Kamis, 29 November 2012

Musik dan Meditasi Diajurkan Masuk Pesantren




Pakar sains dan pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Taufik Pasiak, menyarankan komunitas pesantren menerapkan pengajaran kurikulum yang memasukkan aktivitas bermusik, meditasi kontemplatif serta interaksi sosial kepada anak didiknya. Menurutnya tiga elemen aktivitas itu bisa mencegah tumbuhnya potensi otak yang gampang menerima gagasan-gagasan agama radikal.

 Pasiak menjelaskan tiga elemen tadi merupakan pembentuk sensitivitas otak pada rasa empati yang membantu menyeimbangkan struktur otak agar tak condong pada ide-ide agama yang radikal.

 ”Dari kacamata neurosains, pilihan seorang menerima gagasan radikal atau toleran dipengaruhi oleh struktur otak yang mudah terbentuk karena beberapa jenis persepsi pada tuhan,” katanya ketika menjadi salah satu pembicara Konferensi Internasional ‘Perspektif Global: Islam, Spiritualisme dan Radikalisme’ di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kamis, (22/11/2012).

 Pengarang buku ‘Tuhan dalam Otak Manusia’ tersebut menerangkan di banyak riset neurosains, penganut radikalisme agama otaknya didominasi oleh salah satu bagian sistem penalaran bernama limbic yang terlalu aktif sehingga menyebabkannya susah menerima pendapat berbeda dari luar.

 Menurut dia pembentukan struktur otak seperti itu dibantu oleh pengaruh kuat dari persepsi mengenai sifat-sifat tuhan yang otoriter. “Penguatan aktivitas limbic dipupuk oleh persepsi bahwa tuhan itu pemarah dan suka menghukum,” kata Pasiak.

 Sebaliknya, Pasiak melanjutkan, jika limbic melemah maka salah satu sistem pada otak bernama prefrontal akan mendominasi dan menyebabkan gaya pemikiran seseorang terlalu berlebihan mengesampingkan gagasan keagamaan. Kata dia, persepsi mengenai adanya tuhan yang jauh dari kehidupan manusia atau berada di luar jangkauan manusia mendukung penguatan sistem ini. “Karena tuhan berjarak maka ia bisa ditinggalkan kapan saja,” ujar dia.

 Pasiak menyimpulkan struktur otak yang normal perlu menyeimbangkan aktivitas kedua sistem berfikir tadi sehingga memunculkan pemikiran relijius namun toleran. Limbic danprefrontal akan terjaga keseimbangannya jika otak terlatih mengenal cara berfikir empati secara baik. “Kesimbangan seperti ini ternyata mudah muncul pada orang dengan persepsi mengenai tuhan yang penuh cinta kasih dan pemaaf,” kata dia.

 Pasiak mengatakan kemampuan otak mengenal empati bisa terlatih lewat ketiga aktivitas yang dia anjurkan masuk di kurikulum pesantren tadi, yakni bermain musik, meditasi untuk kontemplasi dan melakukan interaksi sosial yang intens dan terbuka. Dia mencontohkan tokoh sufi seperti Jalaludin Rumi menyadari hal ini sejak lama sehingga memanfaatkan tarian dan musik untuk melatih sensitifitas spiritualisme yang menjunjung ide cinta universal.

 Sementara kontemplasi, kata dia melatih orang mendengar dan merasakan hal-hal kecil dan asing dari kesehariannya sehingga membuat otak lebih mudah menerima perbedaan. “Interaksi sosial tentu wajb sebab melatih kecerdasan komunikasi, keterbukaan tentu menguatkan empati,” kata dia.

 Pembicara lain di konferensi itu, Mark Woodward memperkuat pendapat Pasiak dengan mencontohkan ada kecenderungan berbeda dari sejumlah komunitas muslim yang sama-sama menokohkan habib atau keturunan nabi dan sekaligus juga mempraktikkan ajaran khas sufistik. Indonesianis dan pakar konflik agama dari Arizona State University itu menyebut faktor utama pembedanya ialah musik. “Pengikut para habib di FPI (Front Pembela Islam) dengan jemaat shalawat Habib Syech punya ciri ajaran keagamaan sama tapi sikap berbeda,” ujar dia.

 Mark berpendapat FPI merupakan organisasi keagamaan yang ajarannya berakar pada tradisi Islam Tradisional Indonesia dan berorientasi sufistik pula. Begitu pula jemaat shalawat Habib Syech yang terkenal fanatik dan menjadi pengagum tokoh ulama keturana nabi ini. “Sama-sama radikal menurut saya, tapi berbeda karena yang satu radikalnya negatif sedangkan karakter radikal pada komunitas pengikut Habib Syech positif,” kata Mark yang sempat memutar salah satu klip penampilan musik sholawatan Habib Syech di depan peserta konferensi.

 Konferensi Internasional mengenai ‘Perspektif Global: Islam, Spiritualisme dan Radikalisme’ merupakan forum kajian mengenai fenomena spiritualisme dan radikalisme dalam Islam yang diselenggarakan Kantor Urusan Internasional UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Acara itu berlangsung sejak 22 hingga 24 November 2012 mendatang.

 Konferensi yang dihadiri sejumlah pakar keagamaan dari berbagai kampus dalam negeri dan luar negeri itu menggelar sebelas tema diskusi. Kesebalas tema itu ialah Neurosains dan Spiritualitas, Islam dan Spiritualisme, Radikalisme dan Perspektif Global, Agama dan Isu Gender, Agama dan Multikultralisme, Peran Kampus Islam dalam Pembentukan Islam khas Indonesia, Agama dan Minoritas, Agama dan Sains, Agama dan Isu Kontemporer, Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam dan Gerakan Filantropi Muslim.

Sumber: Lazuardi Birru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar