Suasana
menuju pemilihan umum (pemilu) legislatif pada April 2014 semakin menggeliat.
Daftar calon anggota legislatif (caleg) dari partai- partai pun sudah diteliti
oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Telah ketahuan siapa saja yang telah memenuhi syarat administratif, siapa pula yang tidak lengkap syaratnya untuk ditetapkan jadi caleg definitif. KPU pun telah mengumumkannya. Apakah caleg yang kebetulan berstatus artis, dan apakah mereka yang saat ini berstatus anggota DPR, juga tidak lengkap syarat administrasinya? Itu satu soal. Tetapi ringkihnya berbagai kalangan atas status artis dan anggota DPR yang saat ini yang menjadi caleg, itu menarik. Apakah status mereka tak menjanjikan DPR dapat bersinar dengan sinar keadilan?
Pasang Surut
Pemilu legislatif harus dilihat sebagai produk peradaban civilian. Peradaban ini, begitulah esensinya, muncul bersamaan dengan pengakuan atas kemuliaan setiap orang. Kemuliaan itu terpatri pada setiap orang karena setiap orang tercipta sebagai makhluk merdeka sejak lahir oleh Penciptanya. Kemuliaan itu bersifat alamiah, sekaligus menjadi dasar hak setiap orang untuk memilih dan dipilih.
Singkatnya, sebagai makhluk mulia, setiap orang memiliki hak itu. Tetapi sejarah ketatanegaraan modern mencatat, soal seindah itu tak selalu indah kala diwujudkan. Dibutuhkan keringat yang tak sedikit untuk menggapainya. Dalam kasus Inggris, misalnya, universalisasi kemuliaan manusia dengan cara memastikan setiap orang menjadi pemilih butuh waktu dua abad jika diukur dari revolusi gemilangnya, Glorius Revolution 1688.
Sampai 1868 polity Inggris menggunakan kepemilikan atas tanah sebagai dasar seseorang menjadi pemilih. Hanya orang yang memiliki tanah yang berstatus pemilih. Itu pun terbatas pada komunitas dalam wilayah dan para borjuis yang tinggal di kota-kota. Yang dapat dipilih hanyalah tokoh-tokoh, sebut saja demikian, untuk apa yang disebut knight sebagai wakil dari shire.
Restriksi ini masih juga diperumit dengan tingkah polah para pemilik tanah yang, karena parahnya, memunculkan peristiwa yang dikenal dengan sebutan Rotten Borough. Rotten Borough memicu munculnya tuntutan dari para pekerja, buruh, khususnya yang tinggal di kota. Tuntutan mereka jelas: memperluas dasar-dasar keikutsertaan seseorang dalam pemilu.
Dasar baru yang diajukan oleh buruh adalah ”orang yang telah bekerja dan memperoleh penghasilan dengan batas tertentu” berhak menyandang status pemilih dan ikut dalam pemilu. Keadaan yang relatif sama ditemukan juga di Amerika Serikat, negeri yang oleh banyak orang ditunjuk sebagai kampiun demokrasi ini.
Sampai dengan tahun 1830 kepemilikan, selain kepemilikan atas tanah oleh lakilaki kulit putih, juga melek huruf menjadi dasar seseorang bisa ikut memilih. Empat puluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1870 dilakukan amendemen konstitusi untuk ke-15 kalinya. Dalam amandemen ini dihilangkanlah ras sebagai kriteria seseorang bisa ikut memilih, seolah membuka jalan selebar-lebarnya atas praktik keikutsertaan wanita dalam pemilu, yang hingga saat itu baru dipraktikkan di Wyoming.
Apa yang terjadi sesudahnya? D Grier Stephenson Jr, seorang profesor di bidang pemerintahan di Franklin dan Marshal Colleg menulis, saat tahun 1960-an bergulir, di Selatan hanya satu dari empat orang kulit hitam yang memenuhi syarat untuk memilih yang terdaftar. Dan yang akhirnya benar-benar pergi ke pemilu hanya sedikit dari jumlah itu. Waktu berlalu, pemilu presiden pun datang, George W Bus Jr dan Algore bertarung merebut kursi kepresidenan.
Apa yang terjadi? Greg Palast, seorang penulis The Best Democracy Money Can Buy, yang juga wartawan investigatif BBC, dalam artikel berjudul Domba-Domba yang Bungkam membuat kita terperangah. Greg menulis, kantor Jeb Bush secara tidak sah memerintahkan para pengawas pemilu lokal membersihkan 58.000 pemilih dari pendaftaran. Alasannya mereka adalah para penjahat yang tidak berhak memilih di Amerika Serikat. Padahal, tulis Greg selanjutnya, mereka punya hak memilih menurut undang- undang Florida.
Bagaimana kita? Kita punya luka, lumayan parah, konstitusionalisme semasa Orde Baru. Memang kala itu semua orang boleh memilih, tetapi disertai restriksi halus. Partai apa yang dipilih, untuk sebagian, telah jelas sejak awal. Partai yang akan menang dan yang akan kalah, sama, telah jelas sejak pemilu hendak digelar. Jelas, panggung ini tidak sehat. Itu sebabnya ditinggalkan.
Ingatlah
Para artis yang menjadi caleg, yang belakangan ini terkepung kritikan, seolah mereka, para artis itu, bukan manusia yang memiliki hak untuk dipilih. Hal ini tentu menjadi problematik. Sama problematiknya dengan mereka yang bukan artis, tetapi menyandang status anggota DPR saat ini, yang, entah apa kehebatannya, kembali masuk dalam daftar caleg. Haruskah mereka minggir dari daftar caleg?
Tak beralasan untuk, misalnya, menghalangi mereka menunaikan haknya. Toh tak satu pun huruf, bahkan pesan moral dalam dan dibalik konstitusi yang tidak mengakui mereka sebagai manusia yang memiliki hak, termasuk hak untuk dipilih, sama dengan yang lainnya, yang tidak masuk dalam daftar caleg. Artis yang caleg, sama dengan anggota DPR saat ini yang caleg, tentu memiliki alasan untuk sampai pada pilihan itu.
Pilihan itu harus dihormati. Dihormati itu jelas. Tetapi soalnya tidak terletak pada dihormati atau tidak. Soal bahkan yang terpentingdari responskritissaat iniadalahtipisnya harapanuntuk menanti keadilan lahir dari Gedung DPR, kelak setelah DPR hasil Pemilu 2014 terbentuk. Artis dan anggota DPR saat ini yang masuk dalam daftar calon legislatif jelas bukan satu spesies terlarang dalam tatanan konstitusionalisme kita.
Mereka sah mencalonkan diri menjadi anggota DPR. Tak mungkin meminta mereka untuk, misalnya, menepi sejenak sekadar belajar dulu atau belajar lagi. Mereka, sebagaimana kita, tahu bahwa publik sedang tidak akrab dengan wakil rakyat, yang cuma jual tampang, dan omong besar, apalagi omong kosong. Kelak ketika waktunya tiba, dan keberuntungan berpihak kepada mereka, tentu mereka terbebani dengan harapan-harapan publik itu.
Ketika itu cibiran publik akan merajalela tatkala muncul keadaan, misalnya Badan Anggaran tetap berlagak bagai departemen, kualitas undang- undang separah seperti UU Migas, dan intensitas jalanjalan bermantel studi banding tak juga berkurang. Hikmah sejarah kelahiran DPR jelas. DPR bukan tempat adu dandan, adu tampan, dan adu omong kosong.
DPR ada karena satu hal: orang merdeka ingin memastikan cahaya kemanusiaan yang menjadi pangkal keadilan, sekaligus benteng terhadap tirani, eksis, terawat dan terus kilau kemilau. Bikin undang-undang, mengawasi pemerintah, dan merancang anggaran pendapatan dan belanja negara, tak kurang dan tak lebih hanya untuk memastikan bahwa kemanusiaan dan keadilan terus hidup. Itu yang dirindukan.
Telah ketahuan siapa saja yang telah memenuhi syarat administratif, siapa pula yang tidak lengkap syaratnya untuk ditetapkan jadi caleg definitif. KPU pun telah mengumumkannya. Apakah caleg yang kebetulan berstatus artis, dan apakah mereka yang saat ini berstatus anggota DPR, juga tidak lengkap syarat administrasinya? Itu satu soal. Tetapi ringkihnya berbagai kalangan atas status artis dan anggota DPR yang saat ini yang menjadi caleg, itu menarik. Apakah status mereka tak menjanjikan DPR dapat bersinar dengan sinar keadilan?
Pasang Surut
Pemilu legislatif harus dilihat sebagai produk peradaban civilian. Peradaban ini, begitulah esensinya, muncul bersamaan dengan pengakuan atas kemuliaan setiap orang. Kemuliaan itu terpatri pada setiap orang karena setiap orang tercipta sebagai makhluk merdeka sejak lahir oleh Penciptanya. Kemuliaan itu bersifat alamiah, sekaligus menjadi dasar hak setiap orang untuk memilih dan dipilih.
Singkatnya, sebagai makhluk mulia, setiap orang memiliki hak itu. Tetapi sejarah ketatanegaraan modern mencatat, soal seindah itu tak selalu indah kala diwujudkan. Dibutuhkan keringat yang tak sedikit untuk menggapainya. Dalam kasus Inggris, misalnya, universalisasi kemuliaan manusia dengan cara memastikan setiap orang menjadi pemilih butuh waktu dua abad jika diukur dari revolusi gemilangnya, Glorius Revolution 1688.
Sampai 1868 polity Inggris menggunakan kepemilikan atas tanah sebagai dasar seseorang menjadi pemilih. Hanya orang yang memiliki tanah yang berstatus pemilih. Itu pun terbatas pada komunitas dalam wilayah dan para borjuis yang tinggal di kota-kota. Yang dapat dipilih hanyalah tokoh-tokoh, sebut saja demikian, untuk apa yang disebut knight sebagai wakil dari shire.
Restriksi ini masih juga diperumit dengan tingkah polah para pemilik tanah yang, karena parahnya, memunculkan peristiwa yang dikenal dengan sebutan Rotten Borough. Rotten Borough memicu munculnya tuntutan dari para pekerja, buruh, khususnya yang tinggal di kota. Tuntutan mereka jelas: memperluas dasar-dasar keikutsertaan seseorang dalam pemilu.
Dasar baru yang diajukan oleh buruh adalah ”orang yang telah bekerja dan memperoleh penghasilan dengan batas tertentu” berhak menyandang status pemilih dan ikut dalam pemilu. Keadaan yang relatif sama ditemukan juga di Amerika Serikat, negeri yang oleh banyak orang ditunjuk sebagai kampiun demokrasi ini.
Sampai dengan tahun 1830 kepemilikan, selain kepemilikan atas tanah oleh lakilaki kulit putih, juga melek huruf menjadi dasar seseorang bisa ikut memilih. Empat puluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1870 dilakukan amendemen konstitusi untuk ke-15 kalinya. Dalam amandemen ini dihilangkanlah ras sebagai kriteria seseorang bisa ikut memilih, seolah membuka jalan selebar-lebarnya atas praktik keikutsertaan wanita dalam pemilu, yang hingga saat itu baru dipraktikkan di Wyoming.
Apa yang terjadi sesudahnya? D Grier Stephenson Jr, seorang profesor di bidang pemerintahan di Franklin dan Marshal Colleg menulis, saat tahun 1960-an bergulir, di Selatan hanya satu dari empat orang kulit hitam yang memenuhi syarat untuk memilih yang terdaftar. Dan yang akhirnya benar-benar pergi ke pemilu hanya sedikit dari jumlah itu. Waktu berlalu, pemilu presiden pun datang, George W Bus Jr dan Algore bertarung merebut kursi kepresidenan.
Apa yang terjadi? Greg Palast, seorang penulis The Best Democracy Money Can Buy, yang juga wartawan investigatif BBC, dalam artikel berjudul Domba-Domba yang Bungkam membuat kita terperangah. Greg menulis, kantor Jeb Bush secara tidak sah memerintahkan para pengawas pemilu lokal membersihkan 58.000 pemilih dari pendaftaran. Alasannya mereka adalah para penjahat yang tidak berhak memilih di Amerika Serikat. Padahal, tulis Greg selanjutnya, mereka punya hak memilih menurut undang- undang Florida.
Bagaimana kita? Kita punya luka, lumayan parah, konstitusionalisme semasa Orde Baru. Memang kala itu semua orang boleh memilih, tetapi disertai restriksi halus. Partai apa yang dipilih, untuk sebagian, telah jelas sejak awal. Partai yang akan menang dan yang akan kalah, sama, telah jelas sejak pemilu hendak digelar. Jelas, panggung ini tidak sehat. Itu sebabnya ditinggalkan.
Ingatlah
Para artis yang menjadi caleg, yang belakangan ini terkepung kritikan, seolah mereka, para artis itu, bukan manusia yang memiliki hak untuk dipilih. Hal ini tentu menjadi problematik. Sama problematiknya dengan mereka yang bukan artis, tetapi menyandang status anggota DPR saat ini, yang, entah apa kehebatannya, kembali masuk dalam daftar caleg. Haruskah mereka minggir dari daftar caleg?
Tak beralasan untuk, misalnya, menghalangi mereka menunaikan haknya. Toh tak satu pun huruf, bahkan pesan moral dalam dan dibalik konstitusi yang tidak mengakui mereka sebagai manusia yang memiliki hak, termasuk hak untuk dipilih, sama dengan yang lainnya, yang tidak masuk dalam daftar caleg. Artis yang caleg, sama dengan anggota DPR saat ini yang caleg, tentu memiliki alasan untuk sampai pada pilihan itu.
Pilihan itu harus dihormati. Dihormati itu jelas. Tetapi soalnya tidak terletak pada dihormati atau tidak. Soal bahkan yang terpentingdari responskritissaat iniadalahtipisnya harapanuntuk menanti keadilan lahir dari Gedung DPR, kelak setelah DPR hasil Pemilu 2014 terbentuk. Artis dan anggota DPR saat ini yang masuk dalam daftar calon legislatif jelas bukan satu spesies terlarang dalam tatanan konstitusionalisme kita.
Mereka sah mencalonkan diri menjadi anggota DPR. Tak mungkin meminta mereka untuk, misalnya, menepi sejenak sekadar belajar dulu atau belajar lagi. Mereka, sebagaimana kita, tahu bahwa publik sedang tidak akrab dengan wakil rakyat, yang cuma jual tampang, dan omong besar, apalagi omong kosong. Kelak ketika waktunya tiba, dan keberuntungan berpihak kepada mereka, tentu mereka terbebani dengan harapan-harapan publik itu.
Ketika itu cibiran publik akan merajalela tatkala muncul keadaan, misalnya Badan Anggaran tetap berlagak bagai departemen, kualitas undang- undang separah seperti UU Migas, dan intensitas jalanjalan bermantel studi banding tak juga berkurang. Hikmah sejarah kelahiran DPR jelas. DPR bukan tempat adu dandan, adu tampan, dan adu omong kosong.
DPR ada karena satu hal: orang merdeka ingin memastikan cahaya kemanusiaan yang menjadi pangkal keadilan, sekaligus benteng terhadap tirani, eksis, terawat dan terus kilau kemilau. Bikin undang-undang, mengawasi pemerintah, dan merancang anggaran pendapatan dan belanja negara, tak kurang dan tak lebih hanya untuk memastikan bahwa kemanusiaan dan keadilan terus hidup. Itu yang dirindukan.
Margarito Kamis
Doktor
Hukum Tata Negara dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Khairun, Ternate
Sumber:
Koran Sindo, 14 Mei 2013
(Kliping Opini)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar