Sebelum Islam hadir ke
Nusantara, khususnya Jawa pada abad 11 M, masyarakat telah menjalankan tradisi
dan adat istiadat. Hal ini berpengaruh signifikan terhadap tradisi sosial
politik masyarakat muslim Nusantara sekarang. Sekadar contoh, tahlilan
(selamatan) hingga sepekan setelah meninggalnya orang Islam merupakan hasil
“tawar-menawar” antara sisa-sisa keyakinan masyarakat Hindu dengan ajaran
Islam. Dalam kepercayaan Hindu, ruh orang yang meninggal masih berkeliling di
sekitar rumah tinggalnya selama kurang lebih satu minggu, karena itu keluarga
harus menyambutnya. Oleh ulama penyebar Islam, tradisi ini tidak dihapuskan namun
dibumbui dan dikemas dalam modus lain yang bercorak islami.
Masih banyak tradisi lainnya
yang hidup hingga kini sebagai hasil negosiasi antara ajaran Hindu dan Islam. Tradisi
tersebut baru dipersoalkan pada awal tahun 1800-an, saat sekelompok muslim yang
belajar di Arab kembali ke Nusantara, tepatnya ke tanah Minang. Terinspirasi oleh
gerakan sosial yang dikembangkan oleh Muhammad ibnu Abdul Wahab al-Najdi, ulama
di tanah Najd (kini Arab Saudi) yang gencar memberangus pelbagai praktik takhayul,
bid'ah, dan churafat (ejaan lama)
yang kerap disingkat dengan TBC atas nama pemurnian ajaran Islam (purifikasi), mereka
lantas menentang segala praktik ibadah umat Islam Minang yang dinilai telah
tercemari TBC.
Friksi antara kaum
puritan dengan kaum adat tersebut memuncak pada Perang Padri. Adapun di tanah
Jawa, isu purifikasi menguat saat KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah.
Namun hal tersebut tidak memicu ketegangan sosial yang chaotic lantaran gerakan dakwah Muhammadiyah yang lebih menekankan
pada pemberdayaan sosial.
Tulisan ini ingin
menunjukkan bahwa Islam Jawa sangat mengarifi lokalitas warisan Hindu-Buddha. Dan
itu berpengaruh besar dalam konstelasi budaya, sosial, dan politik tanah air sekarang.
Ada banyak contoh selain tradisi tahlilan tadi. Misalnya, hingga kini masyarakat
Kudus Jawa Tengah sangat jarang yang menyembelih sapi. Hal tersebut sudah
berlangsung sejak ratusan tahun silam. Konon itu merupakan perintah dari Sunan
Kudus (penyebar Islam di sana) demi menghormati umat Hindu yang memiliki
kepercayaan bahwa sapi merupakan binatang suci. Kendati saat ini jumlah pemeluk
Hindu di Kudus sangat sedikit, local
wisdom tersebut tetap dipertahankan.
Para mubalig Islam awal
mengerti betul bahwa implementasi ajaran Alquran dan hadis tidak sekaku seperti
bunyi verbal formalnya. Bisa saja apa yang dilakukan oleh Sunan Kudus kita
kritik sebagai “tahrimu ma ahalla-Allahhu
(mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah)”, yang itu jelas dilarang Tuhan.
Namun demi kemaslahatan yang lebih besar, yakni menghindarkan pertumpahan darah
dan strategi islamisasi, Sunan Kudus menelurkan kebijakan tersebut. Toh, memang
ada kaidah fiqih yang menegaskan “dar’ul
mafasidi muqoddamun ‘ala jalbil mashalihi” (menghindarkan kemudaratan itu
harus didahulukan ketimbang menarik kemaslahatan). Terbukti dengan strategi
tersebut, proses Islamisasi di pesisir utara Jawa Tengah berjalan damai dan berkembang
sangat cepat.
Selain kematangan pengetahuan
agama, para mubaligh Islam awal juga cerdas secara sosial dan ekonomi. Sebelum
mereka datang, Hindu-Buddha sudah sangat kuat bercokol di bumi nusantara,
khususnya Bali dan Jawa. Dan penguasa kerajaaan Hindu-Buddha mewariskan
kekayaan kultural yang sangat banyak, baik dalam bentuk kebudayaan intagible (tak
benda yaitu tradisi, kesenian, dan adat istiadat) maupun tangible (benda). Warisan tangible yang hingga kini masih
dapat kita nikmati adalah candi-candi di pelbagai sudut tanah Jawa. Salah
satunya adalah Candi Borobudur di Magelang Jawa Tengah, produk kejayaan Dinasti
Syailendra yang memeluk agama Buddha Mahayana, yang dibangun pada pertengahan
abad 8 Masehi.
Dalam konteks ini, coba
Anda bandingkan dengan ‘nasib’ Patung Buddha di Bamiyan Afganistan. Patung yang
dibangun sekitar abad ke-6 Masehi dengan memadukan seni pahat gaya Yunani dan
Buddha tersebut bernasib tragis setelah rezim Taliban berkuasa. Pada tahun 2001
Mahkamah Agung Taliban memutuskan bahwa semua patung di Afganistan harus
dihancurkan. Alasannya sangat naif yaitu telah atau disinyalir dapat menjadi
berhala. Pada bulan Maret 2001, dua patung terbesar Buddha ini hancur setelah
usaha pengeboman secara intensif selama hampir satu bulan. Padahal selama lebih
dari 1500 tahun, meski umat Islam berkuasa di Afganistan, Patung Buddha
tersebut dilestarikan.
Mestinya sebagai orang
Indonesia yang beragama Islam –bukan orang Islam yang sekadar tinggal di
Indonesia— kita tidak mau melihat warisan-warisan budaya Nusantara dihancurkan
oleh kelompok muslim tertentu atas nama pembersihan TBC. Padahal hingga kini candi-candi
tersebut justru memberikan kemaslahatan secara ekonomis kepada warga dan negara.
Selain menyumbang pendapatan asli daerah (PAD), warga sekitar candi juga
mengais rezeki dari lokasi yang menjadi obyek wisata tersebut. Inilah yang saya
sebut sebagai kecerdasan ekonomi para mubalig.
Dalam bidang politik, di
Indonesia kini hampir mustahil sekularisme (pemisahan agama dengan negara) atau
sebaliknya integralisme (penyatuan agama dengan Negara) bisa dijalankan. Dulu
penguasa Jawa memandang kekuasaan politik sebagai faktor terpenting, sementara
agama menempati urutan kedua. Agama
dalam pandangan mereka adalah alat legitimasi atas kekuasaan (power)-nya. Demi menghindari
pemberontakan atau pembangkangan rakyat, para raja kala itu meminta pengakuan
pendeta bahwa mereka adalah titisan-titisan Dewa. Ini dilakukan oleh Kertajaya,
Raja Kediri, dan penggulingnya, Ken Arok.
Saat kerajaan Demak
(Islam) berkuasa pada abad 15-16 M, yang diawali oleh Raden Patah yang bergelar
Senopati Jimbun Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama, agama dan
kerajaan juga tidak terpisah. Dalam menjalankan pemerintahan, raja dibantu oleh
para ulama Walisongo. Dan tradisi ini diteruskan secara turun temurun kepada
raja-raja selanjutnya. Sehingga bisa dikatakan, pada masa itu umara’ (Pemerintah) dan ulama (penguasa
keagamaan) bersatu padu membangun kekuasaan kerajaan (Parakitri Simbolon,
Kompas 6 Oktober 2000).
Tradisi tersebut
dilanjutkan oleh penguasa kerajaan Mataram Islam. Bahkan gelar yang disematkan
kepada Raja Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat yakni, “Sampejan Dalem Ingkang
Sinuhun Kandjeng Sultan Hamengkubuwono Ingkang Sapisan Senapati Ingalaga
Abdurrachman Sajidin Panatagama Kalifatullah Negara Ngajogjakarta Hadinigrat,“ merupakan
nama sanjungan yang memosisikan raja sebagai sosok manusia mahahebat. Konsep
ini dipengaruhi oleh ajaran Hindu yang mengajarkan bahwa raja adalah titisan
dewa yang dititahkan untuk membimbing rakyat di dunia. Inilah mengapa
sekularisme hampir mustahil terimplementasi di Indonesia.
Pola integralisme layaknya
di atas kini gencar dikampanyekan oleh kelompok-kelompok muslim fundamentalis
seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Ansharut Tauhid, Darul
Islam/Negara Islam Indonesia (NII). Bila dirunut secara historis, wacana
integralisme akan menjadi debatable. Apakah
ia berakar dari tradisi Islam ataukah Jawa Hinduis? Dalam Islam, posisi
Muhammad Saw sebagai Nabi yang merangkap pemimpin politik formal bisa menjadi
dalil atas kebersatuan penguasa agama dan politik, meski sunnah Nabi ini pun interpretable.
Sementara dalam Jawa Hinduis, model demikian juga telah berlangsung sejak
berdirinya kerajaan di Nusantara.
Sebaliknya, integralisme
mutlak dalam hemat saya juga mustahil akan terjadi. Dalam studi-studi
etnologis, terutama dari Clifford Geertz, terkuak pendapat bahwa Islam tidak
pernah sungguh-sungguh dipeluk di Jawa kecuali di kalangan komunitas kecil para
pedagang, dan hampir tidak ada sama sekali dalam lingkungan kerajaan. Ini lantaran
masyarakat Jawa, khususnya penguasa/priyayi
lebih mengedepankan adat lokal ketimbang melaksanakan ortodoksi Islam (Zainuddin
Maliki, 2004).
Jika merunut pada tradisi
kerajaan Jawa yang bersendikan Hindu-Buddha, agama memang menjadi landasan untuk
mendukung kekeramatan dan wibawa kerajaan. Namun bagi pihak istana, prioritas
utama adalah politik kekuasaan. Tilik saja bagaimana penguasa bisa cukup
fleksibel beralih agama, dari Hindu ke Buddha, kembali ke Hindu, atau di
kemudian hari konversi ke Islam, semuanya bukan hal problematis. (Slamet Muljana, 2005).
Meski Islam sekarang menjadi
agama mayoritas di Indonesia, khususnya Jawa, namun praktik keberagamaan masyarakat, dalam
banyak hal masih kental dengan kepercayaan lokal warisan nenek moyang Hindu dan
Budha yang sarat mistik ketimbang ortodoksi Islam. Inilah keunikan Islam Jawa,
dan Indonesia umumnya. Maka tak perlu berharap banyak Anda bisa melakukan
arabisasi di tanah Jawa dan Indonesia secara umum.
Oleh: Muhammad Syafiq (Alumni
Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar