Selasa, 21 Mei 2013

Islam Jawa Arif Lokalitas




Sebelum Islam hadir ke Nusantara, khususnya Jawa pada abad 11 M, masyarakat telah menjalankan tradisi dan adat istiadat. Hal ini berpengaruh signifikan terhadap tradisi sosial politik masyarakat muslim Nusantara sekarang. Sekadar contoh, tahlilan (selamatan) hingga sepekan setelah meninggalnya orang Islam merupakan hasil “tawar-menawar” antara sisa-sisa keyakinan masyarakat Hindu dengan ajaran Islam. Dalam kepercayaan Hindu, ruh orang yang meninggal masih berkeliling di sekitar rumah tinggalnya selama kurang lebih satu minggu, karena itu keluarga harus menyambutnya. Oleh ulama penyebar Islam, tradisi ini tidak dihapuskan namun dibumbui dan dikemas dalam modus lain yang bercorak islami.
Masih banyak tradisi lainnya yang hidup hingga kini sebagai hasil negosiasi antara ajaran Hindu dan Islam. Tradisi tersebut baru dipersoalkan pada awal tahun 1800-an, saat sekelompok muslim yang belajar di Arab kembali ke Nusantara, tepatnya ke tanah Minang. Terinspirasi oleh gerakan sosial yang dikembangkan oleh Muhammad ibnu Abdul Wahab al-Najdi, ulama di tanah Najd (kini Arab Saudi) yang gencar memberangus pelbagai praktik takhayul, bid'ah, dan churafat (ejaan lama) yang kerap disingkat dengan TBC atas nama pemurnian ajaran Islam (purifikasi), mereka lantas menentang segala praktik ibadah umat Islam Minang yang dinilai telah tercemari TBC.
Friksi antara kaum puritan dengan kaum adat tersebut memuncak pada Perang Padri. Adapun di tanah Jawa, isu purifikasi menguat saat KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Namun hal tersebut tidak memicu ketegangan sosial yang chaotic lantaran gerakan dakwah Muhammadiyah yang lebih menekankan pada pemberdayaan sosial.
Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa Islam Jawa sangat mengarifi lokalitas warisan Hindu-Buddha. Dan itu berpengaruh besar dalam konstelasi budaya, sosial, dan politik tanah air sekarang. Ada banyak contoh selain tradisi tahlilan tadi. Misalnya, hingga kini masyarakat Kudus Jawa Tengah sangat jarang yang menyembelih sapi. Hal tersebut sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam. Konon itu merupakan perintah dari Sunan Kudus (penyebar Islam di sana) demi menghormati umat Hindu yang memiliki kepercayaan bahwa sapi merupakan binatang suci. Kendati saat ini jumlah pemeluk Hindu di Kudus sangat sedikit, local wisdom tersebut tetap dipertahankan.
Para mubalig Islam awal mengerti betul bahwa implementasi ajaran Alquran dan hadis tidak sekaku seperti bunyi verbal formalnya. Bisa saja apa yang dilakukan oleh Sunan Kudus kita kritik sebagai “tahrimu ma ahalla-Allahhu (mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah)”, yang itu jelas dilarang Tuhan. Namun demi kemaslahatan yang lebih besar, yakni menghindarkan pertumpahan darah dan strategi islamisasi, Sunan Kudus menelurkan kebijakan tersebut. Toh, memang ada kaidah fiqih yang menegaskan “dar’ul mafasidi muqoddamun ‘ala jalbil mashalihi” (menghindarkan kemudaratan itu harus didahulukan ketimbang menarik kemaslahatan). Terbukti dengan strategi tersebut, proses Islamisasi di pesisir utara Jawa Tengah berjalan damai dan berkembang sangat cepat.
Selain kematangan pengetahuan agama, para mubaligh Islam awal juga cerdas secara sosial dan ekonomi. Sebelum mereka datang, Hindu-Buddha sudah sangat kuat bercokol di bumi nusantara, khususnya Bali dan Jawa. Dan penguasa kerajaaan Hindu-Buddha mewariskan kekayaan kultural yang sangat banyak, baik dalam bentuk kebudayaan intagible (tak benda yaitu tradisi, kesenian, dan adat istiadat) maupun  tangible  (benda). Warisan tangible yang hingga kini masih dapat kita nikmati adalah candi-candi di pelbagai sudut tanah Jawa. Salah satunya adalah Candi Borobudur di Magelang Jawa Tengah, produk kejayaan Dinasti Syailendra yang memeluk agama Buddha Mahayana, yang dibangun pada pertengahan abad 8 Masehi.
Dalam konteks ini, coba Anda bandingkan dengan ‘nasib’ Patung Buddha di Bamiyan Afganistan. Patung yang dibangun sekitar abad ke-6 Masehi dengan memadukan seni pahat gaya Yunani dan Buddha tersebut bernasib tragis setelah rezim Taliban berkuasa. Pada tahun 2001 Mahkamah Agung Taliban memutuskan bahwa semua patung di Afganistan harus dihancurkan. Alasannya sangat naif yaitu telah atau disinyalir dapat menjadi berhala. Pada bulan Maret 2001, dua patung terbesar Buddha ini hancur setelah usaha pengeboman secara intensif selama hampir satu bulan. Padahal selama lebih dari 1500 tahun, meski umat Islam berkuasa di Afganistan, Patung Buddha tersebut dilestarikan.
Mestinya sebagai orang Indonesia yang beragama Islam –bukan orang Islam yang sekadar tinggal di Indonesia— kita tidak mau melihat warisan-warisan budaya Nusantara dihancurkan oleh kelompok muslim tertentu atas nama pembersihan TBC. Padahal hingga kini candi-candi tersebut justru memberikan kemaslahatan secara ekonomis kepada warga dan negara. Selain menyumbang pendapatan asli daerah (PAD), warga sekitar candi juga mengais rezeki dari lokasi yang menjadi obyek wisata tersebut. Inilah yang saya sebut sebagai kecerdasan ekonomi para mubalig.
Dalam bidang politik, di Indonesia kini hampir mustahil sekularisme (pemisahan agama dengan negara) atau sebaliknya integralisme (penyatuan agama dengan Negara) bisa dijalankan. Dulu penguasa Jawa memandang kekuasaan politik sebagai faktor terpenting, sementara agama menempati urutan kedua.  Agama dalam pandangan mereka adalah alat legitimasi atas kekuasaan (power)-nya. Demi menghindari pemberontakan atau pembangkangan rakyat, para raja kala itu meminta pengakuan pendeta bahwa mereka adalah titisan-titisan Dewa. Ini dilakukan oleh Kertajaya, Raja Kediri, dan penggulingnya, Ken Arok.
Saat kerajaan Demak (Islam) berkuasa pada abad 15-16 M, yang diawali oleh Raden Patah yang bergelar Senopati Jimbun Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama, agama dan kerajaan juga tidak terpisah. Dalam menjalankan pemerintahan, raja dibantu oleh para ulama Walisongo. Dan tradisi ini diteruskan secara turun temurun kepada raja-raja selanjutnya. Sehingga bisa dikatakan, pada masa itu umara’ (Pemerintah) dan ulama (penguasa keagamaan) bersatu padu membangun kekuasaan kerajaan (Parakitri Simbolon, Kompas 6 Oktober 2000).
Tradisi tersebut dilanjutkan oleh penguasa kerajaan Mataram Islam. Bahkan gelar yang disematkan kepada Raja Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat yakni, “Sampejan Dalem Ingkang Sinuhun Kandjeng Sultan Hamengkubuwono Ingkang Sapisan Senapati Ingalaga Abdurrachman Sajidin Panatagama Kalifatullah Negara Ngajogjakarta Hadinigrat,“ merupakan nama sanjungan yang memosisikan raja sebagai sosok manusia mahahebat. Konsep ini dipengaruhi oleh ajaran Hindu yang mengajarkan bahwa raja adalah titisan dewa yang dititahkan untuk membimbing rakyat di dunia. Inilah mengapa sekularisme hampir mustahil terimplementasi di Indonesia.
Pola integralisme layaknya di atas kini gencar dikampanyekan oleh kelompok-kelompok muslim fundamentalis seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Ansharut Tauhid, Darul Islam/Negara Islam Indonesia (NII). Bila dirunut secara historis, wacana integralisme akan menjadi debatable. Apakah ia berakar dari tradisi Islam ataukah Jawa Hinduis? Dalam Islam, posisi Muhammad Saw sebagai Nabi yang merangkap pemimpin politik formal bisa menjadi dalil atas kebersatuan penguasa agama dan politik, meski sunnah Nabi ini pun interpretable. Sementara dalam Jawa Hinduis, model demikian juga telah berlangsung sejak berdirinya kerajaan di Nusantara.
Sebaliknya, integralisme mutlak dalam hemat saya juga mustahil akan terjadi. Dalam studi-studi etnologis, terutama dari Clifford Geertz, terkuak pendapat bahwa Islam tidak pernah sungguh-sungguh dipeluk di Jawa kecuali di kalangan komunitas kecil para pedagang, dan hampir tidak ada sama sekali dalam lingkungan kerajaan. Ini lantaran masyarakat Jawa,  khususnya penguasa/priyayi lebih mengedepankan adat lokal ketimbang melaksanakan ortodoksi Islam (Zainuddin Maliki, 2004).
Jika merunut pada tradisi kerajaan Jawa yang bersendikan Hindu-Buddha, agama memang menjadi landasan untuk mendukung kekeramatan dan wibawa kerajaan. Namun bagi pihak istana, prioritas utama adalah politik kekuasaan. Tilik saja bagaimana penguasa bisa cukup fleksibel beralih agama, dari Hindu ke Buddha, kembali ke Hindu, atau di kemudian hari konversi ke Islam, semuanya bukan hal problematis. (Slamet Muljana, 2005).
Meski Islam sekarang menjadi agama mayoritas di Indonesia, khususnya Jawa,  namun praktik keberagamaan masyarakat, dalam banyak hal masih kental dengan kepercayaan lokal warisan nenek moyang Hindu dan Budha yang sarat mistik ketimbang ortodoksi Islam. Inilah keunikan Islam Jawa, dan Indonesia umumnya. Maka tak perlu berharap banyak Anda bisa melakukan arabisasi di tanah Jawa dan Indonesia secara umum.

 Oleh: Muhammad Syafiq (Alumni Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar