Rasanya sulit bagi sebagian publik
Indonesia menghapus Poso dalam ingatannya. Sebuah kota yang berada di
tengah kepulauan Sulawesi ini pernah terluka akibat konflik horisontal
beraroma agama di tahun 2000. Bagi orang “luar” Poso mungkin gambaran
tragedi itu telah luruh. Meski bukan berarti sepenuhnya lupa. Namun bagi
orang “dalam” Poso sendiri, tampaknya perih masih dirasakan afek dari
tragedi yang benar-benar berdarah.
Bahkan hingga kini Poso tampaknya masih
belum sepeuhnya tenang. Kasus terbaru terkait pembantaian warga oleh
oknum yang tak bertanggung jawab Agustus lalu menambah daftar tragedi
kekerasan dan teror di Poso. Tak heran jika trauma terasa kental hingga
banyak warga tenggelam dalam ketakutan.
Mungkin terutama perempuan. Akibat
tragedi yang terjadi, jangankan menyuarakan pendapat, berkumpul atau
berkomunikasi dengan orang berbeda keyakinan pun tak berani. Benar-benar
trauma yang begitu mendalam.
Namun kini perempuan Poso telah kembai
pulih. Trauma dan ketakutan itu berubah menjadi kekuatan. Adalah Lian
Gogali, perempuan kelahiran Poso, yang berjasa dalam rekonsiliasi sosial
dan psikologis di antara para perempuan Poso dan warga Poso pada
umumnya.
Sebagai perempuan Poso, Lian merasa
terpanggil mengupayakan rekonsiliasi mengingat konflik telah memicu
saling curiga, kebencian dan permusuhan antarwarga.
“Saya percaya, ada kebutuhan mendesak bagi perempuan untuk berbicara dan berpartisipasi aktif” ungkap Lian.
Dari sanalah kemudian Lian mendirikan
Sekolah Perempuan. Sebuah wadah pendidikan untuk perempua-perempuan
Poso. Di sekolah itu mata pelajaran yang diajarkan adalah toleransi dan
perdamaian, gender-gender dan isu politik bahkan hingga pembangunan
ekonomi.
Atas perjuangannya inilah Lian
mendapatkan pernghargaan internasional dari Coexixt Foundation. Sebuah
penghargaan untuk sosok “pahlawan” yang bekerja dan memperjuangkan isu
perdamaian dan gerakan interfaith.[Mh]
Sumber: Lazuardi Birru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar