Politik
tidak dengan sendirinya kotor. Dia hanya kotor di tangan mereka yang otaknya
penuh kekotoran. Ketika kekuasaan dilaksanakan demi kekuasaan itu sendiri—dan
diisi sesuka hati para penguasa— maka kekuasaan akan dengan sendirinya
melahirkan politik kotor, jahat, dan penuh kekejaman.
Kekuasaan yang diisi dengan tingkah laku politik seperti itu akan melahirkan penguasa otoriter. Pendeknya, para tiran yang kejam itu lahir dari gagasan dan struktur kehidupan politik yang melegalkan pemerkosaan terhadap moral masyarakat. Jika tekanan penguasa sangat besar, kontrol sosial dengan sendirinya menipis. Dalam tatanan politik seperti itu, warga masyarakat akan kehilangan pegangan moral. Moral hidup, dan terpelihara baik, di tangan penguasa.
Tapi moral mati mengenaskan, juga di tangan penguasa. Penguasa mana yang menjadi pembunuh moral, dan mana yang menghidup-hidupi moral sosial kita, bukan pokok bahasan di esai ini. Ini satu cara pandang. Cara pandang lain bisa juga sebaliknya. Bila calon penguasa yang watak dasarnya sudah otoriter, dia akan dengan sendirinya menampilkan warna dan tingkah laku politik yang kotor, jahat, dan kejam seperti disebutkan di atas.
Di sini politik menyimpang secara leluasa dari idealisme. Makin lama—perlahan-lahan— politik sama sekali tak ada hubungannya dengan idealisme. Dengan sendirinya politik berjalan tanpa moralitas yang diharapkan masyarakat. Ketakutan pada penguasa akan membuat warga masyarakat berpegang hanya pada keselamatan. Bagi kebanyakan orang, moral kalah penting dengan keselamatan jiwa.
Sikap oportunis lahir: moral boleh ”mampus”, maaf, asal aku selamat. Kehidupan boleh kacau balau, yang penting aku selamat. Tak mengherankan bila mereka ”mengiyakan”—demi keselamatan tadi—apa pun tindakan penguasa. Ketika pada akhirnya moral sosial sudah mati, orang tak menyadari lagi kapan kematiannya dimulai. Orang juga tidak tahu, di mana moral yang sudah mati itu dimakamkan.
Bahkan, kita tak lagi menyadari bahwa kita hidup tanpa moralitas lagi. Mungkin persis seperti kondisi kehidupan politik kita sekarang ini. Di mana-mana, pada akhirnya tampak jelas, para koruptor ”rebutan slamet”. Pengadilan, dengan segenap ”lawyer” nya yang gagah dan kaya, tak lebih dari tempat mencari ”slamet”, dan bukan lagi tempat membuktikan secara jujur, kebenaran hukum.
Di Indonesia sekarang ini, orang yang tingkah laku politiknya diwarnai idealisme ditolak di mana pun. Di dalam birokrasi, jika ada tokoh yang bekerja atas dasar kejujuran, dan menolak diajak menyimpang, dia dicap tidak tahu mengenai apa yang disebut ”real politics”. Dia disebut—dengan sinis—idealis. Dan jangan lupa, ”idealis” ini konotasinya negatif, buruk, tidak tahu ”adat”.
Maka jelas bagi kita, ”real politics” itu artinya ”menyimpang” dari apa yang luhur dan mulia. Tapi di lingkungan masyarakat politik, kaum birokrasi dan para penegak hukum—yang pelanpelan menjadi ”idiot”, dan dungu— semua penyimpangan itu diterima sebagai kewajaran. Polisi yang gajinya tidak besar, tapi memiliki sepuluh rumah dan aset dalam jumlah besar, yang tak masuk akal bila dihubungkan dengan gajinya, itu dianggap sudah ”lumrah”, dan ”wajar”.
Pegawai negeri golongan A, belum lama bekerja, usianya baru tiga puluhan tahun tetapi memiliki simpanan di bank dalam jumlah luar biasa besar, itu tidak dianggap aneh. Seorang ”lawyer” terkemuka, dan disebut pejuang demokrasi di negeri ini, dengan sigap membelanya, seolah dia—orang muda yang dibelanya itu—orang mulia yang harus dimuliakan selamanya.
Dan makin lama orang menganggap seolah apa yang disebut ”real politics”—artinya kotor, jahat dan kejam— itu menjadi sebuah kemuliaan tersendiri. Orang-orang baik di negeri ini, yang nalar politik dan kebudayaannya sehat, yang mencintai negerinya seperti mencintai ibunya sendiri, frustrasi di tengah penyimpangan demi penyimpangan yang ”dirayakan” sebagai kemuliaan. Di mana-mana orang bicara demokrasi, tapi tak seorang pun peduli moral kita sudah mati.
Disadari atau tidak, media turut ”merayakannya”. Para koruptor dan mantan koruptor, politisi busuk dan sejenisnya, yang masih selalu ”dipanggul” media ke sana kemari, dan dijadikan narasumber untuk membahas persoalan penting di dalam masyarakat, apa itu artinya bila bukan ”merayakan” suatu penyimpangan yang seharusnya dijauhi?
Kecenderungan media yang mengiklankan tokoh-tokoh yang secara moral sangat tidak layak menjadi pemimpin, terasa mengenaskan. Demi uang—bayaran iklan, media meracuni warga masyarakat yang sedang bingung mencari siapa yang layak dipilih menjadi pemimpin. Tak semua orang mengerti latar belakang para tokoh Jakarta. Mereka itu besar jumlahnya. Dan jika jumlah besar itu termakan iklan, celakalah kehidupan bangsa kita.
Kekuasaan yang diisi dengan tingkah laku politik seperti itu akan melahirkan penguasa otoriter. Pendeknya, para tiran yang kejam itu lahir dari gagasan dan struktur kehidupan politik yang melegalkan pemerkosaan terhadap moral masyarakat. Jika tekanan penguasa sangat besar, kontrol sosial dengan sendirinya menipis. Dalam tatanan politik seperti itu, warga masyarakat akan kehilangan pegangan moral. Moral hidup, dan terpelihara baik, di tangan penguasa.
Tapi moral mati mengenaskan, juga di tangan penguasa. Penguasa mana yang menjadi pembunuh moral, dan mana yang menghidup-hidupi moral sosial kita, bukan pokok bahasan di esai ini. Ini satu cara pandang. Cara pandang lain bisa juga sebaliknya. Bila calon penguasa yang watak dasarnya sudah otoriter, dia akan dengan sendirinya menampilkan warna dan tingkah laku politik yang kotor, jahat, dan kejam seperti disebutkan di atas.
Di sini politik menyimpang secara leluasa dari idealisme. Makin lama—perlahan-lahan— politik sama sekali tak ada hubungannya dengan idealisme. Dengan sendirinya politik berjalan tanpa moralitas yang diharapkan masyarakat. Ketakutan pada penguasa akan membuat warga masyarakat berpegang hanya pada keselamatan. Bagi kebanyakan orang, moral kalah penting dengan keselamatan jiwa.
Sikap oportunis lahir: moral boleh ”mampus”, maaf, asal aku selamat. Kehidupan boleh kacau balau, yang penting aku selamat. Tak mengherankan bila mereka ”mengiyakan”—demi keselamatan tadi—apa pun tindakan penguasa. Ketika pada akhirnya moral sosial sudah mati, orang tak menyadari lagi kapan kematiannya dimulai. Orang juga tidak tahu, di mana moral yang sudah mati itu dimakamkan.
Bahkan, kita tak lagi menyadari bahwa kita hidup tanpa moralitas lagi. Mungkin persis seperti kondisi kehidupan politik kita sekarang ini. Di mana-mana, pada akhirnya tampak jelas, para koruptor ”rebutan slamet”. Pengadilan, dengan segenap ”lawyer” nya yang gagah dan kaya, tak lebih dari tempat mencari ”slamet”, dan bukan lagi tempat membuktikan secara jujur, kebenaran hukum.
Di Indonesia sekarang ini, orang yang tingkah laku politiknya diwarnai idealisme ditolak di mana pun. Di dalam birokrasi, jika ada tokoh yang bekerja atas dasar kejujuran, dan menolak diajak menyimpang, dia dicap tidak tahu mengenai apa yang disebut ”real politics”. Dia disebut—dengan sinis—idealis. Dan jangan lupa, ”idealis” ini konotasinya negatif, buruk, tidak tahu ”adat”.
Maka jelas bagi kita, ”real politics” itu artinya ”menyimpang” dari apa yang luhur dan mulia. Tapi di lingkungan masyarakat politik, kaum birokrasi dan para penegak hukum—yang pelanpelan menjadi ”idiot”, dan dungu— semua penyimpangan itu diterima sebagai kewajaran. Polisi yang gajinya tidak besar, tapi memiliki sepuluh rumah dan aset dalam jumlah besar, yang tak masuk akal bila dihubungkan dengan gajinya, itu dianggap sudah ”lumrah”, dan ”wajar”.
Pegawai negeri golongan A, belum lama bekerja, usianya baru tiga puluhan tahun tetapi memiliki simpanan di bank dalam jumlah luar biasa besar, itu tidak dianggap aneh. Seorang ”lawyer” terkemuka, dan disebut pejuang demokrasi di negeri ini, dengan sigap membelanya, seolah dia—orang muda yang dibelanya itu—orang mulia yang harus dimuliakan selamanya.
Dan makin lama orang menganggap seolah apa yang disebut ”real politics”—artinya kotor, jahat dan kejam— itu menjadi sebuah kemuliaan tersendiri. Orang-orang baik di negeri ini, yang nalar politik dan kebudayaannya sehat, yang mencintai negerinya seperti mencintai ibunya sendiri, frustrasi di tengah penyimpangan demi penyimpangan yang ”dirayakan” sebagai kemuliaan. Di mana-mana orang bicara demokrasi, tapi tak seorang pun peduli moral kita sudah mati.
Disadari atau tidak, media turut ”merayakannya”. Para koruptor dan mantan koruptor, politisi busuk dan sejenisnya, yang masih selalu ”dipanggul” media ke sana kemari, dan dijadikan narasumber untuk membahas persoalan penting di dalam masyarakat, apa itu artinya bila bukan ”merayakan” suatu penyimpangan yang seharusnya dijauhi?
Kecenderungan media yang mengiklankan tokoh-tokoh yang secara moral sangat tidak layak menjadi pemimpin, terasa mengenaskan. Demi uang—bayaran iklan, media meracuni warga masyarakat yang sedang bingung mencari siapa yang layak dipilih menjadi pemimpin. Tak semua orang mengerti latar belakang para tokoh Jakarta. Mereka itu besar jumlahnya. Dan jika jumlah besar itu termakan iklan, celakalah kehidupan bangsa kita.
Rakyat dijerumuskan untuk memilih tokoh yang tak layak dipilih. Perusahaan-perusahaan ”demokrasi” yang seolah bersikap demokratis menjagoi para tokoh demi bayaran tinggi, akhirnya tak peduli juga jagonya becus atau tidak, demokrat atau tiran, yang penting duit, duit, duit. Ini juga bagian dari ”real politics” zaman sekarang.
Media dan perusahaan ”demokrasi” macam itu memiliki saham yang besar dalam langkah-langkah mereka ”membimbing” warga masyarakat ke jalan kegelapan karena tokoh-tokoh yang terpilih, yang disebut ”pilihan rakyat” ternyata tokoh yang tak berbuat apa-apa, atau tokoh buruk, tiran, serta mengancam kenyamanan hidup berbangsa secara sehat.
Watak ”idiot” dan dungu— yang mengiyakan apa saja, dan menerima apa saja yang datang dari penguasa, menular di lingkungan masyarakat berkat media yang cerewet, yang tidak bijaksana merumuskan politik pemberitaan dan penyiaran. Orang-orang yang nalar politik dan kebudayaannya sehat, sudah pasti frustrasi menghadapi kenyataan hidup ini.
Ya, betul, demokrasi kelihatannya hi-dup. ”Kelihatannya”, karena apa saja seolah dilakukan secara demokratis. Tapi bagaimana di dalam demokrasi, moral kok terbunuh, tanpa seorang pun yang bisa disebut ”terdakwa” atas pembunuhan itu?
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga
Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan
Cengkih, buat Kesehatan. Email: dandanggula@hotmail.com
Sumber:
Koran Sindo, 13 Mei 2013
(Kliping Opini)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar