Selasa, 27 November 2012

Iwan Setiwan: Jangan Ada Iwan-Iwan Lagi Berikutnya



Rasanya sulit mempercayai bahwa aksi terorisme dilakukan oleh anak manusia. Daya destruksi yang diakibatkan terlalu perih untuk sekedar dilihat apalagi dirasakan. Di mata pelaku terorisme, nyawa “yang lain” seakan tak berharga sama sekali, mereka pantas dibunuh dan mati. Beruntung kiranya mereka yang masih selamat dari aksi-aksi terorisme. Meskipun memang harus dibayar mahal entah dengan luka jasmani atau rohani, atau bahkan keduanya.
Iwan Setiawan adalah salah satu korban bom teroris yang meledak di Kedubes Australia di Jakarta pada 9 September 2004. Musibah yang menimpanya seketika meluluh-lantahkan rencana hidup yang ia beserta istrinya bangun bersama-sama.

“Manusia berencana, Tuhan yang menentukan. Setelah seminggu itu, saya malah terkena musibah. Jadi semua rencana berantakan. Saya harus mulai dari nol kembali meskipun saya sudah cacat,” ratap Iwan.
Di tengah beban hidup yang menderanya, ia tampak tegar. Berikut penuturan Iwan kepada Lazuardi Birru.

Bisa diceritakan pengalaman Anda ketika mengalami musibah itu?
Waktu itu saya sedang menuju bidan yang ada di daerah Manggarai dengan mengendarai sepeda motor. Saya hendak mengantar istri melahirkan. Tapi di tengah  perjalanan, sekitar pukul 09.35, terkena musibah bom Kedutaan Australia. Saya sempat bilang ke istri “Kok sepi ya”. Saya heran jalanan sepi, biasanya ramai lancar. Pas lewat “boom”. Kami berdua terpental.

Anda berdua saja naik motornya?
Ya berdua. Tadinya anak pertama menangis minta ikut. Namanya anak kecil, waktu itu masih 2 tahun. Tapi akhirnya tidak ikut, bersama neneknya.

Ketika terjadi peristiwa bom tersebut, pernah terbayangkan tidak bahwa itu adalah peristiwa teroris?
Saya sama sekali tidak menduga. Bahkan saya pikir ban motor saya pecah. Saya tidak tahu bahwa itu adalah bom dari perbuatan teroris.  Saya tahu bahwa itu adalah tindakan teroris dari pemerintah.

Sebelum musibah terjadi, apakah Anda ada firasat?
Waktu itu ketika akan melahirkan istri saya ada rasa takut. Ia hamil yang kedua ini berbeda dengan yang pertama. Bawaannya cemas dan was-was. Ia ingin melahirkan di rumah saya, di Jawa. Saya mencoba menenangkan, saya bilang “melahirkan di mana saja juga sama. Yang penting kamu banyak salat dan rajin zikir saja”. Ketika mau berangkatpun rasanya sangat malas.

Bisa diceritakan pasca peristiwa bom tersebut?
Setelah kejadianm saya bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk menjalani kehidupan berikutnya bersama anak dan istri. Walaupun saya cacat mata sebelah kanan, kemudian istri  tulang punggung belakang patah, tapi Alhamdulillah saya dan istri bisa melahirkan dengan lancar. Tapi seiring berjalannya waktu, mungkin lantaran dampak dari bom tersebut, istri sering mengeluh sakit dan akhirnya tahun berikutnya nyawanya diambil Allah SWT. Itu adalah cobaan yang berat bagi saya. Tapi bagaimana pun, saya ikhlas karena itu suatu cobaan dari Allah SWT.

Berapa putra atu putri Anda?
Anak dari almarhumah dua, yang pertama perempuan sudah kelas 4, sedangkan yang kedua Muhammad Rizky kelas 2.

Pertanyaannya mungkin agak pribadi, situasi rumah sekarang bagaimana?
Waktu istri saya meninggal saya bilang ke anak saya yang paling kecil “mamih lagi diobatin sama Allah”. Awal mula dia sering menanyakan “mamih kok diobatin sama Allah nggak sembuh-sembuh?”. Bagi saya pertanyaan-pertanyaan seperti itu jadi miris. Tapi sekarang anak saya alhamdulillah sudah bisa diberi tahu. Cuma waktu kemarin, saya diundang BNPT terkait dengan ditemukannya pelaku terorisme. Waktu itu saya bilang ke anak saya “Ayah mau ketemu sama yang ngebom ayah”. Kebetulan anak saya ikut. Ketika saya bersalaman dengan pelaku, anak saya bertanya “Mana yang ngebom ayah?” dia terus bertanya. Saya bilang “Ini teman ayah, nggak ada yang ngebom ayah”. Kemudian terorisnya menangis dan memeluk saya juga sambil meminta maaf. Jadi suasana seperti lebaran, haru.

Apa kesan yang Anda dapat setelah bertemu para tersangka terorisme?
Kesannya cuma “Apa benar-benar dia pelakunya”. Kalau memang benar, saya memaafkan untuk tindakan yang telah mereka perbuat. Manusia itu memang tempat salah dan dosa. Mungkin pada saat itu, mereka lupa atau ibaratnya pengaruh setan sudah kuat. Jadi saya ikhlaskan saja. Saya anggap ini cobaan dari Allah yang harus saya terima.

Apakah ada ketakutan tersendiri setelah kejadian tersebut?
Kalau ketakutan wajar. Jatuh dari motor saja ada traumanya, apalagi saya terkena bom yang mengakibatkan mata kanan saya cacat dan istri meninggal. Jadi trauma yang mendalam tentu ada, tapi saya bisa menyikapinya. Ini semua karena ada anak-anak yang masih kecil-kecil dan sangat bergantung pada saya.

Seiring dengan perjalanan waktu, ada tidak kekesalan yang Anda rasakan akibat dari peristiwa bom tersebut?
Otomatis ada. Ketika seminggu sebelum kejadian, saya harus diklat di salah satu bank nasional. Kebetulan pelatihannya di daerah Tegal dekat dari tempat tinggal saya, Brebes. Artinya saya bisa pulang kampong dan punya pekerjaan yang tetap dan membina rumah tangga yang bahagia semacam itu. Dalam pikiran saya seperti itu. Tapi manusia berencana, Tuhan yang menentukan. Setelah seminggu, saya malah terkena musibah jadi semua rencana berantakan. Saya harus mulai dari nol kembali meskipun saya sudah cacat. Kalau saya bergantung pada pemerintah rasanya tidak mungkin, karena pemerintah memiliki tugas yang banyak sekali. Saya sempat bingung sendiri. Sementara kondisi normal saja untuk bekerja susah apalagi dalam kondisi cacat.

Anda pernah bertemu dengan teman-teman korban bom?
Alhamdulillah sering karena ada paguyubannya. Kita sering bertemu dan saling menguatkan satu sama lain. Jadi jika ada acara kita saling berbagi informasi dan bertukar pikiran.

Ketika berkumpul dan berbagi dengan teman-teman korban, apa yang paling banyak dikeluhkan?
Kebanyakan berkaitan cacat fisik yang dialami. Jadi mereka yang cacat dibayangi ketakutan untuk menghadapi masa depan. Ada yang kakinya patah, jadi kerjanya bagaimana. Tapi kami satu sama lain saling menguatkan, misalnya dengan bilang “kamu masih mendingan daripada begini, begitu”
.
Apakah pertemuan itu rutin?
Tidak tapi kalau ada momen saja. Misalnya ada peringatan bom JW Marriot, kita diundang. Setiap ada peringatan bom Kedutaan Besar Australia, Askobi sebagai paguyuban kita selalu diundang, jadi di situ kita semua bisa bertemu.

Untuk pelaku bom diajak atau tidak di kegiatan Askobi?
Dahulu pernah diajak. Kita akan dibawa ke penjara Polda tapi tidak jadi. Alasan pihak kepolisian itu demi keamanan karena khawatir ada yang masih dendam
.
Apa masih ada keinginan bertemu dengan tersangka bom terorisme?
Kalau untuk itu, saya sudah memaafkan. Jadi tidak perlu bertemu ya sudah begitu saja. Waktu pertama mungkin masih penasaran, “kok orang bisa kejam seperti itu”, “orangnya seperti apa sih”. Rupanya pelaku sesama manusia ciptaan Allah juga. Ya sudah mungkin pemahaman dan pola pikir mereka yang berbeda pada waktu itu.

Kalau melihat keadaan teman-teman yang kurang fisiknya, ada tidak curhat yang menyinggung pemerintah?
Ada juga yang bilang harusnya tugas pemerintah menjaga stabilitas keamanan lebih diperketat. Kekesalan terhadap pemerintah pasti ada. Bahkan ada yang mengatakan bom-bom seperti ini juga buatan pemerintah. Namun ada juga yang menyadari bahwa tugas pemerintah sudah banyak sekali, jadi kita harus mengandalkan diri sendiri.

Untuk ke depannya apa harapan Anda sendiri?
Harapan saya sendiri banyak sekali. Saya dan anak-anak ingin membesarkan dan menjalani kehidupan yang lebih baik dan kalau diberi rizki saya ingin mempunyai rumah sendiri, jadi tinggal mencari penghidupan tanpa harus membayar uang kontrakan. Intinya berharap hidup lebih baik bersama anak-anak.

Pengalaman atau pelajaran berharga apa yang Anda bisa ambil dari musibah ini?
Mungkin lebih ke pengalaman pahit terlebih dahulu. Saya waktu itu cenderung lebih emosi dalam mengambil tindakan cepat marah. Psikologi saya tidak stabil akibat peristiwa bom tersebut, cepat marah dan putus asa. Hikmahnya saya merasa harus lebih benar-benar berjuang dan kerja keras lagi dibanding sebelumnya. Artinya dalam mencari nafkah harus sungguh-sungguh.

Ada novel yang menceritakan sekulumit kisah Anda. Bagaimana apresiasi Anda dari terbitnya novel tersebut?
Saya merasa pesannya sangat bagus. Saya berpesan bahwa saya sebagai salah satu korban kejahatan terorisme, saya memang hanya sebagian kecil, tetapi dampaknya sangat besar bagi saya dan teman-teman yang lain. Bukannya mengeluh, tapi memang rasa sakit batin terasa begitu dalam. Saya mengimbau kepada umat Islam khususnya, kalau mau berbuat sesuatu yang agak keras atau radikal, menurut saya harus berpikir lebih jernih, berkomunikasi atau bermusyawarah. Menurut saya tujuan tindakan tersebut sangat tidak jelas. Cukup saya yang menjadi korban. Jangan ada Iwan-Iwan lagi berikutnya. Sebab setiap ada gerakan radikal hanya mendatangkan penderitaan terutama bagi korban-korban yang masih hidup, ada yang meninggal, cacat fisik sangat menderita, dan rasanya sangat berat menjalani kehidupan.
******
Siang itu, sekitar pukul 10.30, terdengar ledakan dahsyat di bilangan Kuningan. Sebuah bom mobil meledak di Kedubes Australia. Iwan Setiawan adalah saksi mata peristiwa pemboman tersebut. Akibat ledakan bom ia beserta Istrinya terpental hingga beberapa meter. Beruntung nyawa keduanya masih terselamatkan. Meskipun beberapa waktu setelah itu, Istri Iwan meninggal akibat luka di bagian tulang punggungnya. Sebuah luka warisan aksi terorisme.
Tak ada yang tersisa dari tindak terorisme selain penderitaan. Terlebih bagi para korban. Sebagai orang yang merasakan langsung aksi non-human ini, suara mereka sudah selayaknya didengar terutama oleh pemerintah. Sudah merupakan kewajiban pemerintah melindungi hak hidup warga negaranya. Dari suara getir para korban terorisme sepatutnya pemerintah mampu menformulasikan resep agar ke depannya aksi barbar ini tidak terulang kembali.

Apakah tindakan terorisme bisa dibenarkan dari perspektif agama?
Menurut agama saya, tindakan tersebut sama sekali tidak bisa dibenarkan, begitu juga dengan pemahaman agama lain.  Menurut saya semua agama mengajarkan untuk berbuat baik sesama manusia, sesama umatnya, saling toleransi, dan tenggang rasa. Apalagi ajaran Islam, sebagai agama pembawa rahmat bagi seluruh umat manusia. Kita harus saling menyayangi, saling berbagi dan cinta kasih. Bahkan di dalam ajaran Islam, menyakiti binatang saja sudah berdosa, menyakiti apalagi manusia.

Belakangan ini banyak sekali isu-isu terorisme seperti bom buku, teror di masjid PolrestaCirebon dan kompleks pesantren Umar Bin Khatab di Bima. Kalau kita pahami dari peristiwa-peristiwa tersebut tampaknya ada suatu kejanggalan dari pemahaman keberagamaan kita. Bagaimana Anda melihat hal ini?
Setahu saya itu tergantung cara berfikir/memahami Islam. Pola pikir sangat berpengaruh sehingga seseorang bisa berbuat yang tadinya lurus menjadi miring ke kanan atau ke kiri. Misalnya memaknai ayat Alquran, Tuhan menciptakan manusia untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, tapi jika pemahamannya dipotong-potong atau tidak utuh memahaminya bisa menjadi sosok muslim yang keras atau radikal. Akhirnya cara memaknainya Islam diperbolehkan berbuat jahat kepada orang kafir. Itu berarti ada kesalahan dalam cara berpikir dan memahami Islam.

Bagaimana harapan Anda terhadap cara kehidupan masyarakat yang cenderung radikal?
Saya berharap untuk para ulama-ulama agar sering berceramah di daerah-daerah, misalnya seminggu sekali ada ceramah tentang keislaman yang benar. Sehingga pola pikir yang benar bisa terbentuk. Di sekolah-sekolah juga bisa ditekankan kembali tentang ajaran-ajaran moral yang baik.

Menurut Anda kira-kira kementerian apa yang cocok untuk melakukan upaya deradikalisasi?
Yang terpenting adalah saling berkesinambungan dan komunikasi. Kementerian terkait bekerjasama bahu-membahu dalam memerangi terorisme atau ajaran Islam yang radikal. Lebih baik semuanya memikirkan bagaimana caranya agar di masa mendatang tidak ada lagi aksi teror atau kekerasan apapun di muka bumi Indonesia.

Bagaimana pandangan Anda tentang penanggulangan terorisme oleh pemerintah?
Menurut saya pribadi masih kurang, terutama untuk generasi-generasi muda yang begitu rawan. Misalnya anak-anak SMP dan SMA, mereka itu ibaratnya sedang senang-senangnya mencari jati diri. Fase-fase seperti itu mudah disusupi pemahaman yang keras atau radikal. Harus diakui kalau dibebankan semua ke pemerintah memang repot. Apalagi kesadaran masyarakat Indonesia juga agak kurang, terutama mereka yang berada di kelas bawah. Untuk itu para ulama dan berbagai pihak harus bekerjasama memerangi aksi-aksi Islam yang radikal.

Apakah dipandang perlu pemerintah bekerjasama dengan ormas, civil society seperti NU atau Muhammadiyah?
Perlu. Menurut saya kalau dari ormas bisa dengan cara mendatangkan mubaligh atau ustaz-ustaz yang kondang. Sebab budaya bangsa kita, jika kiyai besar berbicara masyarakat akan mendengarkan. Misalnya saja di kampung saya, kalau ada siraman rohani oleh mubaligh besar, warga berbondong-bondong menghadiri. Melalui acara-acara seperti itu nantinya kiyai bisa memberi arahan ajaran Islam yang selaras dan damai.[Hajid]

Biodata:
Nama Lengkap                        : Iwan Setiawan
Pekerjaan                                : Wiraswasta
(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)

Sumber: Lazuardibirru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar