Garis perjuangan untuk menerapkan
syari’at Islam masih cukup populer di beberapa kelompok muslim di
Indonesia. Sebagaimana diketahui persoalan ini sejatinya telah dibahas
oleh para founding fathers kita. Hasilnya demi persatuan dan kesatuan bangsa Pancasila keluar sebagai juru selamat yang disepakati bersama.
Namun memang ada beberapa pihak yang
dengan sengaja memelintir peristiwa sejarah tersebut seolah-olah umat
Islam terpaksa menerima Pancasila. Terutama terkait dengan penghilangan 7
kata pada sila pertama. Artinya ada di antara umat Islam Indonesia
merasa dirampok dengan penghapusan 7 kata tersebut.
Pakar sejarah Universitas Indonesia,
Anhar Gonggong, tidak sepakat jika dikatakan bahwa umat Islam dengan
terpaksa menerima penghapusan 7 kata pada sila pertama. Keputusan yang
telah diambil dari umat Islam saat itu adalah keputusan sadar dan
bijaksana.
“Harus dipahami, ada suatu proses yang
sangat kritis saat itu,di mana prose situ harus menemukan
penyelesaiannya. Ingat, kesepakatan itu diambil setelah melalui proses
dialogis dan akhirnya diterima semua pihak. Di mana sisi
“perampokannya”? Jangan langsung mengatakan Islam menolak 18 Agustus
itu (perumusan Pancasila) atau mengatakan “Umat Islam terpaksa
menerima”. Jangan lupa saat itu kondisinya sangat kritis. Kita masih
berada di bawah pengawasan Jepang dan baru sehari menjadi sebuah negara
merdeka, lalu harus berusaha menegakan sendi-sendi sebuah negara”
Indonesia memang mayoritas penduduknya
beragama Islam. Namun menurut Anhar bukan berarti mayoritas Islam
politik yang bernafsu menformalkan syari’at Islam. terbukti
pascareformasi parpol Islam selalu kalah, bahkan dengan partai politik
baru yang kecil. Artinya memang syari’at Islam yang dijadikan dagangan
parpol Islam tidak laku. [Mh]
Sumber: Lazuardi Birru