Senin, 26 November 2012

Ali Munhanif: Radikalisme Respon Reformasi dan Proses Politik Berbangsa


Fenomena aksi radikalisme berlabel agama kerap kita lihat selama kurun waktu tiga belas tahun terakhir. Di era reformasi sikap intoleransi dalam kehidupan beragama makin menjamur di mana-mana di pelbagai daerah Indonesia. Kelompok minoritas seperti Ahmadiyah kerap mendapatkan intimidasi tiada henti hingga saat ini. Bahkan kelompok radikal semakin lantang menyuarakan agar syariah Islam diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dr. Ali Munhanif, MA, Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menilai munculnya sikap intoleransi karena otoritas negara menurun, di mana para aktor organisasi sosial dan politik mengambil jalan pintas untuk mengekspresikan kepentingan politiknya. Menurutnya, radikalisme dalam jangka pendek merupakan respon terhadap reformasi, sedangkan dalam jangka panjang radikalisme sebagai proses politik berbangsa.

“Upaya untuk menyalurkan aspirasi politik secara radikal seperti atas nama agama, etnis dan lainnya tidak populer dan tak akan dianut oleh mayoritas masyarakat. Gerakan radikal tetap sebuah spektrum paling kecil dari kelompok politik tertentu,” ujarnya ketika berbincang dengan Lazuardi Birru di Hotel Grand Sahid Jakarta.

Ia menyarankan agar negara cepat bersikap menyelesaikan masalah radikalisme. Bila otoritas negara seperti lembaga penegak hukum, keamanan, dan ketahanan solid maka dengan sendirinya radikalisme bisa diatasi dengan cepat. Selain itu, pemerintah juga harus memperbaiki kondisi kebangsaan seperti perbaikan ekonomi, penegakkan hukum, pemberantasan korupsi, dan pemberian akses pendidikan masyarakat.
Lantas bagaimana pandangan doktor dari Universitas McGill, Montreal, Kanada ini soal radikalisme di Tanah Air, berikut petikan perbincangannya.

Sebagaimana kita ketahui di era reformasi marak terjadi aksi radikalisme berbasis agama. Mengapa di era reformasi radikalisme kerap muncul?
Tentu saja itu saling berkaitan. Bila kita pahami reformasi sebagai sebuah fase proses pembangunan bangsa, negara, penataan ulang bentuk politik, dan hidup secara bersama dan kolektif, maka reformasi mengandaikan suatu proses munculnya berbagai aspirasi yang lebih asli. Radikalisme dalam jangka pendek merupakan respon terhadap reformasi. Misalnya, sikap intoleransi muncul karena otoritas negara menurun, dimana para aktor organisasi sosial dan politik mengambil jalan pintas untuk mengekspresikan kepentingan politiknya. Tetapi sebenarnya radikalisme merupakan fenomena yang lebih dari sekedar itu, radikalisme sebagai hasil politik dalam jangka panjang.

Selama Orde Baru aspirasi masyarakat dibungkam. Mereka menyimpan bara/spirit yang sangat impulsif dimana suatu saat bisa meledak, tapi karena sikap represif dan otoritarianisme negara maka mereka bisa diredam. Karena itu radikalisme dalam jangka pendek selain sebagai respon terhadap reformasi tapi juga hasil jangka panjang proses politik berbangsa.

Apakah selama kita menganut sistem demokrasi di mana masyarakat termasuk kelompok radikal memiliki kebebasan menyampaikan aspirasinya, mereka akan terus melakukan gerakan pembangkangan/pemberontakan?
Saya kira tidak. Sebagai suatu bangsa kita tetap optimis bahwa upaya-upaya untuk menyalurkan aspirasi politik secara radikal seperti atas nama agama atau lainnya tidak populer dan tak akan dianut oleh mayoritas masyarakat. Gerakan radikal tetap sebuah spektrum paling kecil dari kelompok politik tertentu. Misalnya umat Islam sebagian besar adalah moderat atau prodemokrasi tapi ada kelompok kecil yang terus menerus mengupayakan untuk menyelesaikan aspirasi secara radikal. Saya percaya ini tak akan berjalan lama.

Tapi harus diingat bila upaya-upaya pemerintah dan masyarakat dalam menyelesaikan radikalisme diperkuat maka akan efektif atasi radikalisme. Masalahnya jika negara dan masyarakat tidak mau tahu dan mengambil respon/sikap untuk mengcounter politik radikal tersebut. Negara penting bersikap karena negara dan masyarakat sedang berebut otoritas dan beradu kepentingan dalam memonopoli otoritas dan kekuasaan. Negara harus sadar betul jika ada aspek di dalam dirinya sedang dirongrong masyarakat maka negara harus cepat mengambil tindakan apalagi yang merongrong gerakan politik radikal.

Misalnya upaya-upaya menyelesaikan aspirasi masyarakat muslim yang ingin menerapkan syariat Islam. Sebenarnya secara implisit di dalam gerakan mereka terkandung keraguan/tak menerima hukum yang diterapkan oleh negara sehingga mereka mengambil alternatif menerapkan hukum Islam. Dalam tahap ini ada dua kepentingan antara hukum negara dan Islam. Kekuasaan negara dan masyarakat saling berebut, bila negara tak mengambil sikap maka mereka akan terus membesar. Negara harus bersikap cepat untuk selesaikan masalah radikal. Bila otoritas negara seperti lembaga penegak hukum, keamanan, dan ketahanan solid untuk menyelesaikan radikalisme maka dengan sendirinya radikalisme bisa diatasi dengan cepat.

Mengapa gerakan radikalisme menjadikan pemerintah atau Barat sebagai sasaran utama?
Sebab kelompok radikal mempunyai aspirasi politik yang berbeda dengan aspirasi politik pemerintah. Harus diingat bahwa Indonesia tidak terjadi begitu saja tapi melalui proses negosiasi panjang dan alot. Bila kita lihat sejarah kolonialisme, secara umum ada tiga tawaran/alternatif yang dimunculkan oleh para tokoh pergerakan nasional yang tergabung dalam organisasi-organisasi antikolonialisme sekitar awal abad ke 20.

Pertama, aspirasi yang menginginkan negara ini dibangun atas dasar nasional-sekuler. Aspirasi ini umumnya disuarakan oleh kalangan terdidik seperti Soekarno, Hatta, dan Muhammad Yamin. Kedua, aspirasi yang menginginkan menjadi negara Islam. Aspirasinya diwakili oleh organisasi-organisasi antikolonialisme seperti Masyumi dan puncaknya pada DI/TII. Ketiga, aspirasi yang menginginkan menjadi negara komunis.
Setelah melalui proses negosiasi alot lalu kita meraih kemerdekaan dan disepakati bahwa konstitusi negara ini adalah Pancasila. Namun banyak orang yang kecewa terhadap keputusan politik tersebut. Ketika jalan otoritarianisme diambil sebagai penyelesaian konflik kenegaraan tadi, di situlah ideologi radikalisme disemaikan secara perlahan. Radikalisme menjadi upaya menentang arus kesepakatan bersama negara tadi.
Pemerintah menjadi sasaran radikalisme karena pemerintah mewakili konsensus kenegaraan yang telah disepakati para pendiri republik ini. Kelompok radikal menentang dan tidak mengakui kesepakatan tersebut, lalu mereka mencari ideologi dan justifikasi pembenaran perilaku untuk menentang pemerintah.

Mengapa mereka hingga sekarang tak bisa menerima kesepakatan tersebut?
Pertama, kesalahan orang-orang yang memangku kepentingan pada tahun 60-an. Mereka sudah terlalu capek melihat perdebatan yang tak pernah habis, lalu mengambil jalan pintas menyelesaikan perdebatan tersebut melalui otoritarianisme. Dalam hal ini otoritarianisme menjadi penyebab/pemicu radikalisme. Penyelesaian masalah dengan otoritarianisme bagus bila ditopang dengan berbagai upaya seperti mensejahterakan rakyat dan memberikan akses pendidikan kepada masyarakat. Namun otoritarianisme menjadi hal buruk bila dianggap sebagi jalan pintas untuk menyelesaikan konflik kenegaraan. Otoritarianisme ibarat menyimpan kotoran di bawah karpet, seolah-olah tak ada konflik/perdebatan, padahal di dalamnya terjadi pengentalan ideologi.

Kedua, pemberian ruang pengajaran agama yang salah. Tanpa kita sadari dibalik kompromi yang bagus antara kelompook Islam dan nasionalis dalam mewujudkan kehidupan damai dan tata kenegaraan yang baik adalah umat Islam tanpa sadar memproduksi pandangan keagamaan yang memberi ruang jika pengajaran agama salah maka akan mudah jatuh pada paham radikal. Ini yang harus diantisipasi pemerintah. Misalnya, kita bukan negara sekuler dan bukan negara religius, tapi harus diakui banyak institusi agama yang masuk dalam struktur kenegaraan, seperti dalam pendidikan agama.

Pendidikan agama bertujuan memberi peluang masyarakat untuk belajar agama secara benar tapi karena sifat pendidikannya eksklusif maka kita sering melihat di dalam pengajaran agama memberi ruang untuk melihat keburukan negara dalam perspektif agama. Misalnya tak melihat pelaksanaan syariat islam dan jihad untuk menentang otoritarianisme/pemerintah sekuler. Reproduksi ideologi jihad untuk menentang pemerintah sekuler berpotensi untuk mendorong masyarakat/komunitas agama tertentu menjadi radikal. Mereka bisa radikal bila didukung faktor lain seperti ketimpangan ekonomi, korupsi merajalela, dan hukum tidak ditegakkan secara benar. Seseorang yang punya keagamaan militan berpendapat bahwa untuk menyelesaikan masalah tadi adalah dengan menerapkan syariah Islam.

Radikalisme bisa dipicu oleh pengajaran agama yang keliru. Jihad dalam pandangan Islam sangat etis dan manusiawi, namun bila ditafsirkan secara keliru maka menjadi keinginan untuk memberangus orang lain/hal yang mengingkari agama.
Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mengatasi radikalisme?
Banyak hal yang harus dilakukan pemerintah untuk memerangi politik radikal. Pertama, kita jangan kehilangan fokus, bahwa radikalisme berkaitan dengan pandangan ideologi radikal. Bila kita melihat perilaku radikal di kalangan organisasi tertentu adalah mereka tak sabar untuk selesaikan masalah politik secara politik, mereka ingin mengambil jalan pintas dan antiperdebatan. Sikap seperti ini didorong oleh militansi dan kesederhanaan berpikir. Karena itu pemerintah harus mendorong upaya penyelesaian politik lebih dewasa dan beradab, serta jangan lagi ada upaya jalan pintas.

Kedua, mendorong masyarakat mempunyai ideologi atau platform bersama kenegaraan. Kita harus sepakat bahwa kemaslahatan umum, membangun stabilitas, dan kerukunan beragama menjadi kebijakan pemerintah. Harus ada upaya untuk mengubah ideologi radikal menjadi moderat. Pemerintah harus fokus pada dua faktor yaitu makro dan mikro. Faktor makro seperti penegakkan hukum terhadap semua tindak kejahatan sedangkan faktor mikro seperti perbaikan ekonomi. Tesis yang menyatakan seseorang yang punya pemikiran radikal muncul dari kelas menengah ke bawah memang ada hubungannya meski tak sepenuhnya benar bahwa kemiskinan memobilisasi politik radikal. Perbaikan ekonomi masyarakat dan penyediaan lapangan kerja adalah obat ampuh menangkal radikalisme.

Menurut Anda perlu atau tidak pemerintah kembali menancapkan kekuatannya seperti jaman Orde Baru untuk menekan radikalisme?
Perilaku radikal muncul menggambarkan betapa tidak mengakarnya negara di masyarakat. Penetrasi negara tak sepenuhnya mengakar di publik. Secara teritorial kaki-kaki pemerintah tak ada masalah. Tetapi penetrasi negara dalam bidang ideologi susah karena saat ini banyak ideologi yang tersebar di masyarakat. Di masa Orde Baru tindakan represif menjadi bagian penting strategi penetrasi negara ke masyarakat misalnya melalui P4, pelajaran PMP, sosialisasi Pancasila, dan organisasi dipaksa menerima Pancasila sebagai asas tunggal.
Namun menerapkan strategi tersebut di era demokrasi tak mudah. Di dalam demokrasi ideologi berubah bersamaan dengan cara pandang masyarakat. Karena itu pendidikan harus dibenahi, dan pendidikan agama harus di transformasi yakni mengkombinasikan pendidikan kewarganegaraan. Di dalam demokrasi perlu strategi elegan melakukan penetrasi ke masyarakat yakni melalui pendidikan, desiminasi Pancasila di ruang publik untuk dijadikan platform bersama kehidupan bernegara. Aspirasi ideologis bisa disalurkan melalui institusi terlembaga seperti parlemen. Jika mereka ingin menegakkan hukum Islam maka dibawa ke parlemen untuk diperdebatkan di sana, dan jangan diperdebatkan di jalanan.

Lembaga Anda beberapa kali melakukan penelitian tentang indeks radikalisme, bisa dipaparkan hasilnya?
Beberapa penelitian kita dari tahun ke tahun hasilnya menunjukan radikalisme di kalangan masyarakat semakin meningkat, meski peningkatannya tak melesat tajam. Misalnya pada tahun 2004 masyarakat belum bersikap radikal tapi pada 2010 semakin banyak orang mengadopsi pentingnya penerapan hukum Islam, jihad menjadi bagian perjungan agama, dan siap berjihad bila ada kelompok yang menghina Islam.
Terakhir kita dan FISIP UIN Jakarta meneliti tentang  radikalisme di kalangan mahasiswa UIN dan IAIN di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Banjarmasin dan Ujung Pandang. Ada temuan menarik dari penelitian tersebut bahwa umumnya mahasiswa muslim di Ujung Pandang dan Sumatera Barat mempunyai sikap relatif radikal dibanding mahasiswa di tempat lain. Mahasiswa UIN Jakarta memperoleh indeks paling moderat.

Kita terkejut terhadap temuan tersebut karena ini kenyataan menarik. Sebab ada pandangan umum bahwa radikalisme muncul dilingkungan kampus umum. Namun faktanya tak demikian karena seperti di Sumatera Utara mahasiswa muslim lebih relatif radikal misalnya siap berjihad bila Islam dalam ancaman, pentingnya hukum Islam diterapkan di kehidupan publik, dan jihad bagian dari agenda untuk membela agama.
Lalu kita tindaklanjut hasil tersebut dengan lakukan penelitian kualitatif khusus untuk mahasiswa UIN Jakarta. Temuannya sederhana saja bahwa faktor makro seperti kondisi politik bangsa sangat membentuk pandangan mereka. Faktor makro seperti gagalnya penegakkan hukum, ketimpangan ekonomi dan beroperasinya organisasi yang belum menerima Pancasila sebagai asasnya di kampus. Tapi saya mendengar sekarang kampus telah melarang organsasi apapun masuk kampus kecuali organisasi BEM dan UKM.

Menurut Anda radikalisme telah menjalar ke mahasiswa apakah karena faktor makro atau mikro?
Tak bisa dipisahkan, keduanya saling terkait/jalan berkelindan. Pada tingkat mikro bagaimana meyakinkan memilih organisasi tertentu secara militan apabila tak ada faktor makro yang menjustifikasinya. Pada tingkat makro kita harus mendorong pemerintah memperbaiki keadaan bangsa, namun pada tingkat mikro harus menyadari pentingnya membendung gerakan radikal di kampus melalui berbagai kegiatan akademik dan olahraga. Pada tingkat tertentu kegiatan tersebut dapat membendung/menutup ruang radikalisme untuk bergerak.

Bagaimana Anda melihat radikalisme ke depan?
Selama demokrasi berjalan dengan baik dan pemerintah dapat memperbaiki kondisi bangsa maka kelompok radikal akan berkurang dan akan mengerucut pada kelompok konservatif. Perbaikan ekonomi, pemberian akses pendidikan yang luas, demokrasi berjalan baik, korupsi diberantas, dan penegakkan hukum secara benar maka radikalisme hanya akan menjadi kelompok konservatif. Saya membayangkan di masa depan pertarungan antara kelompok moderat dan radikal terlembaga secara politik. Tetapi bila demokrasi gagal karena berbagai faktor maka kemunculan radikalisme terus meningkat.

Apa closing statement Anda?
Radikalisme harus diperangi bersama. Akar radikalisme begitu berlapis, pada tingkat makro ada mismanagement dalam pengelolaan negara, sedangkan pada tingkat mikro banyaknya peluang individu untuk menjadi radikal karena memiliki pandangan keagamaan sempit. Pemerintah harus fokus pada masalah makro dan pada saat bersamaan pemerintah harus memberi ruang sosialisasi pentingnya masyarakat mengadopsi pandangan bersama tentang bernegara. Empat pilar kebangsaan yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika harus terus disosialisasikan melalui pendidikan, organisasi sosial, LSM dan lainnya.[Akhwani]
Biodata:
Nama Lengkap                               : Dr. Ali Munhanif, MA
Tempat, Tanggal Lahir                  : Blora, 12 Desember 1965
Pekerjaan                                   : Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pendidikan                                    : S3 Departemen Ilmu Politik Universitas McGill, Montreal, Kanada
(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)

Sumber: Lazuardibirru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar