Dalam beberapa kasus aksi terorisme di
Indonesia, hak-hak korban yang meninggal, cedera (survivor), atau pun
keluarga yang ditinggalkan kerapkali terabaikan. Sudirman misalnya,
korban Bom Kuningan 2004 mengaku tidak pernah memeroleh bantuan dari
pemerintah Indonesia, baik dalam bentuk santunan untuk pengobatan maupun
lainnya.
Hal senada juga disampaikan korban Bom
Kuningan lain, Iwan Setiawan. Beruntung, kedua orang yang hingga kini
harus terus menjalani pengobatan atas cedera yang mendera mereka akibat
ledakan itu mendapatkan bantuan dari Kedubes Australia.
Sedangkan Hayati Eka Laksmi, mendiang
suaminya Imawan Sardjono, korban Bom Bali I tahun 2002 mengaku
mendapatkan santunan dari pemerintah Indonesia, tetapi hanya di awal
pascaperistiwa. Kedua putranya yang menjadi yatim akibat aksi keji itu
justru mendapatkan beasiswa pendidikan hingga perguruan tinggi dari LSM
Yayasan Kemanusiaan Ibu Pertiwi (YKIP).
Kenyataan lebih pahit dialami Chusnul
Chotimah, korban Bom Bali I yang mengalami cacat permanen akibat luka
bakar di sekujur tubuhnya. Lantaran permohonan bantuan kesehatan agar
dapat berobat rutin ke rumah sakit secara gratis tidak kunjung direspon
oleh pemerintah daerah Denpasar, pada tahun 2008, ia bahkan mengirim
surat ke Presiden Republik Indonesia (detik.com, 06/11/2008).
Menurut Fachri Bey, S.H., M.M., Ph.D,
ahli victimologi (korban kejahatan) dan pengajar Ilmu Hukum Pidana
Universitas Indonesia, sebenarnya hak korban terorisme sudah diatur
dalam UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme sebagai
pengganti Perpu Nomor 1 Tahun 2002, Bab VI yang mengatur Kompensasi,
Restitusi, dan Rehabilitasi. Namun implementasi di lapangan, hak korban
untuk memeroleh kompensasi atau restitusi dari pemerintah tidak semudah
seperti yang termaktub dalam UU tersebut.
Lantas bagaimana memastikan agar hak
korban terorisme bisa terjamin, baik itu dalam bentuk jaminan biaya
pengobatan ataupun santunan lain? Berikut perbincangan Lazuardi Birru
dengan peraih gelar Doktor dari Universiti Kebangsaan Malaya (UKM)
Malaysia itu.
Kita awali dari definisi, sebenarnya siapakah yang bisa dikategorikan sebagai korban?
Ada beberapa pengertian mengenai korban.
Dalam Undang-undang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) misalnya, yang
disebut korban adalah istri atau orang-orang yang di dalam rumah
termasuk pembantu.
Jika dibandingkan dengan berbagai
perundang-undangan di luar negeri, yang disebut dengan korban itu
termasuk keluarganya. Jadi kalau ada kompensasi atau restitusi untuk
korban, namun ia sudah meninggal maka ahli warisnya boleh menerima itu.
Dalam konteks terorisme, ketika misalnya
ada anak-anak yang dipaksa dengan ancaman untuk melakukan tindakan
terorisme, mereka layak dikategorikan sebagai korban. Begitu pula dengan
orang dewasa yang “tersandera” melakukan terorisme, namun itu
tergantung dengan penyidikan pihak aparat.
Di Indonesia, banyak kasus di
mana korban terorisme membiayai sendiri pengobatannya. Apakah tidak ada
sistem yang menjamin biaya pengobatan mereka?
Di Indonesia, hak korban terorisme selain
diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2003, juga bisa berpatokan pada UU Nomor
26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), karena
terorisme merupakan pelanggaran HAM. Dalam UU itu disebutkan pula
definisi korban dan hak-haknya yang perlu diberikan dalam rangka
merehabilitasi kembali keadaannya.
Bersama tim di Kementerian Hukum dan HAM,
saya pernah melakukan perincian dari biaya-biaya kompensasi dan
restitusi kepada korban terorisme. Tetapi hambatannya saat itu, anggaran
untuk kompensasi tersebut belum diajukan ke Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN).
Waktu itu kami lantas mengajukan dalam
bentuk PP (Peraturan Pemerintah). Namun itu tidak jadi diberlakukan
karena UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR) dicabut, sehingga jumlah perhitungan restitusi dan kompensasi yang
sudah kami tetapkan, dengan Kementerian Keuangan sebagai lembaga yang
bertanggungjawab membayarnya, juga ikut dibatalkan.
Apakah ada benchmarking dari negara lain mengenai penanganan korban itu?
Kalau kita bandingkan dengan
negara-negara lain seperti Amerika, Filipina, Hongkong, dan Jepang,
ditetapkan bahwa untuk pengobatan medis korban itu ditanggung oleh
negara. Biasanya ini disebut dengan post trauma stress disorder (PTSD), akibat dari tindak terorisme atau pidana lainnya.
Bahkan di banyak negara ada kebijakan
jika korban sampai cacat dan kemudian tidak bisa bekerja lagi, maka
harus diberikan kompensasi oleh negara atau pelaku. Jadi tidak hanya
sesaat setelah insiden terjadi tetapi sepanjang hidupnya.
Kemudian ada juga negara yang memberikan support to dependent of these victims
yaitu orang-orang yang hidupnya tergantung pada si korban seperti
anaknya, istrinya, atau ibu/bapaknya. Begitu ada orang menjadi korban
terorisme maka dukungan/dorongan akan diberikan kepada mereka. Sumbernya
bisa dari anggaran negara, asuransi, atau pihak ketiga yang dapat
memberikan restitusi.
Bahkan ada juga negara yang memberikan
biaya penguburan. Kemudian jika korban harus berobat ke luar negeri atau
di luar dari tempat kedudukannya, maka biaya perjalanannya juga harus
dibayarkan oleh negara atau oleh pelaku. Bahkan ada pula negara yang
memberikan kompensasi kepada orang asing yang menjadi korban tindak
pidana di negerinya. Mereka juga dapat mengajukan klaim kompensasi dan
restitusi.
Kompensasi dan restitusi untuk korban itu
sudah dianggarkan dalam anggaran nasional. Itu seperti asuransi
kecelakaan di mana setiap warga negara kita sudah diasuransikan untuk
mendapatkan kompensasi dan restitusi.
Dalam konteks Indonesia, apakah hak-hak korban yang Anda sebutkan itu sudah diberlakukan?
Untuk Indonesia sudah ada UU Saksi dan
Korban Nomor 13 Tahun 2006. Prinsip dasarnya, pertama, memberikan
penghargaan atas hakikat dan martabat kemanusiaannya. Kedua, memberikan
rasa aman kepada korban. Ketiga, memberikan keadilan kepada korban agar
tidak merasa terdiskriminasi. Keempat, pembayaran ganti ruginya
merupakan suatu kepastian hukum.
Di Indonesia, hak-hak korban yang sudah
ditetapkan adalah pemberian perlindungan kepada korban, keamanan
pribadinya, keluarganya maupun harta bendanya. Ini diatur pada pasal 5
UU Nomor 13 Tahun 2006.
Hak korban pula untuk ikut dalam proses
peradilan si pelaku, berhak memberikan keterangan tanpa tekanan dari
pihak mana pun, mendapatkan penerjemah jika ia tidak mengerti tentang
hal-hal yang ditanyakan, didampingi oleh penasehat hukum, memeroleh
informasi perkembangan kasus tersebut.
Korban juga berhak mendapatkan identitas
baru. Ini berlaku bagi korban pemerkosaan atau karena ia memberikan
kesaksian yang mengakibatkan hukuman pelaku menjadi berat sehingga
rentan diincar pelaku. Dalam hal ini korban juga bisa diberikan alamat
yang baru jika ia ingin pindah.
Hak korban lainnya adalah berhak
mendapatkan penggantian biaya transportasi pengobatan, bantuan biaya
hidup selama proses perlindungan, dan bantuan rehabilitasi
psikososialnya.
Bagaimana memastikan hak-hak korban?
Semua penuntutan hak korban itu harus
jelas prosedurnya. Ke mana mereka harus melapor. Lalu berapa lama
laporan itu bisa disimpan oleh polisi untuk diproses sampai pembayaran
dari Kementerian Keuangan.
Sekarang Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) sudah ditunjuk sebagai instansi yang menerima laporan
tadi. Mereka mestinya berhak menghitung berapa hak korban yang harus
dibayarkan dan lantas mengajukannya ke Kemenkeu. Tetapi tampaknya itu
belum dilakukan. Hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi itu harus
diproses dengan baik artinya tidak dalam waktu yang terlalu lama karena
korban sudah cukup menderita akibat tindak pidana yang dilakukan orang
lain.
Apa saran Anda untuk penanganan korban terorisme di Indonesia?
Sekali lagi yang perlu ditekankan adalah
prosedur pengurusan hak korban harus jelas sehingga korban tidak susah
untuk mendapatkan segala hak bantuannya. Jika sekarang yang ditunjuk
LPSK, maka mestinya LPSK memiliki cabang di setiap provinsi.
Kemudian apakah bantuan kepada korban itu
dianggarkan oleh LPSK? Apakah yang membayarkan LPSK atau Kemenkeu? Atau
jika di daerah maka pemdanya? Itu semua perlu ditegaskan sehingga
korban benar-benar terlindungi. Korban terorisme itu orang-orang tidak
terduga yang sebenarnya bukan sasaran teroris. Pasalnya, aksi-aksi
serangan bom seperti yang terjadi di Indonesia dilakukan secara acak.
Perlu saya tambahkan, UU terorisme itu
sendiri sudah menyebutkan bahwa terorisme adalah tindak pidana yang
mempunyai jaringan luas yang mengancam perdamaian dan ketenangan suatu
negara bahkan terkadang lintas negara, sehingga yang menjadi korban bisa
saja warga negara asli ataupun warga negara asing. Sehingga korban yang
jatuh bisa saja orang asing. Karena itu kita perlu membuat aturan
ini.[syafiq]
Biodata:
Nama Lengkap : Fachry Bey S.H., M.M, Ph.D.
Pekerjaan : Ahli Victimologi dan Pengajar Ilmu Hukum Pidana Universitas Indonesia
Pendidikan : S3 Antropologi dan Sosiologi Universiti Kebangsaan Malaya, Malaysia
Email : fachribey@yahoo.co.uk
(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)
Sumber: Lazuardi Birru