Selasa, 27 November 2012

Pancasila Teruji Mengikat Keberagaman Bangsa



Perdebatan, pertentangan, ketegangan dan kontradiksi merupakan dialektika sejarah yang selalu muncul dalam kehidupan nyata. Hal tersebut diungkapkan Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Dr Abdul Munir Mulkan.
Ia mencontohkan perdebatan dan kontradiksi dalam menyikapi dasar negara Indonesia. Menurut dia, Pancasila sebagai ideologi negara melewati fase panjang dan telah teruji mampu menjadi solusi dari keberagaman dan kemajemukan bangsa Indonesia.

“Pancasila dan UUD 1945 yang kini dijadikan dasar konstitusi negara tidaklah muncul secara tiba-tiba. Ada proses sejarah yang melatarbelakanginya berupa tarik-ulur kekuatan-kekuatan yang ada pada waktu itu,” kata Mulkan pada Lazuardi Birru.

Meskipun kata mufakat sudah sedemikian bulat, lanjut Mulkan, Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara masih sering mendapat ancaman dari kelompok yang tidak puas terhadap dasar negara tersebut. Dalam sejarah negeri ini, tidak sedikit kelompok yang ingin merubah dasar negara menjadi Negara Islam, seperti kelompok Darul Islam (DI). Tak heran jika saat ini masih ada kelompok yang ingin merongrong dasar negara yang sudah menyejarah itu.

Fenomena seperti fundamentalisme, radikalisme dan terorisme adalah representasi kontemporer dari ketidakpuasan terhadap dasar negara tersebut. “Begitu banyak ekspresi ketidakpuasan terhadap negara yang dilakukan oleh kelompok Islam tertentu. Sebut saja di antaranya aksi-aksi yang dikomandoi Kartosuwiryo, Kahar Muzakkar, Daud Beureueh hingga Imam Samudra dan Abu Bakar Ba’asyir,” demikian Mulkan menjelaskan.
Menurut Pengamat Sosial Keagamaan ini, fenomena semacam ini belum pernah dikoreksi secara komprehensif oleh umat Islam. Bahkan dia menyimpulkan bahwa pemahaman-pemahaman keislaman yang radikal masih memikat kalangan muslim di Tanah Air.

Gerakan radikalisme di Indonesia masih marak. Hal ini karena reinterpretasi teks-teks suci terkunci rapat dan cenderung tekstual. Mulkhan menyatakan, di dalam mindset kelompok tertentu, penafsiran baru bukan hanya tidak diperlukan tetapi tidak diperbolehkan.[Az]

Sumber: Lazuardibirru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar