Terdakwah kasus terorisme, Muhammad
Thorik alias Thorik alias Alex bin Sukara dituntut 8 tahun penjara oleh
Jaksa Penuntut Umum dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Negari
Jakarta Barat, Kamis, (23/5).
“Jaksa Penuntut Umum dengan ini menuntut
pidana terhadap Thorik selama 8 tahun (penjara) karena terbukti
bersalah melakukan tindak pidana terorisme,” kata Jaksa Penuntut Umum
Rini Hartatie.
Tuntutan tersebut jauh lebih ringan
dibandingkan dengan ancaman pidana yang sebelumnya didakwa kepada Thorik
yaitu Pasal 15 jo Pasal 7 atau Pasal 15 jo Pasal 9 peraturan pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 yang telah ditetapkan menjadi UU No 15
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan ancaman
hukuman 15 tahun penjara.
Rini menjelaskan, tuntutan tersebut
ditetapkan berdasarkan faktor-faktor yang meringankan karena terdakwa
bertindak kooperatif. “Terdakwa sopan dalam persidangan, belum pernah
melakukan tindak kejahatan sebelumnya, dia juga berjanji tidak akan
mengulangi kesalahan. Dan terutama, dia menyerahkan diri,” kata Rini.
Dalam sidang pembacaan tuntutan yang
berlangsung sekitar satu jam itu, Hakim Ketua Juferry F Rangka itu
mengatakan akan menunda pembacaan pledoi hingga Kamis pekan depan
(31/5).
Sementara itu, Kuasa Hukum Thorik,
Akhyar, usai sidang menilai tuntutan itu terlalu tinggi untuk kliennya
yang hanya terseret dalam perkara tersebut. “Thorik ketemu orang yang
salah, dia hanya terseret,” kata Akhyar.
Thorik yang merupakan warga Jembatan
Lima, Tambora Jakarta, dicurigai menyimpan bahan peledak di rumahnya
saat melakukan uji coba perakitan bom untuk kepentingan jihad pada
September 2012. Pria yang bekerja sebagai penjual pulsa itu melarikan
diri setelah dicurigai warga. Namun, selang beberapa hari kemudian dia
menyerahkan diri ke Pos Polisi Jembatan Lima, Jakarta Barat.
Thorik mengaku terlibat dalam ledakan
yang terjadi di Beji, Depok, Jawa Barat. Dia juga mengaku akan menjadi
eksekutor dalam salah satu aksi bom bunuh diri yang direncanakan
dilakukan di Markas Korps Brimob Polda Metro, Kwitang, Jakarta Pusat;
Pos Polisi di Salemba, Jakarta Pusat; dan komunitas Masyarakat Buddha
terkait penindasan kaum Muslim Rohingya di Myanmar pada 10 September
2012.[az]
Sumber: Lazuardi Birru