Di tengah gegap gempita berita
tentang elite politik kita yang egoistis, di tengah kemuakan kita terhadap
keserakahan partai-partai politik dan badai korupsi yang tak kunjung henti,
tiba-tiba kita terentak sejenak oleh berita Tasripin dari Banyumas.
Tasripin, bocah miskin berumur 12
tahun, harus menjadi ”orangtua” bagi ketiga adiknya: Dandi (7), Riyanti (6),
dan Daryo (4). Satinah (37), ibu mereka, meninggal dua tahun lalu, terhantam
longsoran batu saat menambang pasir. Ayah mereka, Kuwito (47), merantau ke
Kalimatan, bekerja di pabrik kayu bersama anak sulungnya, Natim (21). Untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari, Tasripin bekerja sebagai buruh tani.
Kadang-kadang ia dibayar beras, kadang-kadang ia diberi Rp 10.000. Cukup buat makan dua kali sehari,
sisanya dibuat jajan adik-adiknya.
Bupati Banyumas Achmad Husein
mengaku khawatir kisah Tasripin hanya fenomena gunung es di Banyumas (Kompas,
15/1/2013). Benar! Tak lama setelah berita Tasripin, kembali kita terentak oleh
berita Indah Sari (17) dan kedua adiknya, Supriyani Astuti (15) dan Juliah
(13). Sejak lima tahun lalu, sambil sekolah, ketiga bocah miskin dari Desa
Penusupan, Purbalingga, itu harus bekerja bikin idep (bulu mata) untuk hidup
sehari-hari.
Karena tekanan ekonomi, ibu mereka,
Tarmini (40), menderita gangguan mental sejak kelahiran anak terakhirnya,
Sayang (5). Indah dan kedua adiknya bisa mendapatkan Rp 150.000 per bulan dari
hasil membuat bulu mata palsu. Tentu uang itu habis untuk makan. Namun, Indah
berusaha sedapat mungkin menyisihkan hasil kerjanya untuk biaya sekolah
(Kompas, 2/5/2013).
Begitu berita Tasripin muncul di
media, khalayak ramai segera menyalurkan dana, termasuk Presiden SBY. Kiranya
Indah Sari pasti juga mendapat simpati dan bantuan serupa. Bantuan karitatif
itu menunjukkan kita masih punya empati terhadap nasib anak-anak miskin seperti
Tasripin dan Indah. Namun, sadarkah kita bahwa peristiwa Tasripin dan Indah
sesungguhnya bukan sekadar peristiwa yang cukup ditanggapi secara karitatif,
melainkan fenomena serius yang sedang menggugat hidup kita sampai ke sendi dan
dasarnya.
Gugatan penderitaan
Bolehkah anak kecil yang tak
bersalah seperti Tasripin dan Indah itu menderita? Kita semua pasti akan
menjawab, ”Tidak!” Namun, patut diingat, dengan menjawab ”tidak”, kita
sesungguhnya telah masuk ke dalam persoalan yang gawat: soal yang diajukan Ivan
Karamazov, salah satu tokoh penting dalam novel terkenal The Brothers
Karamazov, karya pengarang besar Dostojevsky. Di Barat, gugatan Dostojevsky
lewat tokoh Ivan Karamazov itu memberi jalan bagi munculnya ateisme dan
membongkar kaidah klasik theodicy yang bertugas membela dan memberi argumentasi
tentang keberadaan Tuhan.
Kepada saudaranya tercinta,
Alyosha, Ivan berkisah soal penderitaan anak-anak yang tak bersalah. Tentang
seorang anak gadis yang disiksa orangtuanya. Lalu tentang seorang anak lelaki
yang bekerja sebagai budak seorang tuan tanah. Tanpa sengaja anak itu melukai
anjing kecintaan tuannya. Dengan para begundalnya, tuan tanah memburu dia,
seperti memburu bi- natang, lalu anak itu ditembak, kemudian badannya dikoyak habis
oleh para anjing pemburunya, dan itu semua terjadi di hadapan ibunya.
Ivan bertanya, bagaimana mungkin
jika Tuhan ada, Tuhan tega membiarkan anak-anak yang tak bersalah menderita?
Tak mungkin penderitaan itu kita kembalikan kepada kesalahan anak-anak itu. Tak
mungkin pula kita menjawab, Tuhan punya maksud tertentu dengan membiarkan
anak-anak itu menderita, misalnya toh kelak ia bakal bahagia di surga justru
karena penderitaannya. Bahkan, jika kita sepakat bahwa Tuhan punya maksud
tertentu dengan penderitaan di dunia, tetaplah tak terjawab, mengapa anak-anak
itu harus disertakan dalam penderitaan demi maksud tertentu itu? Kita, orang
dewasa, sanggup membeli ”harmoni abadi” dengan penderitaan, tetapi apa hubungan
semuanya itu dengan anak-anak itu? Mengapa mereka harus menderita dan membayar
harmoni itu dengan penderitaannya?
Kita bercita-cita membangun suatu
masa depan, ketika semuanya akan damai, sejahtera, dan bahagia. Namun, kata
Ivan lagi, mestikah masa depan itu dibangun di atas air mata anak-anak yang tak
bersalah? Ivan tak setuju dengan itu. Karena itu, ia juga tidak bisa menerima
jika keberadaan Tuhan dibenarkan dengan pembenaran atas penderitaan yang tidak
adil itu. Secara moral, ia menolak Tuhan demikian dan ia menjadi ateis. Jadi,
atas nama keadilan, ia memberontak melawan Tuhan, yang hanya dapat dibenarkan
dengan keadilan yang sebenarnya tidak adil.
Menurut teolog Richard Bauckham
dari University of Manchester (1987), gugatan Ivan Karamazov itu mau tak mau
mengguncang bangunan theodicy sampai di zaman modern ini. Selama ini
demikianlah argumentasi theodicy: penderitaan itu sudah dikalkulasikan sebagai
risiko ketika Tuhan menciptakan dunia dan ciptaan-ciptaan-Nya yang bebas;
penderitaan mau tak mau juga merupakan bagian yang tak terhindarkan dari dunia
yang secara natural terus berevolusi; dan penderitaan punya peran mendidik dan
membentuk jiwa manusia agar sesuai dengan maksud ia diciptakan di dunia.
Dengan serangan Dostojevsky lewat
Ivan Karamazov, ”mengapa bangunan semacam itu harus dipertahankan dengan cara
menyertakan anak-anak tak bersalah untuk ikut menderita”, seluruh argumentasi
theodicy itu ambruk. Bahkan, teologi secara umum tak bisa lagi bertahan dengan
argumennya yang klasik bahwa penderitaan adalah nilai yang harus dibayar demi tercapainya
tujuan eskatologis Tuhan, yakni bahwa akhirnya di masa depan manusia akan
mencapai kebahagiaannya yang sempurna justru karena telah melewati penderitaan
itu. Teologi tidak bisa berargumen ”murahan” lagi dalam membela keberadaan
Tuhan berhadapan dengan penderitaan. Apalagi ”pemberontakan melawan Tuhan” itu
akhirnya bisa menuntun orang berpandangan nihilistis, seperti kemudian
dituturkan Albert Camus.
Camus dalam karyanya, The Rebel,
mengorek akibat lebih lanjut dari kritik Ivan. Karena menolak Tuhan sebagai
pembenaran terhadap penderitaan dan ketakadilan yang terjadi di dunia, Ivan
menemukan sebuah nilai positif: rasa akan martabat dan solidaritas kemanusiaan.
Di atas martabat dan solidaritas inilah keadilan dapat dibangun di dunia yang
penuh ketidakadilan ini. Namun, Ivan sekaligus menyediakan penggerogotan yang
ganas terhadap nilai positif itu. Dan, itulah yang dilihat dengan jeli oleh
Camus.
Menurut Camus, manusia-manusia
pemberontak di zaman modern ini telah meletakkan humanitas di atas Tuhan. Lebih
ekstrem lagi, mereka ingin agar humanitas menggantikan Tuhan. Maka, sekarang
hanya humanitas yang boleh mengontrol tujuan akhir manusia. Jadi, saatnyalah
bahwa theodicy harus diganti dengan anthropodicy. Dan, tersimpan dalam proses
ini keyakinan bahwa dunia lama diganti dengan dunia baru, ketakadilan diganti
dengan keadilan, dan nilai-nilai Tuhan yang terbukti tidak adil itu diganti
dengan nilai-nilai manusia yang adil.
Itulah yang justru memberi peluang
bagi sementara elite membenarkan bahwa mereka boleh memakai segala cara meraih
tujuan itu. Maka, penderitaan, bahkan pembunuhan pun, dibenarkan demi keadilan
di masa depan. Rezim-rezim kekuasaan revolusioner bermunculan, menggantikan
tirani kekuasaan Tuhan.
Dan, terulang lagi sejarah lama:
rezim-rezim revolusioner membenarkan penderitaan manusia demi keadilan di
dunia. Itulah akar dari otoritarianisme dan totalitarisme, seperti Nazisme atau
Stalinisme di zaman modern, yang sangat kejam, brutal, dan nihilistis terhadap
kemanusiaan. Kamar gas di Auschwitz dan penyiksaan di Siberia adalah ujung
perjalanan pemberontakan manusia melawan tirani Tuhan yang dianggap
sewenang-wenang terhadap penderitaan manusia. Maka, problem yang dimunculkan
pemberontakan Ivan bukan lagi theodicy, melainkan anthropodicy.
Tuhan yang memihak
Mungkinkah kita membela theodicy,
yang berada di bawah ancaman anthropodicy itu? Hal-hal di atas kiranya
menantang orang beriman mempertanggungjawabkan imannya terhadap Tuhan.
Jelasnya, mungkinkah kita membela keberadaan Tuhan berhadapan dengan dunia yang
penuh ketakadilan dan penderitaan ini?
Konsep theodicy yang melepaskan
Tuhan dari penderitaan jelas tak akan bisa menjawab tantangan itu. Dan, agama
yang mempertahankan penderitaan itu perlu demi kebahagiaan abadi yang
disediakan Tuhan kelak jelas mendegradasikan humanitas dan akan menjadi sasaran
kritik anthropodicy, yang melengserkan Tuhan demikian itu demi humanitas yang
mereka cita-citakan. Siapakah Tuhan yang demikian itu? Inilah yang harus
dicari-cari oleh agama-agama di zaman modern ini.
Di kalangan kristiani, seorang
teolog besar, Jürgen Molltmann, menjawab pertanyaan dengan sebuah teologi yang
disebut teologi salib. Dalam teologinya itu, Tuhan direnungkan bukan sekadar
pencipta dan penguasa semesta, yang mahaberkuasa atas dunia, termasuk
penderitaannya. Tuhan justru terlibat dalam dunia, ikut menderita, dan memeluk
penderitaan itu. Itulah yang terjadi dalam diri Yesus saat Ia menanggung dan
mengalami penderitaan hingga mati di kayu salib.
Dalam teologi salib, Tuhan bukan
pembenar bagi penderitaan seperti dituduhkan Ivan, melainkan pemrotes yang
mengajak manusia memberontak terhadap ketidakadilan dan kekuasaan yang
menyebabkan penderitaan mereka yang tak bersalah dan diperlakukan tidak adil.
Tuhan yang menderita dan tersalib itu adalah inspirator dan agitator bagi
perlawanan yang konkret terhadap ketidakadilan dan penderitaan yang
diakibatkannya. Di sinilah tampak teologi salib sesungguhnya adalah awal dari
teologi pembebasan. Mau tak mau teologi akhirnya harus berbuah politik, yakni
politik yang memihak kepada mereka yang lemah, tak berdaya, dan menderita
karena ketidakadilan.
Pandangan teologis demikian mau tak
mau juga akan mengubah praktik-praktik ritual dan kesalehan. Doa, misalnya, tak
dapat lagi dimengerti atau melulu dialami sebagai kewajiban ritual, kesalehan,
atau kekhusyukan pribadi yang tak ada kaitannya dengan masalah sosial,
lebih-lebih penderitaan dan ketidakadilan. Doa harus menjadi doa yang terlibat
dan membuahkan tanggung jawab. Maka, tepat apa yang dikatakan teolog Johann
Baptist Metz, ”Siapa berdoa, dia akan berdiri di pihak korban, bukan di pihak
pemenang.”
Teguran Indah dan Tasripin
Semua uraian di atas bermula dari
kepedihan kita melihat nasib Tasripin dan Indah Sari, yang kiranya juga nasib
banyak anak-anak lain di Tanah Air ini. Dalam kepedihan Indah dan Tasripin
tersimpan gugatan Ivan Karamazov, yang menuntut kita merefleksikan lagi konsep
kita tentang Tuhan berhadapan dengan penderitaan. Refleksi itu juga menunjukkan
betapa kehidupan beragama bisa mandul dalam menggugat penderitaan karena kita
tak punya teologi atau theodicy yang kritis terhadap penderitaan dan
ketidakadilan.
Politik dan praksis politik pun
akan sangat ditentukan pandangan teologis kita tentang Tuhan. Dan, itu kiranya
berlaku lebih-lebih di negara kita, Indonesia ini, yang mengaku dirinya sebagai
negara religius, yang percaya kepada Tuhan, bahkan mendasarkan salah satu
pilarnya pada kepercayaan akan Tuhan yang Maha Esa itu. Maka, sadarkah kita
bahwa kepedihan anak-anak seperti Indah dan Tasripin itu sesungguhnya sedang
menggugat kita mempertanyakan kepercayaan kita itu?
Spontan kita perlu mengakui bahwa
penghayatan hidup beragama kebanyakan kita masih sebatas ritualisme belaka.
Tempat ibadat penuh dengan orang-orang yang berdoa dengan khusyuk. Namun,
ibadat itu tak memberi efek pada perjuangan dan pembebasan sosial lebih-lebih
bagi mereka yang lemah dan menderita. Mungkin ini disebabkan karena kita tak punya
atau belum mengembangkan teologi yang peka terhadap penderitaan dan
ketidakadilan.
Memang rasanya kita belum memiliki
teologi yang bisa melihat Tuhan yang ada dan menjerit dalam penderitaan dan
protes terhadap ketidakadilan. Teologi kita hanya mengekor pada praktik-praktik
mapan hidup keberagamaan. Akibatnya, teologi dan hidup keberagamaan kita hanya
mengurung Tuhan dalam sangkar ritual dan memandulkan-Nya terhadap perjuangan
sosial. Ini betul-betul fatal sebab, betapa pun kita mengaku ber-Tuhan, dalam
praktik kita telah menjauhkan Tuhan dari masalah yang dihadapi bangsa, terlebih
masalah ketidakadilan yang mengakibatkan penderitaan mereka yang tak bersalah.
Sindhunata
Pemimpin Redaksi Majalah Basis
Sumber: Kompas, 14 Mei 2013
(Kliping
Opini)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar