Selasa, 20 November 2012

Kooptasi Ekonomi Hanya Cara Sementara Dalam Resolusi Konflik

Para pembicara dalam diskusi Buku “Seusai Perang Komunal: Memahami Kekerasan Pasca-konflik di Indonesia Timur dan Upaya Penanganannya” di Hotel Grand Cemara Jakarta, Selasa (20/11/2012) 

Salah satu upaya menciptakan perdamaian di Maluku pascakonflik 1999-2002 adalah dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi elite sosial yang pernah bertikai, baik dari kelompok Islam maupun Kristen. Namun cara itu dinilai tidak awet sebagai sebuah strategi resolusi konflik yang permanen.
Hal itu mengemuka dalam diskusi buku “Seusai Perang Komunal: Memahami Kekerasan Pasca-konflik di Indonesia Timur dan Upaya Penanganannya” di Hotel Grand Cemara Jakarta, Selasa (20/11/2012). Buku tersebut ditulis oleh Patrick Barron, Muhammad Najib Azka, dan Tri Susdinarjanti sebagai laporan hasil riset mereka di Maluku dan Maluku Utara. Ketiganya merupakan peneliti di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Dalam buku tersebut, tercatat beberapa contoh elit yang sebelumnya sangat radikal dan bahkan menolak Perjanjian Malino, dalam perkembangannya menjadi sangat lunak ketika mendapatkan pos-pos pekerjaan yang strategis atau mendapatkan “jatah” proyek perdamaian pasca-konflik. Salah satu contoh kasusnya adalah Ustadz Muhammad Attamimi, pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ambon.
“Attamimi adalah Komandan Laskar Amar Ma’ruf Nahi Munkar, milisi lokal yang bersekutu dengan Laskar Jihad saat konflik komunal pecah. Awalnya ia bergabung dalam kelompok Forum Musyawarah Umat Muslim Maluku yang menolak perjanjian Malino. Namun seiring waktu sikapnya melunak karena ia diangkat sebagai Ketua STAIN Ambon dan bahkan kini menjadi Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Maluku,” ungkap Najib Azka.
Selain Attamimi, buku itu juga menyebut nama Ongen Pattimura, pemimpin kelompok miliisi Kristen saat konflik.
“Para panglima konflik, setelah konflik selesai mereka tidak lagi punya peran sehingga sempat menjadi sumber masalah. Setelah konflik reda, jadi soal orang-orang ini, antara lain Ongen Pattimura, dipikirkan solusinya: memberi kerja buat mereka. Ada juga yang akhirnya saya rekrut menjadi Satpol Pamong Praja. Ada juga yang diberi kerja untuk mengatur parkir,” ujar sumber dalam buku tersebut.
Adapun panglima milisi Kristen, yang pernah mengorganisasi kekerasan yang lantas melunak setelah menerima dana dan proyek darurat sipil adalah Femmy Souisa dan Emang Nikijuluw, demikian tertulis dalam buku tersebut.
Namun cara-cara tersebut, dalam hemat para penulis buku, dinilai rentan lantaran ketika anggaran proyek perdamaian mengering atau ketika aturan main mengenai alokasi sumber daya mulai diketatkan, kelompok-kelompok yang tadinya “jinak” dapat menghidupkan kembali cara kekerasan dalam rangka memastikan aliran sumber daya tidak diputus.
“Harus dicarikan cara resolusi konflik yang tidak bersifat ad hoc seperti itu,” ujar Sosiolog Universitas Indonesia, Thamrin Amal Tomagola, yang hadir sebagai pembahas dalam diskusi tersebut. (fiq)

Sumber: LB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar