama masih tak terkontrol sehingga ruang radikal mudah masuk ke sekolah. Saat ini banyak ideologi radikal telah masuk ke sekolah. Salah satu ciri kelompok radikal yaitu adanya bai’at. Ketika dibai’at harus setia pada pimpinan.

Apakah perlu tindakan represif dari pemerintah sebagai langkah curative?
Tindakan represif bukan untuk membuat jera pelaku tapi untuk penegakkan hukum. Konsep tindakan membuat jera itu keliru, seperti obat saja supaya imun. Hukuman itu bukan untuk membuat jera melainkan memenuhi undang-undang. Untuk membuat jera ada proses reedukasi dan pembinaan, bukan melalui hukuman. Pemerintah belum lakukan pembinaan dan pendidikan. Meski reedukasi belum berjalan tapi jangan dibuat jera dengan hukuman, itu keliru.

Menurut Anda lembaga negara apa saja yang efektif menangani terorisme?
Kemenag, Kemendikbud, Kemensos, dan Kemendagri. Tetapi sekarang yang terlibat aktif adalah Kemenlu, yaitu melibatkan negara-negara ASEAN untuk melakukan penelitian melawan terorisme di negara masing-masing. Saya dengan beberapa teman terlibat di sana, tapi dari kementerian lain belum terlihat.

Apakah perlu keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme?
Selama ini TNI telah dilibatkan hanya yang dijadikan wacana seakan-akan terorisme menjadi pekerjaan TNI. Padahal sepanjang terorisme terkait keamanan dalam negeri maka menjadi pekerjaan polisi. Ketika ada pengejaran maka polisi bisa meminta bantuan TNI.

Saat ini pemerintah telah memiliki UU Antiterorisme untuk menjerat pelaku terorisme, menurut Anda apakah UU tersebut sudah efektif?
Meski saya tak paham perundang-undangan tapi UU tersebut perlu direvisi. Kemenhukham sedang mencoba merevisi UU atau mungkin ada penambahan pasal baru.

Napi teroris memiliki tingkat keberbahayaan tinggi daripada napi lainnya, apakah perlu LP khusus untuk mereka?
Tahanan teroris harus dipisah jangan dicampur dengan napi sesama teroris. Bila perlu tahahan teroris ditaruh di lapas yang jauh. Mereka perlu dipisah karena bila berkumpul maka akan semakin ekstrim-ekstriman, apalagi bila pemimpinnya bicara maka yang lain tak berani menolak. Ketika bicara empat mata mereka jauh lebih lunak, bisa bicara kehidupan sehari-hari, kesantunan dan lainnya. Jadi pendekatannya harus personal agar mereka lebih rileks.

Apakah Indonesia perlu menerapkan kebijakan seperti Malaysia melalui ISA?
Kita di sini perlindungan terhadap HAM tinggi, sementara kalau menerapkan ISA orang bisa ditangkap begitu saja seperti ketika rezim Orde Baru. Di sini bila mau menangkap/menghukum seseorang harus melalui proses pengadilan. Ini salah satu penyebab kesulitan menangkap orang yang dianggap berbahaya. Misalnya Abu Bakar Basyir mesti telah dianggap berbahaya dari dulu tapi karena buktinya belum cukup sehingga baru ditahan belum lama ini. Kita menghargai HAM.

Tindakan preventif perlu melibatkan masyarakat sipil seperti NU dan Muhammadiyah. Bagaimana Anda melihat peran mereka dalam penanganan terorisme?
Mereka sudah banyak terlibat. Keterlibatan mereka di masyarakat sebagai buffering karena teroris tak mungkin bisa masuk ke dalam massa mereka. Sebab mereka punya tradisi yang sudah mengakar lama. Anggota NU dan Muhammadiyah punya ideologi yang turun temurun untuk menangkal aliran radikal. Aliran Sunni di Indonesia yang telah turun temurun harus dijaga supaya bisa menangkal aliran salafi/radikal. Aliran radikal meski kecil tapi bila tak dijaga maka akan berkembang.

Mengapa gerakan radikal/teroris terus bergerak?
Mereka sudah ada sejak dulu. Mereka menghendaki asas negara ini berdasarkan syariat islam. Sampai saat ini mereka masih hidup dan tak pernah mati. Dulu mereka tak muncul ke permukaan karena dikontrol oleh pemerintah tapi saat ini ruang kebebasan terbuka sehingga mereka kerap muncul ke permukaan.

Pendidikan dinilai sebagai salah satu institusi efektif cegah penyebaran virus tersebut. Menurut Anda bagaimana kebijakan pendidikan dalam mencegah terorisme?
Pendidikan dari TK hingga perguruan tinggi harus berperan mencegah radikal agar tak berkembang. Nilai-nilai kebangsaan harus diajarkan sejak dini. Penerapan nilai kebangsaan harus modern jangan seperti jaman dulu yang menerapkan BP7 dan P4. Tak perlu ada kurikulum khusus untuk cegah teroris karena hanya akan menambah beban siswa. Agama diajarkan di sekolah tak banyak pengaruhnya dalam pencegahan kejahatan korupsi dan lainnya. Yang terpenting bagaimana kita mempraktikan ajaran agama yang menjungjung nilai-nilai kedamaian, antikekerasan, dan ramah tamah. Nilai-nilai tersebut harus dimunculkan dalam masyarakat.

Apa closing statement Anda?
Tindakan terorisme itu bukan karena kelainan jiwa, mereka orang normal yang kemudian menjadi radikal. Program pembangunan, pendidikan, dan pemahaman agama tidak mendukung ke pencegahan radikalisme. Pemerintah harus menggunakan hasil-hasil penelitian untuk dijadikan kebijakan/strategi nasional. Ini harus segara dilakukan melalui BNPT.[Akhwani]


Biodata:
Nama Lengkap                        : Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono
Tempat, Tanggal Lahir           : Purwokerto, 2 Februari 1944
Pekerjaan                                : Guru Besar Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Pendidikan                              : S3 Universitas Indonesia

(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)

SumberLazuardi Birru

1 komentar:

  1. Teroris dan teroris, itulah yang selalu d dengarkan oleh anak kita dan mereka menganggap bahwa islam itu adalah teroris, http://transparan.id

    BalasHapus