Melanjutkan Artikel Sebelumnya "MENGINGAT MATI UNTUK HIDUP LEBIH BERARTI".
Namun, jika sampai saat ini kita masih merasa takut menghadapi kematian, maka pasti ada yang salah dalam sikap dan perbuatan kita selama di dunia ini.
Memang sudah watak manusia bila ia bersalah tidak berani berjumpa atau bertemu orang yang di sakitinya. Demikian pula jika ia merasa salah kepada Allah, maka ia takut intuk menghadapinya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Araf ayat 172.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”
Maksud ayat di atas adalah bahwa dahulu kita masih berada dalam rahim Ibu, menjelang dilahirkan ke dunia ini kita telah berjanji tidak ada sesuatu yang patut dijadikan sebagai tempat pengabdian secara total sebagai makhluk kecuali Allah Swt.
Maka marilah kita menengok ke belakang sejarah kehidupan kita masing-masing untuk mencari titik salah dalam bersikap selama ini, sehungga kita merasa takut pada Allah dan cepat-cepat bertaubat.
Padahal bagi manusia yang berjalan di dunia ini sesuai dengan janjinya tatkala ia hendak dilahirkan ke dunia ini, maka apabila telah sampai waktunya menghadap Allah, hamba itu akan dipanggil dengan panggilan kasih sayang dan penuh kerelaan sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Fajr : 27-30.
“Hai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya, Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.”
Jumat, 12 Maret 2010
Selasa, 09 Maret 2010
MENGINGAT MATI UNTUK HIDUP LEBIH BERARTI Bag. 1
Mendengar kata-kata “maut” atau mati kebanyakan manusia menjadi berdiri bulu kuduknya. Karena dalam kata-kata tersebut terkandung gambaran yang sangat mengerikan. Padahal jika saja kita mau merenungkan sejenak, maka kita semua dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa di dunia ini tidak ada yang pasti dan semuanya serba meragukan, terkecuali mati.
Sama seperti kata-kata Albert Einstein “Tidak ada yang pasti di dunia ini. Dan satu-satunya hal yang pasti adalah ketidakpastian itu sendiri.” Maka itu terciptalah teori relativitas yang terkenal itu. Dalam hal ini Allah sudah mengingatkan kita bahwasanya semua yang berjiwa pasti akan mati. Hal ini dijelaskan Allah pada Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 185.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
Kepastian datangnya “maut” itu sendiri bagi makhluk yang berjiwa itu seperti terbitnya matahari di ufuk timur pada waktu pagi hari. Atas dasar kenyataan itulah kita harus mencoba bagaimana seharusnya sikap kita dalam menghadapi datangnya “kepastian tersebut.”
Rasulullah juga menjelaskan bahwa kehidupan dunia ini adalah sebagai sawah/ladangnya kehidupan di akhirat kelak. Oleh karena itu tidak mungkin kita mendapatkan kebahagiaan di kehidupan yang akan datang bila kita tidak perjuangkan kehidupan yang sekarang. Di dunia inilah kita menanam dan di akhiratlah kita menuai hasilnya.
Banyak yang bertanya, “Mengapa harus menunggu di akhirat jika di dunia kita sudah menuai hasil yang cukup?.” Memang benar di dunia ini kita telah merasakan hasil apa yang kita tanam tetapi semuanya itu hanya sebagian kecil dari apa yang harus kita terima.
Karena realita telah berbicara, misalnya banyak kasih sayang seorang Ibu belum terbalas, sebab anak yang ia lahirkan menemui ajalnya sebelum sang anak dapat melihat sinar matahari. Dan kebalikannya, tatkala seorang anak tidak bisa membalas semua kebaikan Ibu, bahkan tidak sempat merasakan kasih sayangnya karena sang Ibu telah menghadap Allah.
Berapa banyak orang yang tidak bersalah harus tersiksa dalam penjara, namun berapa banyak pula manusia yang berdosa berkeliaran hidup bebas di luar sana.
Maka itu betapa sia-sianya hidup ini jika tidak ada kehidupan ”pembalasan”. Dalam kehidupan “pembalasan” itulah kasih sayang yang terputus akan tersambung, perasaan sakit akan terobati. Oleh karena itu jika kita perhatikan hubungan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat sebagaimana telah dijelaskan tadi, maka tidak lain sikap kita yaitu dengan memperbanyak amal di dunia.
Sama seperti kata-kata Albert Einstein “Tidak ada yang pasti di dunia ini. Dan satu-satunya hal yang pasti adalah ketidakpastian itu sendiri.” Maka itu terciptalah teori relativitas yang terkenal itu. Dalam hal ini Allah sudah mengingatkan kita bahwasanya semua yang berjiwa pasti akan mati. Hal ini dijelaskan Allah pada Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 185.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
Kepastian datangnya “maut” itu sendiri bagi makhluk yang berjiwa itu seperti terbitnya matahari di ufuk timur pada waktu pagi hari. Atas dasar kenyataan itulah kita harus mencoba bagaimana seharusnya sikap kita dalam menghadapi datangnya “kepastian tersebut.”
Rasulullah juga menjelaskan bahwa kehidupan dunia ini adalah sebagai sawah/ladangnya kehidupan di akhirat kelak. Oleh karena itu tidak mungkin kita mendapatkan kebahagiaan di kehidupan yang akan datang bila kita tidak perjuangkan kehidupan yang sekarang. Di dunia inilah kita menanam dan di akhiratlah kita menuai hasilnya.
Banyak yang bertanya, “Mengapa harus menunggu di akhirat jika di dunia kita sudah menuai hasil yang cukup?.” Memang benar di dunia ini kita telah merasakan hasil apa yang kita tanam tetapi semuanya itu hanya sebagian kecil dari apa yang harus kita terima.
Karena realita telah berbicara, misalnya banyak kasih sayang seorang Ibu belum terbalas, sebab anak yang ia lahirkan menemui ajalnya sebelum sang anak dapat melihat sinar matahari. Dan kebalikannya, tatkala seorang anak tidak bisa membalas semua kebaikan Ibu, bahkan tidak sempat merasakan kasih sayangnya karena sang Ibu telah menghadap Allah.
Berapa banyak orang yang tidak bersalah harus tersiksa dalam penjara, namun berapa banyak pula manusia yang berdosa berkeliaran hidup bebas di luar sana.
Maka itu betapa sia-sianya hidup ini jika tidak ada kehidupan ”pembalasan”. Dalam kehidupan “pembalasan” itulah kasih sayang yang terputus akan tersambung, perasaan sakit akan terobati. Oleh karena itu jika kita perhatikan hubungan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat sebagaimana telah dijelaskan tadi, maka tidak lain sikap kita yaitu dengan memperbanyak amal di dunia.
Langganan:
Postingan (Atom)