Rabu, 21 November 2012

Para Dai Diimbau Meniru Dakwah Walisongo


Dakwah yang dilakukan oleh Walisongo dinilai efektif untuk mengampanyekan Islam rahmatan lil alamin. Karena itu, sudah selayaknya para dai meniru cara dakwah yang pernah dilakukan oleh Walisongo tersebut.
Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Sya’roni Ahmad merasa prihatin dengan munculnya berbagai kelompok Islam garis keras dan radikal. Karena itu, Kiai asal Kudus itu meminta agar para ulama, dai dan umaro untuk selalu waspada namun tetap arif dan bijaksana dalam menyampaikan dakwahnya.
“Akhir-akhir ini ada beberapa orang atau kelompok yang mengatasnamakan mubaligh dalam menyampaikan dakwahnya selalu memaksakan pendapatnya agar dianut dan diterima. Dan ini sangat memprihatinkan bagi umat Islam itu sendiri,” kata Kiai Sya’roni, seperti dilansir NU Online, 20/11/2012.
Kiai Sya’roni mengimbau agar para dai meniru cara dakwah Walisongo. Ia menyontohkan, Sunan Kalijaga yang selalu menggunakan cara budaya adat yang mudah dan bisa diterima oleh umat itu secara halus dan tidak adanya unsur kekerasan sesuai dengan cara yang dilakukan para Nabi.
“Sunan kalijaga itu punya gong sekaten (syahadatain), beliau berdakwah atau mulai pagelaran wayang kalau gong sudah berbunyi, la gong dipukul kalau semua yang hadir sudah bersahadad,” imbuhnya.
Hal senada juga disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat, KH Abdul Muhaimin. Menurut dia, sudah saatnya umat Islam menggunakan cara-cara yang humanis dalam menyampaikan dakwahnya.
Menurut dia, tugas umat Islam adalah bagaimana bisa menyajikan Islam itu berwajah kultural. Artinya Islam jangan dibenturkan dengan kultur lokal yang ada. Dalam konteks ini, kata dia, sebenarnya puritanisme ini juga bisa menghacurkan kultur lokal, seperti semua dianggap musyrik, semua dianggap bid’ah, dan semua dianggap haram. “Apakah Islam seperti itu?” kata dia pada Lazuardi Birru.
Dalam sejarah, lanjut Kiai Muhaimin, pertama, Islam ini agama yang universal, non teritori, dan semua agama non teritori. Konsekuensi logis dari non teritori ini harus bisa beradaptasi, terakomodasi, berakulturasi dengan budaya lokal di mana Islam itu berkembang. “Kalau Islam itu identik dengan Arab, hidup saja di Arab sana,” jelasnya.
Kedua, sejak zaman Nabi Muhammad masih hidup, beliau tidak pernah menolak kultur, misalnya Aqiqoh. Menurut Kiai Muhaimin, Aqiqah itu sebenarnya kultur jahiliyah. “Talbiyah itu kultur jahiliyah, kalau mereka lewat di tempat-tempat sakral, mereka teriak-teriak memanggil nama nenek moyang mereka. Ketika Nabi Muhammad datang membawa Islam, teriakan-teriakannya itu tidak dilarang, tapi jangan memanggil nenek moyang,” pungkasnya.[Az]

Sumber: lazuardibirru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar