Senin, 26 November 2012

Nasionalisme Indonesia adalah Gerakan Kebangsaan


Pemimpin nasional ke depan diharapkan tidak perlu dipertentangkan dari segi usia, tapi yang perlu didikotomikan adalah antirakyat atau prorakyat. Wacana tersebut mengemuka dalam acara Sarasehan Kebangsaan diselenggarakan Lembaga Studi Kebangsaan 1998 (LASTIKA ’98) di Jakarta.
“Bisa saja, ada orang muda yang tampan, cantik, cerdas dan memesona tapi tidak prorakyat,” kata tokoh muda pergerakan M Jumhur Hidayat dalam orasinya pada acara tersebut.

Dalam rilis panitia sarasehan disebutkan hadir sejumlah tokoh, seperti intelektual Yudi Latif, Ketua Umum DHN’45 Tyasno Sudarto serta sejumlah panelis seperti aktivis ’98 Satyo Purwanto Komeng, aktivis Masyarakat Republik Niko Adrian dan Presidium GMNI Twedy Ginting.
“Sebaliknya, jika ada orang yang tidak muda lagi tapi dia prorakyat, prokemandirian, prokebudayaan nasional, dukunglah dia untuk tampil sebagai pemimpin negara,” imbuhnya.
Jumhur berharap pemuda dapat membuat keputusan-keputusan politik yang berorientasi sosial, membangun kemandirian bangsa. “Nasionalisme yang harus dibangun bukanlah nasionalisme kaum borjuasi. Tapi nasionalisme kerakyatan untuk mencapai kesejahteraan rakyat,” demikian ia menjelaskan.

Sementara itu, Direktur Eksekutif LASTIKA ’98 Nuryaman Berry Hariyanto mengatakan di tengah semakin memudarnya identitas nasional, kini sudah saatnya siapapun yang tergerak untuk membangkitkan kembali nasionalisme Indonesia ke garda terdepan demi memperjuangkan hak-hak rakyat dan kedaulatan bangsa yang semakin menipis.

Karena jika tidak, sebagai sebuah bangsa yang memiliki entitas warisan pusat peradaban dunia masa lampau, hanya akan menjadi bulan-bulanan ’Globalisasi tanpa Arah’, katanya.
“Nasionalisme Indonesia adalah gerakan kebangsaan yang bertujuan menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, sesuai amanat konstitusi negara ini,” ujar Berry yang juga aktivis ’98 ini.

Sementara itu, intelektual dan pemikir kebangsaan Yudi Latif menegaskan saat ini nasionalisme harus dibangun dengan intelektualitas yang kuat agar tidak dibodohi negara lain. Bukan dengan semangat peperangan seperti zaman dahulu.
“Sekarang kita tahu banyak aset-aset bangsa yang dikuasai oleh negara lain. Untuk itu, harus direbut oleh generasi muda bangsa ini dengan semangat meningkatkan intelektualitas untuk membangun nasionalisme,” ujar Direktur Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) itu.[Az

Sumber: Lazuardibirru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar