Rabu, 28 November 2012

Hendardi: Terorisme Adalah Puncak Intoleransi



Ada beberapa kasus yang membuktikan tesis bahwa terorisme adalah puncak intoleransi; bom bunuh diri Masjid Adzikra komplek Mapolresta Cirebon dengan pelaku M. Syarif; bom di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton Solo dengan pelaku Ahmad Yosepha Hayat; penangkapan kelompok teroris Klaten (semuanya adalah siswa dan alumni SMKN 2 Klaten kecuali Roki Aprisdianto, pemimpin kelompok ini); dan penembakan Sigit Qardhawi. Semuanya terjadi pada tahun 2011.

Baik Syarif, Yosepha Hayat, kelompok Klaten, maupun Sigit Qardhawi awalnya adalah aktivis organisasi dan majelis pengajian radikal yang kerap melakukan aksi penolakan terhadap Ahmadiyah, gemar merazia tempat-tempat yang dianggap sebagai sarang kemaksiatan, antikristenisasi, dan mendukung penegakan syariat Islam.

Hasil penelitian SETARA Institute tentang transformasi organisasi Islam radikal di Jawa Tengah dan Yogyakarta menunjukkan, kelompok radikal yang berwatak intoleran telah dijadikan media bagi kelompok jihadis untuk meradikalisasi dan mereproduksi individu-individu yang tergabung dalam kelompok radikal untuk bertransformasi menjadi teroris.

Menurut Hendardi, Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, pada dasawarsa 2000-an, aktor atau dalang terorisme di Indonesia adalah produk pendidikan luar negeri (Timur Tengah). Tetapi aksi terorisme sepanjang 2011, dari teror Bom Buku, Bom Cirebon, dan Bom Solo adalah hasil dari proses recovery kelompok teroris dengan memanfaatkan kelompok radikal.

Lebih lanjut dalam hemat ahli hukum yang tak pernah mengenyam bangku pendidikan hukum secara formal ini, pembiaran negara terhadap beberapa praktik intoleransi oleh kelompok masyarakat tertentu di Indonesia menjadi salah satu akar tumbuh suburnya praktik terorisme.

”Ketika tidak ada penghukuman terhadap aksi-aksi radikalnya, berarti tidak ada efek jera. Maka pelaku ingin melakukan hal yang sama atau bahkan lebih dari itu karena merasa tidak dihukum,” tandasnya.
Berikut petikan perbincangan Lazuardi Birru dengan salah satu pendiri Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) ini di Jakarta.

Aksi-aksi terorisme masih saja terjadi. Akhir 2001, bom meledak di gereja Solo. Apa sebenarnya akar masalah terorisme di Indonesia hingga sulit dituntaskan?
Akar masalahnya ada beberapa hal. Bisa penegakan hukum yang lemah seperti saya sebut di atas, bisa juga ketidakadilan dan kemiskinan. Semua itu merupakan lahan subur tumbuhnya terorisme di Indonesia. Karena itu, penanganan terorisme harus benar hati-hati dengan berlandaskan pada kajian yang mendalam. Tanpa kajian terhadap kinerja penanggulangan terorisme dan tanpa mengaitkannya dengan hak asasi manusia justru akan menimbulkan problem baru.
Langkah represif aparat penegak hukum tentu tidaklah cukup. Langkah lain yang berdimensi sosial mesti dijalankan pula oleh pemerintah. Peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penegakan hukum yang adil adalah keniscayaan.

Ada yang bilang bahwa terorisme subur di Indonesia lantaran tidak ada kanalisasi semangat jihad. Dahulu pemuda-pemuda Islam Indonesia bisa membantu negara-negara muslim lain yang sedang berperang seperti Afghanistan. Namun sekarang hal itu dilarang oleh pemerintah. Bagaimana Anda memandang argumen itu?
Apa betul pada zaman Soeharto itu dibebaskan? Itu dilarang juga kok. Soeharto bahkan sangat keras dengan kelompok-kelompok Islam, seperti kasus Tanjung Priok dan Talangsari Lampung. Saya tidak percaya dengan argumen itu. Betul kelompok jihadis membutuhkan kanalisasi aspirasi di negeri ini, tapi itu diwujudkan dengan media lain, organisasi sosial politik misalnya.
Di alam demokrasi, jika kelompok masyarakat tertentu ingin bertarung untuk memproduksi kebijakan publik yang sesuai dengan aspirasinya maka silakan bertarung melalui organisasi politik. Saya kira pemerintah harus memberikan ruang kepada kelompok-kelompok radikal untuk melakukan itu.
Jika mereka belum mau ikut, negara harus bisa menjelaskan kepada mereka bahwa kekerasan tidak bisa ditoleransi. Tugas negara adalah mengelola semangat berlebihan suatu kelompok hingga menjurus pada tindak kekerasan dengan cara damai. Persoalannya, seringkali aksi kekerasan mereka dibiarkan sehingga menyebabkan mereka tidak berminat masuk ke partai.

Apa sebenarnya definisi radikalisme agama menurut Anda?
Radikalisme adalah buah dari praktik intoleransi, baik itu bersifat pasif ataupun aktif ekspresif. Radikalisme belum tentu terorisme. Ekspresi radikalisme itu seperti yang terjadi di Cikeusik (penyerangan terhadap pengikut Ahmadiyah) dan Sampang Madura (penyerangan terhadap pusat aktivitas jamaah Syiah). Sementara terorisme itu polanya lebih tertutup, rahasia, dan eksklusif.
Namun yang terjadi di Indonesia, seringkali aparat hukum bertindak lamban atau kurang efektif dalam menanggulangi hal ini.

Hampir semua aksi radikalisme dan terorisme di Indonesia mengatasnamakan Islam. Benarkah Islam mengajarkan kekerasan?
Kita tidak bisa mengerdilkan Islam dengan argumen semacam itu. Saya muslim dan belajar agama. Dalam pengetahuan keagamaan saya yang terbatas, Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan sebagai mekanisme penyelesaian masalah. Sama sekali saya tidak diajari untuk menghakimi orang karena agama atau alirannya berbeda, apalagi dengan cara-cara yang disebut sebagai jihad, teror bom, dan sebagainya.
Sebaliknya Islam mengajarkan saya untuk menyelesaikan persoalan dengan musyawarah. Musyawarah itu mekanisme yang demokratis. Orang boleh beda pendapat, tetapi ketika ketidaksetujuan itu diwujudkan dalam tindak kriminal, maka di situlah peran negara untuk menegakkan hukum.
Dalam satu agama ada banyak aliran dan pandangan adalah realitas tak terpungkiri. Namun jika negara terlalu ikut campur dalam hal perbedaan pandangan itu juga menjadi problem. Tugas negara adalah menjamin hak kebebasan beragama dan berkeyakinan setiap orang, apa pun keyakinannya. Karena itu tidak boleh ada golongan agama mengadili agama lain, atau aliran tertentu melakukan penghakiman terhadap aliran lain.
*****

Sepanjang 2011 Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) melaporkan dalam rilis persnya, telah menangkap 84 tersangka kasus terorisme, enam orang di antaranya meninggal dalam penyergapan, dan 1 orang mengalami luka-luka.

Polri khususnya Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror telah menangani sekitar sepuluh kasus terorisme. Di antaranya tindak pidana teror bom di Klaten dan Solo (Polda Jateng), bom buku di lingkungan Polda Metro Jaya, bom Cirebon (Polda Jawa Barat), dan bom Lubuk Linggau (Polda Sumatera Selatan).
Sementara pada 2010, SETARA Institute dan Yayasan Prasasti Perdamaian mencatat, dari sekian penyergapan tersangka terorisme di Indonesia, ada 72 orang yang ditangkap dan 13 di antaranya ditembak mati.

Sementara pada 2012 ini, pada bulan Maret saja, ada 6 tersangka terorisme yang ditangkap. 5 orang di Denpasar Bali dan 1 di Bandung Jawa Barat. Semua tersangka yang ditangkap di Bali tertembak mati setelah terjadi konfrontasi bersenjata.

Bagi Hendardi yang konsisten dalam isu-isu hak asasi manusia (HAM), tindakan represif aparat tersebut adalah persoalan besar lantaran menghilangkan kesempatan tersangka untuk memeroleh kesamaan hak di muka hukum. Lebih dari itu, menilik pengalaman tahun 2010 dan sebelumnya, represi justru melahirkan aktor-aktor terorisme baru, jejaring baru, dan sasaran baru.
Bagaimana pandangan “jebolan” Departemen Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB) yang pernah memimpin tim investigasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat ini terhadap aksi represif aparat terkait pemberantasan terorisme? Apa saran dan masukannya untuk penanggulangan terorisme di Indonesia?

Bagaimana pandangan Anda terhadap tindakan represif aparat dalam operasi kontraterorisme?
Kita akui keberhasilan aparat penegak hukum memberantas terorisme, tapi hal ini harus dilihat  secara kritis. Sekarang syak wasangka publik pupus ketika media-media elektronik menampilkan kesigapan polisi melakukan penangkapan tersangka terorisme. Psikologi warga digiring untuk cemas terhadap ancaman terorisme sehingga mendorong mereka mengafirmasi setiap tindakan represif aparat. Ini kan persoalan.
Bagi saya, penegakan terorisme itu harus seimbang antara pilihan memberikan keamanan bagi warga negara dan memastikan civil liberty warga tidak terkoyak. Kita harus belajar dari masa lalu di mana Undang-Undang Subversi membuat kehidupan negara tidak dilindungi hak asasinya. Siapa bilang dengan UU yang sangat represif itu di zaman Orde Baru tidak ada terorisme?! Bagi saya, saat itu teror justru dilakukan oleh negara terhadap warganya.

Sebuah prestasi yang patut diapresiasi ketika Densus 88 Mabes Polri berhasil menangkap tersangka dan pelaku terorisme. Tetapi sekali lagi aksi terorisme itu adalah hilirnya. Hulunya adalah praktik intoleransi. Maka untuk mencegah agar tidak berkembang menjadi aksi terorisme, praktik intoleransi tidak boleh dibiarkan. Karena intoleransi inilah akarnya. Bukankah prestasi otentik pemberantasan terorisme adalah mengikis akar persoalan terorisme?!

UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme sebagai pengganti Perpu Nomor 1 Tahun 2002 sedang dalam proses revisi di parlemen. Apa saran Anda untuk revisi UU tersebut?
Untuk melakukan revisi atas UU tersebut, pemerintah harus melakukan audit menyeluruh terhadap kinerja penanggulangan terorisme. Mulai dari mekanisme kerja polisi dalam operasi kontraterorisme hingga proses peradilannya.

Bagi saya paradigma HAM harus dikedepankan dalam perubahan dalam UU tersebut. Ada beberapa aturan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang mesti diakomodasi sebagai rujukan dalam penanggulangan terorisme, terutama dalam prinsip-prinsip penggunaan senjata, kode etik aparat hukum, dan hak asasi korban-korban terorisme.

Jika ada warga sipil tak bersalah yang ikut tertembak mati, bagaimana prosedur pertanggungjawaban pemerintah kepada keluarga korban, itu juga harus diatur.
Densus 88 dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) perlu diberi kewenangan yang kuat dalam hal penanggulangan terorisme. Adanya usulan pasal penyebaran kebencian (hate speech) dan perluasan penangkapan menunjukkan adanya kewenangan yang besar bagi dua lembaga tersebut.
Namun sekali lagi, kewenangan itu harus menjaga keseimbangan antara keamanan warga dengan civil liberty.

Perlukah melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme?
Perlibatan TNI sudah diatur dalam UU, namun perlu dijelaskan lebih detail lagi. Polisi lah yang harus berada di garis terdepan dalam penanggulangan terorisme. Bagi saya yang lebih penting adalah pada level preventif. Di situ pemerintah harus melibatkan organisasi keagamaan yang mempunyai kewibawaan di masyarakat dalam penanggulangan praktik intoleransi, terutama untuk membendung laju radikalisme di masyarakat.

Apakah Anda setuju dengan kebijakan lembaga pemasyarakatan khusus bagi narapidana terorisme?
Saya setuju dengan ide tersebut, tetapi secara teknis hal itu tidak mudah dilaksanakan, pasalnya penjara untuk narapidana umum saja sudah over kuota. Yang paling mungkin dilakukan sekarang adalah memisahkan antara terpidana terorisme utama alias otak aksinya dengan terpidana terorisme yang level keterlibatannya tidak signifikan alias pelaku pinggiran.
*****
Hendardi sudah puluhan tahun malang melintang dalam kancah advokasi hukum dan HAM. Tak ayal, ia dianugerahi pelbagai penghargaan atas perjuangannya. Salah satunya adalah penghargaan HAM dari Kementerian Hukum dan HAM RI pada tahun 2000 atas partisipasinya dalam penegakan dan pemajuan HAM di Indonesia.
Bagi Hendardi, penanggulangan terorisme tidak boleh berhenti pada aras represi melainkan harus sampai pada akar persoalan untuk mencegah radikalisasi warga dan memastikan ketahanan ideologi generasi bangsa. Karenanya, peningkatan kesejahteraan ekonomi dan pengentasan kemiskinan warga menjadi tugas utama pemerintah.

Lebih dari itu, pemerintah juga dituntut untuk menghukum praktik-praktik intoleransi. Tindakan intoleransi, di tengah kerentanan warga akibat kemiskinan, menguatnya arus eksklusivisme dan antipluralisme, menjadi lahan subur bagi penguatan radikalisme yang bermuara pada terorisme.

“Terorisme jelas musuh kita bersama, sebab tidak hanya merugikan korban atau keluarganya tetapi juga kerugian sosial buat pemerintah dan masyarakat secara umum. Dukungan kritis masyarakat sipil terhadap penanggulangan terorisme adalah keniscayaan,” tutupnya.[Syafiq]

Biodata:
Nama                                      : Hendardi
Tempat, Tanggal Lahir             : Jakarta, 13 Oktober 1957
Pekerjaan                                : Ketua Badan Pengurus SETARA Institute
Pendidikan                              : Departemen Sipil ITB (1978-1986)-Tidak Selesai
Email                                       : hendardi.lif@gmail.com

(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)

Sumber: lazuardibirru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar