Tahun ini bisa dibilang tahun duka bagi
korps bhayangkara. Pasalnya, dalam setahun ini delapan anggota Polri
meregang nyawa di tangan kelompok teroris. Dua polisi kehilangan nyawa
di Solo, Jawa Tengah, dan enam polisi di Poso, Sulawesi Tengah.
Polri menjadi obyek serangan kelompok
teror tentu bukan barang baru. Pada tahun 1981, aksi penyerangan
kelompok Jamaah Imran terhadap Markas Kosekta 65 di Cicendo, Bandung
menewaskan 4 anggota Polri.
Pada tahun 2005, pos pengamanan Brimob di
Pulau Loki, Ambon diserang hingga mengakibatkan lima anggota Brimob
yang sedang berjaga meninggal. Aksi ini dirancang oleh Djaja alias Asep
Dahlan dan kelompoknya yang berafiliasi dengan Jamaah Islamiyah (JI).
Asep kini mendekam di Lapas Porong, Jawa Timur dengan pidana seumur
hidup.
Namun jumlah korban tewas polisi pada
tahun ini melampaui dua peristiwa silam di atas. Sehingga bisa dibilang,
tahun 2012 ini permulaan “resmi” polisi sebagai target serangan
teroris. Dulu kelompok teror yang berafiliasi dengan JI menargetkan
fasilitas yang berbau Barat (far enemies) yang ada di Indonesia
seperti orang asing, kedutaan, hotel, hingga kafe, lalu sempat
mengombinasikan serangan ke Barat dan ke pemerintah Indonesia (close enemies). Namun pada 2012 ini fokus serangan teror diarahkan pada close enemies khususnya polisi.
Pergeseran target ini sebenarnya telah
lama diendus oleh Densus 88/Antiteror. Yakni saat mereka memeriksa isi
dokumen di dalam laptop milik gembong teroris Noordin M Top yang disita
saat penggerebekan di Jebres, Solo, Jawa Tengah, 17 September 2009.
Berdasarkan temuan di dalam laptop
Noordin, saat itu Densus 88 menyatakan teroris mulai memodifikasi dan
menggeser target mereka ke arah close enemies.
Kapolri Jenderal Timur Pradopo
membenarkan pandangan tersebut. ”Benar. Kita yang dijadikan target
karena kita di baris terdepan dalam pemberantasan terorisme, sehingga
seolah-olah polisi yang harus dimusuhi. Pemahaman ini harus kita balik,”
kata Kapolri.
Padahal, menurut mantan Kapolda Metro
Jaya ini, polisi hanyalah menjalankan amanah undang-undang.
”Menyelesaikan ancaman terorisme tidak bisa hanya dengan penegakan
hukum. Perlu langkah mulai dari preventif sampai penegakan hukum, Bila
dalam memberantas terorisme polisi mengambil kebijakan keras, itu
dimaksudkan untuk melindungi masyarakat. Jangan salah tafsir,” bebernya.
Sementara itu Wakapolri Komjen Nanan
Soekarna menambahkan, gugur dalam tugas, adalah salah satu resiko
sebagai polisi. “Kalau takut, jangan jadi polisi. lebih baik
mengundurkan diri saja,” tandasnya.
Polisi yang bernasib malang pada 2012
adalah Briptu Eko Wijaya Sumarno yang tewas pada 22 Desember setelah dua
hari dirawat di RS. Eko menyusul tiga orang rekannya Briptu Wayan,
Briptu Ruslan, dan Briptu Narto yang diberondong peluru oleh kelompok
teroris saat mereka berpatroli di Desa Tambarana, Poso Pesisir dan
sekitar Gunung Kalora pada 20 Desember.
Sebelumnya, pada 16 Oktober, Briptu Andi
Sapa dan Brigadir Sudirman, yang hilang sejak 8 Oktober, ditemukan tewas
terkubur dalam satu lubang di Dusun Taman Jeka, Desa Masani, Poso. Di
leher keduanya terdapat luka yang diduga akibat gorokan senjata tajam.
Keenam polisi malang ini diduga dihabisi
oleh kelompok teroris yang dipimpin oleh Abu Wardah alias Santoso alias
Abu Yahya. Santoso yang masih buron itu mengatasnamakan kelompoknya
sebagai Komandan Mujahidin Indonesia Timur dan menyebut dirinya sebagai
Abu Mus’ab Al-Zarqawi Al-Indunesi.
Di Solo, Bripka Dwi Data Subekti yang
sedang berjaga, meninggal saat Farhan, cs melakukan serangan terhadap
pos polisi di Singosaren pada 30 Agustus. Sementara saat hendak
menangkap Farhan pada Jumat 31 Agustus 2012, anggota Densus 88 bernama
Bripda Suherman tewas tertembak di bagian perut. (sf)
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar