Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) menegaskan Islam dan negara Indonesia tidak boleh dibenturkan. Bahkan,
pendahulu bangsa seperti KH Hasyim Asyari telah menegaskan hal itu sejak zaman
perjuangan kemerdekaan. Hal itu disampaikan SBY seusai menonton film sang Kiai
di Jakarta, Senin (20/5).
Film berdurasi sekitar dua jam
itu menceritakan kehidupan dan aksi perjuangan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH
Hasyim Asyari. "Film tadi mengajarkan tidak ada jarak antara Islam dan
Indonesia. Para pemimpin tidak memisahkan ini. Itu kekuatan bangsa," kata
Presiden.
Presiden mengatakan, KH Hasyim
Asyari dan pimpinan NU berdiri di depan untuk tidak mendikotomikan antara paham
Islam dan kebangsaan.
Dia menilai film tersebut membawa
banyak pelajaran penting. "Dalam peperangan selalu ada kebijakan, wisdom,
dan etika, apalagi dalam menjalankan kehidupan sehari-hari dan mengelola
negara. Meskipun tidak mudah mencapai Indonesia merdeka waktu itu, dengan
perjuangan yang gigih, Indonesia akhirnya merdeka," ujar dia.
Presiden Yudhoyono mengingatkan,
di antara seluruh bangsa Indonesia, bisa saja berbeda dalam posisi politik atau
apapun. "Namun untuk merah putih dan kedaulatan negara, kita harus menjadi
satu," tambah dia.
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil
Siradj yang juga hadir dalam acara itu menilai film sang Kiai itu sangat luar
biasa dan sarat dengan nilai patriotisme. Ia pun mengungkapkan, film tersebut
mengangkat peran KH Hasyim Asyari serta NU dalam perjuangan kemerdekaan.
"Banyak orang melupakan dan
pura-pura lupa atas peranan Kiai Hasyim Asyari dan NU. Mampu meluruskan sejarah,
karena dalam buku tidak ada detil peran dalam perjuangan NU dan KH Hasyim
Asyari," ujarnya.
Selain Said Aqil, juga hadir
Ketua Yayasan Hasim Asy'ari, Salahuddin Wahid. Sejumlah pendukung dan pemeran
juga hadir, seperti produser Gope T Samtani dan para pemain, Ikranagara
(pemeran Hasyim Asy’ari), Christine Hakim, Agus Kuncoro, Adipati Dolken, Meryza
Batubara, Norman Akuwen, Dimas Aditya, dan Suzuki Naburo.
Film ini berkisah tentang kiai
yang lahir di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, pada
10 April 1875. Dikisahkan, sang kiai juga aktif dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan.
Bersama KH Bisri Syamsuri, KH
Wahab Hasbullah, dan ulama besar lainnya, mereka mendirikan sebuah organisasi
Jam’iyah Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama) pada 31 Januari 1926 di
Jombang.[az]
#MetroNews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar