Rabu, 21 November 2012

Hayati Eka Laksmi: Bukan Jihad Jika Membawa Banyak Mudarat


Ma, ini bukan bapak. Bapak masih bekerja,” suara terisak itu keluar dari 2 balita di depan sebujur jasad kaku. Perempuan yang duduk di sebelahnya, sambil terus membaca surat Yasin, dengan suara serak namun dengan keteguhan yang dipaksakan mencoba meyakinkan dua buah hatinya itu, “Ini bapak, Nak.”
Air mata 2 anak yang belum mengerti pahit getir dunia itu terus menitik kala mengantarkan jasad sang bapak, Imawan Sardjono S.H, menuju masjid untuk dishalatkan dan berlanjut ke pemakaman. Di usia yang sangat belia, mereka tentu belum paham arti status yatim, namun kesedihan hati berkecamuk tak tertepis. Genggaman tangan sang mama sedikit menenangkan hati mereka.
Tak lama usai tanah liat sempurna menutup jasad sang bapak, Alif, si sulung bertanya, “Ma, apa tali kafan di kepala bapak sudah dilepaskan?”
Sesaat Hayati Eka Laksmi, sang mama, terhenyak mendengar pertanyaan itu. Dari mana mereka tahu soal seperti itu, batinnya. Saat keheranan itu masih belum hilang, Haji Maksum, sang kakek yang berada di samping mereka lekas menjawab, “Sudah Alif. Tali kafannya sudah dilepas.”
Peristiwa di atas telah berlalu hampir 12 tahun, namun Mbak Eka, sapaan akrab Hayati Eka Laksmi, masih terang mengingatnya. Kisah yang mengiringi perjuangannya menemukan jasad suami tercinta selama 7 hari penuh. 13 rumah sakit di Pulau Dewata ia datangi untuk memastikan keberadaan Mas Iwan, panggilan Mbak Eka bagi ayah dari dua buah cintanya.
Kamis, 17 Oktober 2002, upaya itu mulai menuai hasil. Rumah Sakit Sanglah Denpasar, tengah malam, kantong jenazah no.145 bertuliskan Mr. X alias belum teridentifikasi dibuka oleh Ni Luh Metri, ibu dari Mbak Eka. Robekan celana dalam penuh bercak darah itu cukup dikenalinya namun tak bisa ia pastikan. “Saya tak bisa pastikan. Biar anak saya besok saya ajak ke sini,” ujar Ni Luh kepada tim forensik.
Esok harinya, Mbak Eka menjalani tes DNA dan serangkaian uji forensik lain untuk memastikan bahwa jasad tersebut adalah benar sosok tercintanya. Tepat pada Jumat, hari yang dimuliakan dalam tradisi Islam, Imawan dikebumikan. 2 anak pun menjadi yatim dalam arti sesungguhnya, Alif Heidar Sardjono atau Alif (3,5 tahun) dan Thifaldi Iqbal Ramadhan Sardjono atau (2,5 tahun).
Menjadi single parent dengan 2 anak yang masih berusia 3 dan 2 tahun tentu tidak diinginkan oleh perempuan mana pun. Namun siapa kuasa menolak takdir jika itu telah digariskan.
Peristiwa tragis itu pun merenggut nyawa Imawan Sardjono, karyawan PT Angkasa Pura I Bali. Sabtu, 12 Oktober 2002,  sekitar pukul 11 malam, ia mesti menghadap ke Sang Kekasih sejati, Penciptanya. Saat melintasi jalan Legian Kuta Bali untuk mengantarkan tamu, bom berkekuatan high explosive meledak.
Beberapa bulan berikutnya, Mbak Eka menyaksikan wajah-wajah dalang aksi keji itu dari layar televisi. Semuanya beragama Islam, sama seperti dirinya. Atas nama jihad melawan kaum kafir, para pelaku merancang serangan.
“Betul jihad itu ajaran Islam. Tetapi apakah jihad itu harus dengan cara membinasakan orang lain bahkan sesama muslim, hingga membuat anak-anak menjadi yatim. Kita yang terus berjuang hidup dalam perdamaian inilah yang pantas disebut berjihad?” ucapnya menggugat.
Kepada Lazuardi Birru, Guru SMP Muhammadiyah I Denpasar ini menuturkan pandangannya seputar jihad, upayanya melakukan trauma healing pada dirinya dan kedua buah hatinya.

Apa makna jihad menurut Anda?
Jihad itu artinya bersungguh-sungguh, mengerahkan segala daya upaya untuk menciptakan kemaslahatan di muka bumi. Kalau “jihad” lebih banyak menciptakan kemudaratan ketimbang kemaslahatan itu bukan jihad namanya. Karena menurut saya itu justru tidak dibenarkan oleh agama.
Saya justru merasa saya sedang belajar berjihad. Saya terus memperjuangkan agama saya di sini (Denpasar: red) sebagai agama rahmatan lil alamin. Semua agama ada di sini. Kami semua hidup rukun dan saling berdampingan. Namun setelah aksi tak berperikemanusiaan itu, harmoni kehidupan itu seperti terpukul. Saya menjadi bertanya-tanya, apa sebenarnya yang mendasari mereka melakukan tindakan itu?
Sekarang saya terus berusaha bagaimana bisa berbuat yang terbaik untuk umat manusia. Hablun minallah (hubungan baik dengan Allah) dan hablun minannas (hubungan baik sesama manusia) agar bisa seimbang.
Juga bagaimana saya bisa bertoleransi dengan pemeluk agama lain. Itu ‘kan sudah digariskan dalam Alquran surat Alkafirun, lakum dinukum waliadin, agamamu ya agamamu, agamaku ya agamaku. Setiap pemeluk agama harus menjalankan ajaran sesuai akidahnya, tidak boleh saling mengganggu.
Hidup ini indah penuh dengan warna-warni. Nikmati perbedaan karena itu adalah rahmat Allah SWT. Jangan jadikan perbedaan sebagai pemicu bahwa kita yang paling benar. Hanya Allah yang paling benar.

Berarti aksi-aksi pengeboman di Indonesia bukan termasuk jihad?
Jelas bukan. Itu ekpresi dari pemaknaan  jihad yang keliru. Kalau mau berjihad dengan cara begitu lebih baik mereka ikut berperang saja di negara-negara yang memang sedang berperang. Jangan melakukan kebinasaan di negaranya sendiri yang sasarannya tidak jelas, apalagi sampai mengorbankan sesama muslim.
Saya sering bilang bahwa agama Islam tidak mengajarkan umatnya menjadi teroris. Teroris ya teroris. Muslim ya muslim. Betul jihad diajarkan dalam Islam. Tetapi  mari kita kaji ajaran jihad itu secara kaffah (komprehensif) sehingga pengamalannya tidak mencederai kemanusiaan dan mencelakai orang tak bersalah.

Suami Anda meninggal akibat insiden kemanusiaan yang sangat tragis. Bagaimana Anda berjuang mengatasi kesedihan pada diri Anda dan anak-anak?
Saya dan anak-anak merasakan kehilangan figur suami dan ayah yang selalu setia membahagiakan kami, lelaki yang menjadi pencari utama nafkah keluarga. Anak-anak menjadi pemurung dan cenderung agresif.
Untuk melepaskan beban kesedihan, terkadang saya keluar dari rumah dengan menaiki sepeda motor sambil menangis keras. Kondisi saya diketahui oleh seorang teman  yang bernasib sama dengan saya (suaminya meninggal akibat Bom Bali I), namanya Elissa De Jesus.
Karena berempati, ia menemui saya di rumah dan menyampaikan keinginan untuk membantu memulihkan psikis saya. Saya diajak bergabung di sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang concern melakukan terapi dan konseling.
Hati saya berkata, saya sudah kehilangan satu orang, saya masih diberi amanat menjaga dua orang anak balita. Saya harus bangkit, tidak boleh terus-menerus terpuruk.
Selama 6 bulan saya menjalani proses itu. Anak-anak juga saya ajak ke tempat itu. Metodenya, saya disuruh membantu keluarga korban dan orang-orang yang terkena ledakan bom.
Usai masa terapi saya malah diminta bekerja di lembaga tersebut. Alhamdulillah, saya mulai mendapatkan pemasukan dengan pekerjaan itu.
Seiring waktu, dengan bantuan ibu, saya membuka sebuah toko kecil yang menjual barang-barang sembako, seperti gula, kopi dan gas. Setelah itu saya tambahi barang dagangan di took dengan kain-kain baju kiriman dari Jawa.
Suatu saat saya berpikir bagaimana kalau saya masuk ke lembaga pendidikan formal. Saya ingin tahu bagaimana cara mendidik orang itu. Itu dipicu dari berita-berita di media massa di mana para pelaku terorisme itu guru-gurunya adalah orang pintar. Tahun 2006, alhamdulillah saya diterima menjadi guru di SMP Muhammadiyah I Denpasar.
Tahun 2009, bersama teman-teman korban Bom Bali dan keluarganya yang pernah menjalani konseling, saya mendirikan wadah bernama bernama ISANA DEWATA yang berarti Istri, Suami dan anak Dewata/ Bom Bali.
Di situ kami bekerja sama, bertukar informasi, dan saling mendukung agar bisa bangkit untuk dapat menyejahterakan diri dan keluarga. Paguyuban ini terdiri atas 22 keluarga, termasuk 47 anak.
*****
Majalah Gatra Nomor 28, Kamis, 19 Mei 2011 memuat laporan bertajuk “Menginjeksi Virus Teror Generasi Pelajar”. Isinya bagaimana para pelajar terpengaruh ajaran-ajaran radikal hingga akhirnya bersedia melakukan aksi teror.
Pertengahan 2011, beberapa siswa dan alumni SMKN 2 Klaten dihukum oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat akibat terlibat serangkaian aksi teror di Klaten, Jawa Tengah. Proses rekrutmen berawal dari pertemanan mereka di organisasi kerohanian Islam dan corps dakwah sekolah (CDC).
Secara berkala mereka menonton video kisah perjuangan rakyat Palestina, Afghanistan, dan daerah konflik lain. Rutinitas kunci yang menajamkan visi radikal mereka adalah pengajian Ustad Mus’ab Abdul Ghaffar alias Darwo di masjid dan rumahnya. Materinya seputar kebencian pada kaum Kristen yang dinilai bertanggung jawab atas pembantaian kaum muslim di Irak dan Afghanistan. Darwo juga mengajarkan amaliyah jihad.
Sebagai ustad atau guru, Darwo cukup “berhasil” lantaran apa yang diajarkannya dipraktikkan oleh para muridnya di pengajian itu. Meski apa yang diajarkan Darwo adalah sesuatu yang salah.
Dalam falsafah Jawa, Guru adalah kepanjangan dari digugu lan ditiru (didengarkan dan diikuti). Guru adalah sosok teladan hidup yang bisa memotivasi muridnya dalam meraih tujuan dan cita-cita hidupnya.
Semenjak berprofesi sebagai guru, Mbak Eka menyadari bahwa sosok guru itu bisa lebih diteladani oleh anak-anak ketimbang siapa pun, bahkan orang tua kandungnya. Apalagi jika guru itu bisa menyampaikan pelajaran secara memikat sehingga murid-murid merasa senang saat diajar.
“Tentu akan sangat berbahaya jika guru yang sudah dikagumi oleh anak-anak ternyata mengajarkan aksi terorisme, yang sebenarnya murid itu tidak tahu apa manfaatnya,” ujar Mbak Eka.
“Saya tidak bisa membayangkan apabila semua pelajaran yang diberikan guru diterima mentah-mentah oleh murid dan diaplikasikan langsung,” imbuhnya.
Kini, dengan dengan profesinya sebagai guru, Mbak Eka ingin berjihad mengajarkan kepada seluruh anak didiknya bahwa Islam adalah agama cinta damai dan memberikan rahmat bagi semesta. Lebih dari itu, ia ingin mengantarkan anak-anak didiknya menuju kehidupan yang lebih baik ketimbang para gurunya

Menurut Anda, bagaimana peran guru dan lembaga pendidikan dalam mengajarkan toleransi dan keberagaman kepada anak didiknya?
Saya rasa peran guru dan lembaga pendidikan itu luar biasa besar. Dalam tradisi Islam misalnya, pondok pesantren itu berperan besar dalam menyebarkan ajaran Islam. Mungkin suatu saat pesantren bisa menjadi lembaga yang heterogen di mana para pemeluk agama lain bisa menimba ilmu di situ.
Ini penting agar para santri bisa belajar keberagaman sehingga muncul sikap saling menghargai dan menghormati.

Apa pesan Anda kepada para remaja agar tidak mudah terpengaruh ajaran radikal?
Saya kira, kalau orang hidup punya prinsip, insya Allah tidak akan melakukan hal-hal yang berjalan di luar prinsipnya. Namun watak kritis dan terbuka itu memang sangat penting. Remaja harus lebih banyak bergaul dengan beragam kelompok sehingga tidak seperti katak dalam tempurung yang hanya bisa menerima satu perspektif saja.

Pesan untuk para korban?
Bahwa semua yang telah hilang, tidak akan pernah bisa kembali lagi seperti sedia kala. Yang meninggal tidak akan hidup lagi, yang luka dan cedera tidak akan kembali seperti semula. Marilah kita berlapang dada untuk menerima itu. Karena penyesalan hanya akan membuat kita semakin sakit.
Pandanglah ke depan, nikmati kehidupan yang diberikan oleh Allah. Bisa jadi ini bentuk peringatan dari Allah atau derajat kita sedang mau diangkat oleh Dia.
Kita tak perlu terlalu mengharapkan belas kasih dari pihak lain. Lebih baik tangan di atas daripada tangan di bawah, lebih baik memeras keringat ketimbang menengadahkan tangan. Kita mesti lebih banyak bersyukur daripada menuntut (Syafiq).

Biodata:
Nama   Lengkap: Dra. Hayati Eka Laksmi
Tempat, Tanggal Lahir : Denpasar, 14 Mei 1970
Pekerjaan          : Guru SMP Muhammadiyah I Denpasar, Bali
Pendidikan       : S1 Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang
Email                  : eka_laksmi@yahoo.co.id

(Wawancara 99 Orang Bicara Radikalisme dan Terorisme)

Sumber: Lazuardibirru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar